Polisi Itu Tewas

Hari-Hari Terakhir Alm Bripda Rama Estrada, Korban Penembakan Markas Dirlantas Polda Aceh.
Bertingkah Aneh dan Kirim Uang Beli Sepatu Baru Si Bungsu

HUJAN turun rintik-rintik sekira pukul 09.30 wib pagi kemarin. Suasana di sekitar makam alm Bripda Rama Arga Estrada, terasa begitu hening. Empat wanita dan dua lelaki terlihat berziarah. Satunya diantaranya adalah wanita bernama Ratna. Perempuan itu terlihat memendam rasa haru mendalam.

Tatapan matanya nanar tertuju pada tiga buah karangan bunga yang tersusun rapi di atas pusara yang masih basah diguyur hujan. Diantara karangan bunga itu terselip ungkapan duka dari jajaran Bhayangkara Polda Aceh sebagai ucapan terakhir atas meninggalnya anggota Dirlantas Polda itu dalam satu insiden penembakan, Selasa (9/1).

Perpisahan almarhum dengan keluarga selama delapan bulan ternyata membuat wanita berusia 47 tahun itu tidak mampu menahan tangis.

"Ini adalah hari terakhir saya bertemu dengan dia. Tapi semuanya sudah berubah. Kami hanya bisa menziarahi kuburnya hari ini," kata Ratna, yang tak lain ibu kandung alm Bripda Rama.
Prosesi ziarah itu berlangsung sederhana dan hanya dihadiri delapan orang.


Antaranya, ibu dan ayah almarhum, dua sanak saudara dan seorang kakak kandung almarhum, Febrita Yolanda (28). Seiring dengan untaian doa, isak tangis pun melingkupi acara prosesi tersebut.

Bagi Ratna, kepergian almarhum meninggalkan duka mendalam. Sejak bertugas di Banda Aceh pada tanggal 7 Mei 2006, alm Bripda Rama Arga Estrada belum pernah bertemu sekalipun dengan kedua orang tuanya yang berdomisili di Cikempong, Desa Pakan Sari, Cibinong, Bogor.

"Kalau ada keperluan komunikasi Rama dengan keluarga hanya lewat telepon saja," ucap Ratna. Karenanya, ketika alm Bripda Rama Arga Estrada dikabarkan telah tiada, pihak keluarga merasa amat kehilangan. Sempat juga terbetik rasa tidak percaya ketika berita itu datang.

Pasalnya, pada pukul 17.00 wib, Senin (8/1), almarhum sempat berbicara via telepon dengan ayahnya. Ketika itu almarhum hanya menanyakan kondisi keluarga di Bogor. "Saya merasa tidak percaya. Setahu saya dia tidak sakit. Tapi kok tiba-tiba saja dikabari meninggal," kata wanita itu lirih.

Wanita paro baya itu mengaku tidak menangkap firasat apa pun terhadap musibah yang menimpa anaknya. Hanya saja, suatu kali dia pernah mendengar ada seekor burung yang hinggap di teras rumah sambil mengeluarkan suara. Kata orang, itu pertanda ada musibah.

"Tapi saat itu saya berfikir, itu tidak terjadi pada kami," ungkapnya.

Percaya atau tidak, musibah itu rupanya benar terjadi. Pada pukul 06.30 Selasa pagi, pihak keluarga mendapat kabar anaknya telah tiada. Hari itu juga pukul 14.00 Wib keluarga berangkat ke Banda Aceh. Namun harapan untuk melihat almarhum di rumah duka tidak tercapai. Bripda Rama keburu dikebumikan dalam sebuah upacara militer.

Ratna bersama beberapa keluarga lainnya baru tiba di rumah duka pada Selasa pukul 19.00 Wib. Menurut ibunya itu, alm Rama adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Dia termasuk tipe orang yang baik, pekerja keras, santun dan bertanggungjawab. Rama pernah melamar tes polisi setamat dari SMA PGRI Cibinong, Bogor.

"Tapi tes pertama ini gagal. Dia kemudian lulus pada tes kedua dan resmi menjadi anggota Satuan Gegana di Kelapa Dua, Jakarta," kata wanita itu lirih.

Almarhum juga pernah bertugas di Aceh sebagai prajurit Bawah Kendali Operasi (BKO) di tiga wilayah, yaitu di Meulaboh, Lamteumen, Banda Aceh dan di Indrapuri, Aceh Besar. Namun Mei 2006, Rama resmi bertugas di Dirlantas Lamteumen dan sejak itulah almarhum tidak pernah lagi berjumpa dengan keluarganya di Bogor.

Menurut Ratna, dalam percapakan via telepon beberapa jam sebelum insiden pemberondongan markas Dirlantas Lamteumen itu, Rama sempat menitipkan beberapa pesan terakhir pada sang ayah, Makmun (52).

