Jederal Itu Ikut Tewas
Melihat Dari Dekat Kuburan 2.200 Serdadu Belanda di Aceh
Dihargai Sebagai Aset Kerajaan Karena Empat Jenderal Ikut Tewas
"O God, Ik ben getroffen" (Ya Tuhan, aku kena).
Ucapan terakhir itu keluar dari mulut Jenderal Kohler ketika sebutir peluru menembus dadanya.
Sang jenderal itu pun terkapar dan tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman. Pemerintah Belanda menyadari kekeliruan Mayor Jenderal JHR Kohler yang menyerbu dan membakar masjid termegah kebanggaan rakyat Aceh.
Serangan ke Masjid Raya itu adalah bumerang bagi Belanda. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1876 itu meninggalkan bukti banyaknya korban Perang
Aceh di pihak Belanda, di antaranya dapat disaksikan di Kerkhof, Peucut, Banda Aceh, sekitar satu kilometer di selatan Masjid Raya.
Di sana terkubur 2.200 serdadu Belanda, termasuk Kohler, sang jenderal itu sendiri. Saat wartawan koran ini mengunjungi area makam seluas hampir lima hektar itu kemarin, sejumlah pekerja tampak tengah melakukan upaya renovasi di beberapa bagian komplek kuburan.
Namun makam-makam itu masih menyimpan nuansa historis yang begitu kental.
Sebuah gapura dengan arsitektur gaya eropa tampak menghiasi bagian depan komplek makam tersebut.
Uniknya, gapura yang juga berfungsi sebagai pintu gerbang ini dipenuhi dengan prasasti yang terbuat dari batu marmar. Di atas prasasti dengan posisi tegak lurus dan menempel pada dinding gapura tertulis nama-nama para serdadu Belanda yang turut dikubur dalam area makam. Menurut perkiraan jumlah mencapai 2.200 orang.
Di antara para serdadu yang tewas tersebut terdapat dua orang jenderal. Nama dua jenderal Belanda ini terukir di sisi kanan dan kiri gapura.
Persisnya berbunyi : In Memoriam General – Majoor JHR Kohler, Gesneuveld, 14 April 1873. Satunya lagi berbunyi : In Memoriam Luitenant Kolonel WBJA Scheepens Overladen, 17 Oktober 1913.
Tanggal dan tahun yang tertulis itu menandai saat tewasnya sang jenderal ketika melawan pejuang Aceh. Salah satu catatan penting pada Perang Aceh adalah tewasnya empat jenderal Belanda, yaitu Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Tewasnya empat jenderal Belanda merupakan peristiwa satu-satunya yang pernah dialami Belanda dalam sejarah perjalanan kerajaan tersebut dalam menyerang wilayah lainnya. Di atas prasasti itu juga tertulis tahun dan nama tempat dimana ribuan serdadu Belanda itu tewas.
Misalkan saja ada nama Long Battah (1874), Oleh Karang-Pango (1876), Samalanga (1877,1880,1882), Lepong Ara (1883, 1884), Lambesoi (1884), Lamboek (1873, 1874), Koewala (1887), Edi (1889, 1890) dan puluhan nama tempat dan tahun lainya. Beberapa meter memasuki area makam tampak sebuah tugu setinggi dua meter. Ini adalah makam sang Jenderal Kohler.
Tugu berbentuk batu nisan ini terletak tepat di bagian tengah area makam. Nisan Sang Jenderal lumayan lebih besar dan tinggi dibandingkan dengan nisan ribuan kuburan lainya.
Meskipun ada ribuan makam, namun kawasan ini tidak sedikitpun mengesankan angker.
"Kalau sore banyak anak-anak yang datang bermain ke sini. Pada siangnya juga ada murid sekolah dengan gurunya. Mereka kadang datang dengan mobil," kata Armia, seorang pekerja yang ditemui koran ini.
Kerkhof sempat mengalami kerusakan parah saat bencana tsunami melanda Aceh akhir tahun 2004 lalu. Hingga kini dampak dari kerusakan itu masih membekas.
Misalkan saja banyak batu nisan kuburan yang tidak lagi pada posisi aslinya. Gelombang tsunami telah membuat ratusan batu nisan di dalam area makam tercerabut dari tanah. Beberapa diantaranya malah ada yang berpindah tempat. Suasana dalam area makam juga tidak lagi seasri warna aslinya.
Banyak rumput liar yang tumbuh sehingg mempengaruhi keindahan kawasan itu. Kondisi makam pasca tsunami tersebut kemudian membuat Kerajaan Belanda menaruh prihatin. Sejumlah langkah dan upaya renovasi diambil. "Renovasi tahap pertama sudah selesai. Tinggal sekarang untuk tahap kedua.
Antara lain untuk perbaikan selokan, pagar dan mengambil reruntuhan beton dalam komplek makam yang ikut terbawa oleh gelombang tsunami," kata Guss Hess (70), Bendahara Yayasan Peutjut. Hess datang dari Belanda ke Aceh khusus untuk mengurusi renovasi komplek makam tersebut. Ini merupakan kedatanganya yang ketiga kali untuk melihat langsung kondisi makam serdadu Belanda itu.
Kedatangan pertamanya ke Aceh sekitar 11 tahun lalu dan yang kedua sekitar 10 tahun lalu.
"Dua tahun lalu saya tidak bisa masuk Aceh dan terpaksa bertahan di Medan," kata perwira berpangkat Kolonel lulusan Akademi Militair Breda di Belanda itu.
Tahun 1991 lalu Hess pensiun dan kini menjabat sebagai Bendahara Yayasan Peutjut. Yayasan ini berdiri pada tahun 1976 dan berkantor pusat di Duoesburg, Netherland. Ini merupakan satu-satunya Yayasan di Belanda yang mengurusi dan merawat komplek makam Kerkhof.
"Banyak tokoh-tokoh tentara Belanda yang tewas dan di makamkan di sini.
Mereka tewas karena menjalankan perintah negara," ujarnya. Karena itu pula, Kerajaan Belanda sangat berkepentingan dengan keberadan makam Kerkhof.
Menurut Hess, Belanda mengakui heroisme pejuang Aceh saat negara kompeni itu berusaha untuk merebut wilayah Aceh pada pertama kalinya melakukan penyerangan tahun 1873. "Saat itu hanya Sabang yang bisa ditaklukan Belanda," katanya.
Dia menyebutkan keberadaan komplek makam Kerkhof menjadi bukti kegigihan pejuang Aceh melawan Belanda. Saat ini tercatat 2.200 serdadu Belanda tewas dan dimakamkan di komplek tersebut. Menurut Rusdi Sufi, Pakar Sejarah Aceh dari FKIP Unsyiah, para serdadu yang dimakamkan di komplek Kerkhof tidak semuanya berasal dari tentara Belanda.
Hanya 30 persen para serdadu Karajaan Belanda yang tewas dan dimakamkan di kawasan itu. Mereka adalah para tentara pilihan yang dikirimkan oleh Kerajaan untuk memimpin penaklukan wilayah Aceh. Atau dalam beberapa catatan sejarah mereka disebut Marsose (pasukan elit).
"Sementara 70 persen lainya berasal dari kalangan pribumi yang direkrut oleh Belanda yang dijadikan serdadu dan dikirim untuk menaklukan Aceh. Mereka umumnya berasal dari Ambon, Jawa dan Manado," kata Sufi yang fasih berbahasa Belanda.
Terhadap pasukan ini, Belanda saat itu menyebutknya Kominklijik Netherlandsch Indische Leger (KNIL). Peryataan Rusdi memang benar. Uumnya nama-nama yang tertulis di atas prasasti gapura komplek makam tersebut umumnya menyerupai nama dari kalangan masyarakat Jawa, Manado dan Ambon.
Bagi Aceh, keberadaan makam Kerkhof menjadi sebuah bukti sejarah kegigihan pejuang Aceh dalam melawan penjajah. Namun bagi Belanda, keberdaan makam itu menjadi sebuah aset kerajaan tidak ternilai karena di dalamnya turut dikubur sejumlah tokoh perwira tentara Belanda yang gugur dalam menjalankan tugas negara.
"Ini merupakan sebuah monumen yang harus kita lestarikan sebagai sebuah bukti sejarah. Tidak pernah ada ditemukan di walayah lain di Indonesia kuburan dengan jumlah serdadu yang mencapai ribuan orang," jelas Sufi yang juga Kepala Perwakilan Yayasan Peutjut di Banda Aceh atau dengan istilah lain di sebut Stichting Peutjut Founds.
Untuk mengungkap lebih detil soal keberadaan Komplek makam Kerkhof ini, yayasan tersebut telah berencana untuk membuat sebuah buku dalam beberap bahasa
"Agar setiap pengunjung dapat mengenal lebih dekat sejarah makam 2.200 serdadu Belanda yang meninggal di Aceh ini," ujar Hess yang beristrikan orang Belanda. (*)
Dihargai Sebagai Aset Kerajaan Karena Empat Jenderal Ikut Tewas
"O God, Ik ben getroffen" (Ya Tuhan, aku kena).
Ucapan terakhir itu keluar dari mulut Jenderal Kohler ketika sebutir peluru menembus dadanya.
Sang jenderal itu pun terkapar dan tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman. Pemerintah Belanda menyadari kekeliruan Mayor Jenderal JHR Kohler yang menyerbu dan membakar masjid termegah kebanggaan rakyat Aceh.
Serangan ke Masjid Raya itu adalah bumerang bagi Belanda. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1876 itu meninggalkan bukti banyaknya korban Perang
Aceh di pihak Belanda, di antaranya dapat disaksikan di Kerkhof, Peucut, Banda Aceh, sekitar satu kilometer di selatan Masjid Raya.
Di sana terkubur 2.200 serdadu Belanda, termasuk Kohler, sang jenderal itu sendiri. Saat wartawan koran ini mengunjungi area makam seluas hampir lima hektar itu kemarin, sejumlah pekerja tampak tengah melakukan upaya renovasi di beberapa bagian komplek kuburan.
Namun makam-makam itu masih menyimpan nuansa historis yang begitu kental.
Sebuah gapura dengan arsitektur gaya eropa tampak menghiasi bagian depan komplek makam tersebut.
Uniknya, gapura yang juga berfungsi sebagai pintu gerbang ini dipenuhi dengan prasasti yang terbuat dari batu marmar. Di atas prasasti dengan posisi tegak lurus dan menempel pada dinding gapura tertulis nama-nama para serdadu Belanda yang turut dikubur dalam area makam. Menurut perkiraan jumlah mencapai 2.200 orang.
Di antara para serdadu yang tewas tersebut terdapat dua orang jenderal. Nama dua jenderal Belanda ini terukir di sisi kanan dan kiri gapura.
Persisnya berbunyi : In Memoriam General – Majoor JHR Kohler, Gesneuveld, 14 April 1873. Satunya lagi berbunyi : In Memoriam Luitenant Kolonel WBJA Scheepens Overladen, 17 Oktober 1913.
Tanggal dan tahun yang tertulis itu menandai saat tewasnya sang jenderal ketika melawan pejuang Aceh. Salah satu catatan penting pada Perang Aceh adalah tewasnya empat jenderal Belanda, yaitu Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Tewasnya empat jenderal Belanda merupakan peristiwa satu-satunya yang pernah dialami Belanda dalam sejarah perjalanan kerajaan tersebut dalam menyerang wilayah lainnya. Di atas prasasti itu juga tertulis tahun dan nama tempat dimana ribuan serdadu Belanda itu tewas.
Misalkan saja ada nama Long Battah (1874), Oleh Karang-Pango (1876), Samalanga (1877,1880,1882), Lepong Ara (1883, 1884), Lambesoi (1884), Lamboek (1873, 1874), Koewala (1887), Edi (1889, 1890) dan puluhan nama tempat dan tahun lainya. Beberapa meter memasuki area makam tampak sebuah tugu setinggi dua meter. Ini adalah makam sang Jenderal Kohler.
Tugu berbentuk batu nisan ini terletak tepat di bagian tengah area makam. Nisan Sang Jenderal lumayan lebih besar dan tinggi dibandingkan dengan nisan ribuan kuburan lainya.
Meskipun ada ribuan makam, namun kawasan ini tidak sedikitpun mengesankan angker.
"Kalau sore banyak anak-anak yang datang bermain ke sini. Pada siangnya juga ada murid sekolah dengan gurunya. Mereka kadang datang dengan mobil," kata Armia, seorang pekerja yang ditemui koran ini.
Kerkhof sempat mengalami kerusakan parah saat bencana tsunami melanda Aceh akhir tahun 2004 lalu. Hingga kini dampak dari kerusakan itu masih membekas.
Misalkan saja banyak batu nisan kuburan yang tidak lagi pada posisi aslinya. Gelombang tsunami telah membuat ratusan batu nisan di dalam area makam tercerabut dari tanah. Beberapa diantaranya malah ada yang berpindah tempat. Suasana dalam area makam juga tidak lagi seasri warna aslinya.
Banyak rumput liar yang tumbuh sehingg mempengaruhi keindahan kawasan itu. Kondisi makam pasca tsunami tersebut kemudian membuat Kerajaan Belanda menaruh prihatin. Sejumlah langkah dan upaya renovasi diambil. "Renovasi tahap pertama sudah selesai. Tinggal sekarang untuk tahap kedua.
Antara lain untuk perbaikan selokan, pagar dan mengambil reruntuhan beton dalam komplek makam yang ikut terbawa oleh gelombang tsunami," kata Guss Hess (70), Bendahara Yayasan Peutjut. Hess datang dari Belanda ke Aceh khusus untuk mengurusi renovasi komplek makam tersebut. Ini merupakan kedatanganya yang ketiga kali untuk melihat langsung kondisi makam serdadu Belanda itu.
Kedatangan pertamanya ke Aceh sekitar 11 tahun lalu dan yang kedua sekitar 10 tahun lalu.
"Dua tahun lalu saya tidak bisa masuk Aceh dan terpaksa bertahan di Medan," kata perwira berpangkat Kolonel lulusan Akademi Militair Breda di Belanda itu.
Tahun 1991 lalu Hess pensiun dan kini menjabat sebagai Bendahara Yayasan Peutjut. Yayasan ini berdiri pada tahun 1976 dan berkantor pusat di Duoesburg, Netherland. Ini merupakan satu-satunya Yayasan di Belanda yang mengurusi dan merawat komplek makam Kerkhof.
"Banyak tokoh-tokoh tentara Belanda yang tewas dan di makamkan di sini.
Mereka tewas karena menjalankan perintah negara," ujarnya. Karena itu pula, Kerajaan Belanda sangat berkepentingan dengan keberadan makam Kerkhof.
Menurut Hess, Belanda mengakui heroisme pejuang Aceh saat negara kompeni itu berusaha untuk merebut wilayah Aceh pada pertama kalinya melakukan penyerangan tahun 1873. "Saat itu hanya Sabang yang bisa ditaklukan Belanda," katanya.
Dia menyebutkan keberadaan komplek makam Kerkhof menjadi bukti kegigihan pejuang Aceh melawan Belanda. Saat ini tercatat 2.200 serdadu Belanda tewas dan dimakamkan di komplek tersebut. Menurut Rusdi Sufi, Pakar Sejarah Aceh dari FKIP Unsyiah, para serdadu yang dimakamkan di komplek Kerkhof tidak semuanya berasal dari tentara Belanda.
Hanya 30 persen para serdadu Karajaan Belanda yang tewas dan dimakamkan di kawasan itu. Mereka adalah para tentara pilihan yang dikirimkan oleh Kerajaan untuk memimpin penaklukan wilayah Aceh. Atau dalam beberapa catatan sejarah mereka disebut Marsose (pasukan elit).
"Sementara 70 persen lainya berasal dari kalangan pribumi yang direkrut oleh Belanda yang dijadikan serdadu dan dikirim untuk menaklukan Aceh. Mereka umumnya berasal dari Ambon, Jawa dan Manado," kata Sufi yang fasih berbahasa Belanda.
Terhadap pasukan ini, Belanda saat itu menyebutknya Kominklijik Netherlandsch Indische Leger (KNIL). Peryataan Rusdi memang benar. Uumnya nama-nama yang tertulis di atas prasasti gapura komplek makam tersebut umumnya menyerupai nama dari kalangan masyarakat Jawa, Manado dan Ambon.
Bagi Aceh, keberadaan makam Kerkhof menjadi sebuah bukti sejarah kegigihan pejuang Aceh dalam melawan penjajah. Namun bagi Belanda, keberdaan makam itu menjadi sebuah aset kerajaan tidak ternilai karena di dalamnya turut dikubur sejumlah tokoh perwira tentara Belanda yang gugur dalam menjalankan tugas negara.
"Ini merupakan sebuah monumen yang harus kita lestarikan sebagai sebuah bukti sejarah. Tidak pernah ada ditemukan di walayah lain di Indonesia kuburan dengan jumlah serdadu yang mencapai ribuan orang," jelas Sufi yang juga Kepala Perwakilan Yayasan Peutjut di Banda Aceh atau dengan istilah lain di sebut Stichting Peutjut Founds.
Untuk mengungkap lebih detil soal keberadaan Komplek makam Kerkhof ini, yayasan tersebut telah berencana untuk membuat sebuah buku dalam beberap bahasa
"Agar setiap pengunjung dapat mengenal lebih dekat sejarah makam 2.200 serdadu Belanda yang meninggal di Aceh ini," ujar Hess yang beristrikan orang Belanda. (*)
Komentar
Posting Komentar