Hong Tia
KATERin terdiam. Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Segelas teh botol masih utuh di atas meja. Ia belum menyentuhnya sejak tadi. Padahal hari sangat panas siang itu. Di seberang sana jalan-jalan terlihat padat. Asap mengepul.
Debu berterbangan hinggap di dinding ruko yang berjejal. Kawasan ini memang super sibuk. Orang-orang menyebutnya kawasan pacinan. Karena memang banyak dihuni oleh warga Tiong Hoa. Pacinan atau Peunayong juga terkenal sebagai pusat perbelanjaan. Berbagai aktifitas ekonomi menggeliat di sana. Ada ruko, bengkel, show room, pasar ikan dan entah apa lagi. Di antara banyak tempat, satu yang paling kuingat nama warung itu, Hong Tia. Siang itu banyak murid sekolah sedang menunggu jemputan orang tuanya. Mereka anak-anak warga keterunan yang baru saja usai belajar di sekolah Methodist. "Lihat anak-anak itu. Mereka sangat bersemangat!," ujarnya. Ucapan itu membuat aku tersentak. Padahal kulihat tadi matanya berbinar. Aku tahu, aku tak ingin membuatnya terlalu bersedih. Aku juga tidak ingin ia menangis di warung itu. "Bu, tolong buatkan kami dua mie tiau," katanya. Aku kembali kaget dan merasa tersudutkan. Kenapa dia yang harus memasan mie tiau itu, gumamku. Logiskah itu? Atau malah sebaliknya laki-laki lah yang seharusnya memberi makan wanita? Tapi tak apalah kupikir. Karena memang pertemuan kami ini bukahlah yang pertama kali. Ini pertemuan keempat. Itu selalu terjadi di warung Hong Tia. "Mau tidak kamu antar aku ke terminal besok siang," "Jam berapa," "Kalau bisa setengah dua," "Bagaimana kalau jam satu saja" "Memang kenapa? “Tidak bisa ya" "Nggak aku harus tugas liputan," "Ya sudah. Besok kutunggu di sini saja,". "Untuk apa pulang kampung," tanyaku. "Ga cuma pingin jumpa saja sama orang tua. Sudah lama tidak pulang. Rindu aja dengan ibu," Percakapan kami berhenti. Seorang perempuan setengah baya--ia warga keturunan---menghampiri seraya membawa dua piring mie tiau. "Ini makanan favoritku," katanya penuh semangat. Aku merasa heran. Tiba-tiba saja dia berubah cepat. Padahal sepuluh menit lalu matanya masih berbinar. Hanya saja dia belum sempat menangis. Kutahu Katerin memang gadis periang. Banyak hal yang kuingat tentang dirinya, sejak pertama kali mengenalnya, dua tahun lalu. Di Banda Aceh, ia hanya seorang anak kos. Hingga sekarang pun ia masih kos di kawasan Darussalam. Pada April lalu umurnya genap 23 tahun. Satu kali dia pernah berkata, kalau dia tak suka pakai jilbab. Aku tak tahu entah mengapa kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Padahal ini Serambi Mekah, lho. Semua wanita harus pakai jilbab. Apalah lagi mahasiswa semerter tujuh seperti dirinya. "Bagiku jilbab itu bukan sesuatu yang penting. Itu terserah siapa yang menilainya. Tapi kalau diberi pilihan, aku lebih suka tidak memakainya,". "Itu hanya sebuah pilihan saja," katanya sekali lagi. Sehari-hari memang penampilanya agak berbeda. Ia lebih suka mengenakan celana jins, sepatu kets dan baju ngepas. Berbeda dengan mahasiswa lain, ia tetap percaya diri dengan pilihan itu. Itu pula yang membuat banyak lelaki menjadi temanya. Bukan hanya wajah yang oval dan berkulit kuning langsat, tapi pembawaanya yang periang membuat Katerin mudah bergaul. "Dari banyak teman yang kutemui, kamu satu di antaranya yang paling bisa kupercaya," katanya suatu kali. Entah benar atau tidak. Tapi setiap kali ada masalah ia selalu berbagai denganku. Satu hal yang sangat mengejutkan, ketika dia mengatakan, sejak lima bulan lalu ia mulai kecanduan dengan narkoba. Itu membuat aku merasa kaget. Benar-benar tidak terpikir olehku, mengapa itu harus terjadi pada diri Katerin yang selama ini kupikir hanya seorang gadis baik-baik. Semua itu berawal ketika ia masih berstatus sebagai anak kos di kawasan Darussalam. "Aku terlalu percaya dengan teman. Mereka yang membuatku harus begini,". "Lantas sekarang bagimana?" "Aku masih makai," Sejak dua bulan terakhir ini ia semakin tergantung dengan narkoba (shabu). Terakhir kali, minggu lalu, dia bilang sempat sakau karena tidak bisa memenuhi keinginannya itu. Beruntung seorang teman datang membantunya ketika itu. Perbincaraan kami terhenti. Kulihat dia menangis. Beruntung orang-orang di warung itu tidak curiga. Aku berusaha untuk tidak larut dalam suasana itu. Kali ini Katerin baru menyentuh teh botol yang sejak beberapa menit lalu hanya menjadi pajangan di meja kami berbicara. Ia menyuruputnya dalam-dalam. Kulihat dia merasa lega. Ada rasa dingin mengalir di kerongkongan. Es batunya ternyata sudah mencair. Di seberang jalan itu, anak-anak sekolah tidak ada lagi yang menunggu. Halaman sekolah Methodist itu sudah terlihat sepi. Hanya saja kawasan Pacinan itu masih tetap ramai. Termasuk di warung Hong Tia yang kami tempati. "Besok ku tunggu di sini ya. Jangan lupa jam satu," (*)
Debu berterbangan hinggap di dinding ruko yang berjejal. Kawasan ini memang super sibuk. Orang-orang menyebutnya kawasan pacinan. Karena memang banyak dihuni oleh warga Tiong Hoa. Pacinan atau Peunayong juga terkenal sebagai pusat perbelanjaan. Berbagai aktifitas ekonomi menggeliat di sana. Ada ruko, bengkel, show room, pasar ikan dan entah apa lagi. Di antara banyak tempat, satu yang paling kuingat nama warung itu, Hong Tia. Siang itu banyak murid sekolah sedang menunggu jemputan orang tuanya. Mereka anak-anak warga keterunan yang baru saja usai belajar di sekolah Methodist. "Lihat anak-anak itu. Mereka sangat bersemangat!," ujarnya. Ucapan itu membuat aku tersentak. Padahal kulihat tadi matanya berbinar. Aku tahu, aku tak ingin membuatnya terlalu bersedih. Aku juga tidak ingin ia menangis di warung itu. "Bu, tolong buatkan kami dua mie tiau," katanya. Aku kembali kaget dan merasa tersudutkan. Kenapa dia yang harus memasan mie tiau itu, gumamku. Logiskah itu? Atau malah sebaliknya laki-laki lah yang seharusnya memberi makan wanita? Tapi tak apalah kupikir. Karena memang pertemuan kami ini bukahlah yang pertama kali. Ini pertemuan keempat. Itu selalu terjadi di warung Hong Tia. "Mau tidak kamu antar aku ke terminal besok siang," "Jam berapa," "Kalau bisa setengah dua," "Bagaimana kalau jam satu saja" "Memang kenapa? “Tidak bisa ya" "Nggak aku harus tugas liputan," "Ya sudah. Besok kutunggu di sini saja,". "Untuk apa pulang kampung," tanyaku. "Ga cuma pingin jumpa saja sama orang tua. Sudah lama tidak pulang. Rindu aja dengan ibu," Percakapan kami berhenti. Seorang perempuan setengah baya--ia warga keturunan---menghampiri seraya membawa dua piring mie tiau. "Ini makanan favoritku," katanya penuh semangat. Aku merasa heran. Tiba-tiba saja dia berubah cepat. Padahal sepuluh menit lalu matanya masih berbinar. Hanya saja dia belum sempat menangis. Kutahu Katerin memang gadis periang. Banyak hal yang kuingat tentang dirinya, sejak pertama kali mengenalnya, dua tahun lalu. Di Banda Aceh, ia hanya seorang anak kos. Hingga sekarang pun ia masih kos di kawasan Darussalam. Pada April lalu umurnya genap 23 tahun. Satu kali dia pernah berkata, kalau dia tak suka pakai jilbab. Aku tak tahu entah mengapa kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Padahal ini Serambi Mekah, lho. Semua wanita harus pakai jilbab. Apalah lagi mahasiswa semerter tujuh seperti dirinya. "Bagiku jilbab itu bukan sesuatu yang penting. Itu terserah siapa yang menilainya. Tapi kalau diberi pilihan, aku lebih suka tidak memakainya,". "Itu hanya sebuah pilihan saja," katanya sekali lagi. Sehari-hari memang penampilanya agak berbeda. Ia lebih suka mengenakan celana jins, sepatu kets dan baju ngepas. Berbeda dengan mahasiswa lain, ia tetap percaya diri dengan pilihan itu. Itu pula yang membuat banyak lelaki menjadi temanya. Bukan hanya wajah yang oval dan berkulit kuning langsat, tapi pembawaanya yang periang membuat Katerin mudah bergaul. "Dari banyak teman yang kutemui, kamu satu di antaranya yang paling bisa kupercaya," katanya suatu kali. Entah benar atau tidak. Tapi setiap kali ada masalah ia selalu berbagai denganku. Satu hal yang sangat mengejutkan, ketika dia mengatakan, sejak lima bulan lalu ia mulai kecanduan dengan narkoba. Itu membuat aku merasa kaget. Benar-benar tidak terpikir olehku, mengapa itu harus terjadi pada diri Katerin yang selama ini kupikir hanya seorang gadis baik-baik. Semua itu berawal ketika ia masih berstatus sebagai anak kos di kawasan Darussalam. "Aku terlalu percaya dengan teman. Mereka yang membuatku harus begini,". "Lantas sekarang bagimana?" "Aku masih makai," Sejak dua bulan terakhir ini ia semakin tergantung dengan narkoba (shabu). Terakhir kali, minggu lalu, dia bilang sempat sakau karena tidak bisa memenuhi keinginannya itu. Beruntung seorang teman datang membantunya ketika itu. Perbincaraan kami terhenti. Kulihat dia menangis. Beruntung orang-orang di warung itu tidak curiga. Aku berusaha untuk tidak larut dalam suasana itu. Kali ini Katerin baru menyentuh teh botol yang sejak beberapa menit lalu hanya menjadi pajangan di meja kami berbicara. Ia menyuruputnya dalam-dalam. Kulihat dia merasa lega. Ada rasa dingin mengalir di kerongkongan. Es batunya ternyata sudah mencair. Di seberang jalan itu, anak-anak sekolah tidak ada lagi yang menunggu. Halaman sekolah Methodist itu sudah terlihat sepi. Hanya saja kawasan Pacinan itu masih tetap ramai. Termasuk di warung Hong Tia yang kami tempati. "Besok ku tunggu di sini ya. Jangan lupa jam satu," (*)
Komentar
Posting Komentar