Satu hal yang paling diingat adalah, saat dia menanyakan kabar si bungsu, Rangga, 14. "Terakhir kalinya dia telepon tanya kabar si adek sambil memberitahu agar rajin-rajin belajar," kata Makmun.

Saat itu bertepatan dengan hari pembagian raport. Rangga memperoleh nilai lumayan baik sehingga meminta dibelikan sepatu baru. Pada hari itu Rama sempat bilang, uang untuk beli sepatu baru adek udah dikirim.

"Pak udah ditransfer uangnya untuk beli sepatu baru buat adek ya'. Tapi hingga sekarang sepatu itu belum bisa dibelikan karena Selasa pagi kami dapat kabar itu," ujar Makmun dengan mata menerawang.
Rama pernah bercita-cita, menjadikan si bungsu Rangga mengikuti jejaknya. Yaitu menjadi polisi.


"Abang maunya si adek juga bisa jadi polisi seperti dia," kata Febrita Yolanda, kakak almarhum.

Yolanda mengakui selalu dekat dengan almarhum. Mereka sama-sama bertugas di Dirlantas Lemteumen. Bedanya, Yolanda hanya seorang Pegawai Harian Lepas (PHL) di Markas Besar Polisi Lalu Lintas Aceh itu. Dia baru bertugas sekitar tiga bulan yang lalu.
Itu pun berawal atas usaha almarhum yang meminta sang kakak untuk mengadu nasib di Banda Aceh setelah perusahaan tempat Yolanda kerja tutup.


"Coba aja datang ke Aceh. Mungkin ada pengalaman baru di sana," kata gadis tamatan SMEA 3 Jakarta itu mengutip ajakan almarhum ketika itu.

Yolanda pun akhirnya menuruti kemauan adiknya itu. Gadis berkulit kuning langsat itu mengaku tidak ada firasat apapun terhadap musibah yang menimpa keluarganya. Hanya saja dia sempat bertemu sekitar pukul 22.00 Wib dengan alm yang sedang piket malam itu.

"Setelah bertemu sebentar, lantas saya pulang ke asrama di Lamteumen yang berada di belakang kantor," ujarnya sambil menatap wajah mungil Pasca Leader Estrada berusia 2,5 bulan, anak semata wayang yang ditinggalkan almarhum.

Dia mengaku tidak begitu merasakan kehilangan seperti sang ibu. "Mungkin ini baru saja musibah kali ya. Tapi nggak tau kalau nanti. Sebab, orang yang selama ini selalu kita lihat, tapi sekarang tiba-tiba tidak ada lagi bersama," ungkapnya lirih.

Istri alm Bripda Rama Arga Estrada, Hafsari, 23 terlihat begitu tegar menghadapi cobaan ini. Begitupun, matanya masih terlihat sembab kemarin. Sari mengatakan, pertemuanya dengan almarhum terjalin setelah bencana tsunami menghantam Aceh 2004 silam. Saat itu almarhum masih bertugas sebagai Satuan Gegana BKO.

Dia sering ikut bersama salah seorang atasannya memberi bantuan untuk para korban tsunami dari Satuan Gegana yang mengungsi di kawasan Desa Meunasah Papeun. Sedangkan Sari sering berada di sebuah warung milik kakaknya, sekitar 50 meter dari rumahya. Sejak saat itulah mereka bertemu hingga melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Selanjutnya, sejak Mei 2006 alm Rama resmi bertugas Dirlantas Lamteumen. Sedangkan Sari, setelah menikah memilih non aktif dari studinya di Fakultas Kesehatan Masyarakat (KFM) Muhammadiyah pada semester empat menyusul kelahiran buah hati mereka, Pasca Leader Estrada berusia 2,5 bulan.

Namun belum lagi si buah hati mengenal ayahnya, Tuhan berkehendak lain. Bripda Rama tewas di rumah sakit setelah kena peluru dalam sebuah insiden pemberondongan terhadap Dirlantas Lamteumen, Selasa pagi. Bagai petir di siang hari, berita itu membuat sari seoalah tidak percaya.

Sebelum kejadian, Sari mengaku sempat menangkap beberapa hal yang ganjil pada diri suaminya.

"Abang sempat memberikan kunci gudang logistik kepada temanya. Padahal teman dia itu juga sudah ada kunci yang sama. Temannya sempat menolak. 'Tidak apa-apa, ambil saja'," kata Sari mengutip keterangan kerabat almarhum.

Perubahan sikap alm juga sempat terlihat tiga hari menjelang insiden itu terjadi.

"Pembawaanya sering termenung. Kadang duduk sendiri di depan tv. Tapi tv-nya tidak dihidupkan," ujarnya.

Kini Sari belum tahu mau berbuat apa. Hanya keluarga dan sanak saudara yang menjadi harapanya bersama si kecil. "Entahlah. Untuk saat ini belum tahu buat apa. Semua ini sudah takdir. Saya pasrah saja," ucapnya lirih. ( ***)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku