Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2014

Putri Wali Nanggroe, Mutia : Saya akan Menjaga Ayah

Gambar
DI antara ribuan undangan yang hadir dalam pengukuhan Malik Mahmud Al Haythar sebagai Wali Nanggroe ke-9 di Gedung DPR Aceh, Senin (16/12/2013) terdapat satu sosok yang berbeda. Ia adalah putri Malik Mahmud yang belakangan diketahui bernama Mutia. Wanita muda nan jelita ini duduk di bagian kursi undangan keluarga Malik Mahmud berdampingan dengan sejumlah undangan terhormat lainnya. Seperti politisi senior dan mantan menteri Pertanian Malaysia keturunan Aceh, Tun Sri Sanusi Junid, yang hadir bersama istrinya, Puan Sri Nila Inangda. Mutia terlihat begitu memesona dalam balutan jilbab modis paduan warna merah dan merah jambu. Ia menempati satu kursi tepat dibelakang podium sang ayah Malik Mahmud Al Haythar berpidato untuk pertama kali beberapa saat setelah dikukuhkan sebagai Wali Nanggroe ke-9 menggantikan Wali Nanggroe ke-8 Dr Tgk Muhammad Hasan di Tiro yang meninggal dunia pada 3 Juni 2010. Mutia memiliki paras jelita mewarisi raut wajah sang ayah Malik Mahmud. Namun sosoknya masih

Salah Pembinaan Minim Prestasi

Gambar
PRESTASI olahraga Aceh terpuruk jauh sepanjang satu dekade terakhir. Tiga kali penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON), Aceh selalu berada di nomor urut buncit. Puluhan miliar rupiah dana telah dikucurkan. Namun hasilnya jauh panggang dari api. PON XVIII 2012 di Pekanbaru, Riau menjadi bukti. ‘Macan Sumatera’ masih tertidur lelap. Seolah tak lagi bertaring, para atlet menyerah di arena tanding. Pulang hanya membawa nama dengan wajah tertunduk. “Ada kekeliruan dalam pembinaan atlet olahraga di Aceh. Prestasinya boleh dikatakan stagnan bila dilihat dari raihan medali di PON 2012 di Riau,” kata pemerhati olahraga Aceh, Iswahyudi kepada Serambi, Rabu (19/2). Prestasi di ajang PON menjadi satu indikator pembinaan olahraga di suatu daerah berjalan maksimal. Namun fakta sebaliknya, selama tiga kali penyelenggaraa PON, prestasi Aceh justeru terus melorot. Pada PON XVI 2004 di Provinsi Sumatera Selatan, dengan anggaran Rp 5 miliar Aceh hanya meraih 6 medali emas, 2 perak dan 5 m

Yang Tergoda Kembali ke Pentas

Gambar
BUNDELAN dokumen itu tersusun seadanya di rak, seperti tak terurus. Di sebuah dinding ruangan bawah yang disekat jadi dua, tampak tergantung naskah ikrar kader Partai PDIP. Beberapa sisi kertasnya mulai kuning, lusuh dalam bingkai kaca. Dari ‘markas’ ruko sewaan ini, di Jalan Mr Muhammad Hasan, Banda Aceh, Karimun Usman mengendalikan aktivitas partainya. “Selama masih bernapas, saya akan tetap berpolitik,” katanya kepada Serambi, Selasa 4 Februari 2014. Bagi sebagian orang, politik seperti sudah menjadi dunianya, meski berisiko nyawa taruhan. Karimun salah satunya. Ibarat tim sepakbola, ia juga bisa dibilang sudah berpangkat pemain senior. Usianya sudah 71 tahun. Banyak asam garam telah ia rasakan. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014, mantan birokrat di Departemen Pekerjaan Umum ini kembali maju menjadi caleg DPR RI Dapil Aceh II. Pileg 1999 silam sukses membawanya duduk di kursi DPR RI lewat PDIP. Namun ia terganjal meraih kursi yang sama pada Pileg 2009. “Saya maju lagi kali ini,”

Memburu Uang ke Kursi Dewan

Gambar
DI Aceh, ada belasan ribu calon anggota legislatif (caleg) yang mengincar kursi DPRK, DPRA, DPR RI, dan DPD pada Pemilu 2014. Banyak pihak meyakini, ramainya peminat kursi dewan karena terinspirasi gaya hidup glamor, terpandang, dan bertabur fasilitas yang ‘dipertontonkan’ oleh mereka-mereka yang pernah atau masih bertahta di lembaga terhormat itu. Sejatinya, dengan beragam kemudahan sebagai akibat tingginya posisi tawar, hanya orang-orang tertentu yang (mungkin) bisa mempertahankan idealisme sebagai wakil rakyat. *  *  * Di lembaga dewan, ada banyak sumber lumbung uang, mulai dari yang resmi sampai yang berbau koruptif. Mulai dari menjadi calo proyek, menerima fee dari rekanan, sampai praktik manipulasi biaya agenda kerja. Beberapa sumber tidak menampik bila praktik-praktik ‘nakal’ oknum anggota dewan ini memang kerap terjadi. Seorang mantan anggota dewan menjelaskan, praktik upeti atau fee proyek pemerintah yang dikerjakan rekanan kerap menjadi lumbung subur mengeruk keuntungan. De

Bisnis Berbahaya, tapi Menggiurkan

Gambar
KEUNTUGAN euntungan yang diperoleh pemasok dari bisnis menjual merkuri di Aceh sangatlah menjanjikan. Kalkulasinya, tatkala kebutuhan merkuri di lima tambang emas tradisional di Aceh mencapai 600 kg sehari, sementara harga merkuri di pasaran rata-rata Rp 800.000 per kg, maka akan diperoleh angka Rp 480 juta sehari uang beredar di lokasi penambangan. Setahun, angka itu melonjak hingga Rp 175,2 miliar. Seorang pemasok merkuri kepada Serambi mengatakan, merkuri merek Germany dijual Rp 1,7 juta per 1 kg. Nah, apabila ada seribu penambang yang beroperasi membelinya, maka akan diperoleh angka Rp 1,7 miliar. Artinya, transaksi bisnis merkuri di Aceh sangatlah menggiurkan. Sementara menurut Distamben Aceh, harga emas di Gunong Ujeng mencapai Rp 200.000 per gram. Jika seorang penambang sehari menghasilkan 2 gram emas, maka sebulan pendapatannya Rp 12 juta. Bila ada 1.000 penambang, maka Rp 12 miliar uang beredar setiap bulan di sekitar bisnis tambang emas Aceh. “Rata-rata dalam satu ton batuan

Mengungkap Sindikat Merkuri

Gambar
Ibarat bom waktu, wabah Minimata tengah mengancam kehidupan manusia dan biota air di sekitar tambang emas akibat penggunaan merkuri yang tak terkendali di Aceh. Para makelar, pembeli, dan pemasok merkuri ikut bermain dalam sebuah sindikat yang terorganisir rapi. Serambi mengungkapnya. *  *  * SEJAK lima tahun terakhir, emas menyilaukan mata warga di lima kabupaten di Aceh. Diawali dengan penemuan satu per satu gunung emas pada 2008. Sejengkal demi sejengkal perut bumi dipahat. Lubang menganga, membetuk terowongan sedalam belasan hingga puluhan meter. Berton-ton kubik batuan diangkut ke lokasi penggilingan yang dinamakan gelondong. Tetesan merkuri memisahkan pasir dan batu, menyisakan bijih emas. Para penambang panen rupiah dan mendadak kaya. Tapi ada pula yang apes terjerat utang, tak balik modal. Tragisnya, sebanyak 12 penambang dilaporkan tewas sepanjang 2008-2013 karena tertimbun dan kehabisan oksigen di dasar terowongan yang mereka gali sendiri. Cerita dari tambang emas Aceh seper

Imam Hidayat, Spesialis ‘Bongkar Pasang Otak’

Gambar
MATA pisau di tangannya berlahan mengiris satu demi satu bagian kepala remaja itu. Butuh ketelitian tinggi menyatukan kembali jaringan selaput otak yang sudah remuk, dan menutupnya dengan sempurna. Dalam waktu bersamaan ia juga membedah jaringan lunak tulang belakang yang kelihatan sudah hancur. Detik-detik operasi itu berlangsung menegangkan. “Tapi alhamudlillah, anak itu selamat meski sempat koma,” kenang dr Imam Hidayat Sp BS MKes saat menceritakan pengalamannya kepada Serambi, Selasa 25 Februari 2014. Di antara banyak pengalaman membedah pasien, kisah remaja itu paling membekas dibenaknya. Operasi itu termasuk paling rumit yang pernah dilakukannya. Tim dokter butuh empat kali operasi lanjutan untuk merekonstruksi jaringan lunak penutup kepala remaja berusia 14 tahun itu, yang menjadi korban insiden pemukulan. “Sekarang anak itu sudah bisa bersekolah kembali,” katanya terharu. Imam Hidayat merupakan satu dari tiga ahli bedah saraf yang dimiliki Aceh. Lewat tangan dinginnya, banya