Potret 5 Tahun Syariat Islam
WARrdiah barangkali tidak pernah terpikir kalau hubungan cintanya dengan Gueseppe akan berakhir tragis. Remaja asal Kabupaten Pidie, itu kini tinggal menunggu putusan Mahkamah Syar’iah Bireun.
Dia dituduh telah melanggar Qanun Syariat Islam nomor 14/2003 tentang khalwat (mesum) yang dilakukanya bersama Gueseppe yang tidak lain adalah pacarnya di sebuah rumah, akhir Juli 2006 lalu.
Bila terbutkti, Wardiah akan dijatuhi hukuman lima kali cambuk di depan umum. Sedangkan Gueseppe asal Italia, bebas dari jeratan hukuman cambuk. Karena hukum syariat Islam hanya bisa menghukum mereka yang muslim.
Hanya saja lelaki itu dijerat dengan Undang-Undang Anti Narkotika nomor 22 tahun 1997 atas bukti kepemilikan daun ganja dan minuman beralkohol yang ditemukan petugas Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat) di kamar mereka berkencan.
Kasus cinta terlarang Wardiah dengan Gueseppe yang berakhir di Meja Mahkamah Syar’iah ini bukan pertama kali terjadi di Aceh sejak Provinsi Serambi Mekah itu resmi menerapkan hukum syariat Islam pada 2001 lalu.
Kasus pelanggaran Qanun Syariat Islam, kembali terjadi Rabu (8/11) lalu. Kali ini menimpa seorang anggota DPRD Aceh Tamiang. Anggota dewan berinisial IS itu, tertangkap basah oleh warga ketika tengah berhubungan badan dengan seorang wanita selingkuhanya, AI.
Pasangan mesum itu digerebek warga di rumah RH di Dusun Cempaka I, Desa Benua Raja, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang, sekira pukul 01.30. Tak pelak, IS kaget bukan kepalang ketika massa dan Polisi Syariat Islam mendobrak jendela rumah itu dan mendapati keduanya dalam keadaan bugil.
Ironisnya, sebelum ditangkap, kedua insan yang sedang di mabuk cinta itu tengah menonton film porno di kamar RH. Sementara, pemilik rumah, RH dan istrinya malah tidur di luar kamar.
RH memberi fasilitas kepada IS dan AI untuk berbuat mesum di kamarnya. Kalau benar terbukti, Mahkamah Syari’ah setempat akan menjatuhi hukuman kepada kedua pelaku sembilan kali cambuk.
“IS dan AI telah melanggar Qanun No 14 Tahun 2003 pasal 22 ayat 1 tentang khalwat atau mesum dan bisa diganjar maksimal sembilan kali cambuk dan minimal tiga kali cambuk serta denda maksimal Rp 10 juta dan minimal Rp 2,5 juta,” kata Drs Syuibun, Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Aceh Tamiang.
Sedangkan RH yang memberikan fasilitas kepada IS dan AI untuk berbuat mesum, sesuai ayat 2 Qanun No 14 Tahun 2003, diganjar enam bulan dan minimal dua bulan kurungan badan atau denda maksimal Rp 15 juta dan minimal Rp 5 juta.
Seperti apa sebenarnya penerapan syariat Islam di Provinsi Serambi Mekah ini? Syariat Islam mulai berlaku di Aceh sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 14/1999 Tentang penyelenggaraan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Kala itu Aceh belum bernama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian nama ini kembali berubah menjadi Provinsi Aceh setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Provinsi Aceh (UUPA).
Seiring waktu, pelaksanaan Syariat Islam terus berjalan. Meskipun, banyak kritik dan suara sumbang terlontar dari masyarakat di provinisi itu.
Misalkan Qanun (Perda) yang dilahirkan pemerintah dipandang hanya sebatas untuk menghukum rakyat jelata.
Atau lebih ironis lagi, ada yang berpandangan, Syariat Islam hanya mengurusi soal jilbab dan wanita yang tidak berbusana Islami.
Sementara qanun lainya yang tergolong tidak kalah pentingnya, korupsi misalkan, sampai sekarang belum ada pembahasan di tingkat DPRD.
Namun seolah semua itu tidak menjadi kendala. Hukum syariat Islam di Aceh terus berjalan. Pada awal penerapanya, memang warga sangat menyambut antusias.
Tidak sedikit pelaku zinah dan wanita yang tidak menutup aurat diarak keliling desa. Bahkan ada yang dipangkas rambutnya karena tidak mengenakan jilbab.
Saat itu orang-orang yang menamakan dirinya Taliban kerap melakukan razia. Sasarannya wanita yang tidak berbusana muslimah, apalagi yang terang-terangan tidak menutup aurat.
Razia juga dilakukan oleh ibu-ibu di desa pedalaman Aceh. Mereka mendatangi rumah ke rumah mencari lelaki dewasa yang tidak melaksanakan shalat Jum’at.
Bukan hanya di desa, di ibukota kabupten aksi razia oleh kelompok anak muda dan mahasiswa juga kerap terjadi. Mulai dari rumah kos, salon kecantikan, tempat bilyard hingga ke tepian kali dan pantai wisata yang kerap dijadikan ajang rekreasi.
Praktis semua pemilik salon kecantikan dan pengusaha bilyar merondok dan sangat berhati-hati menjalankan usahanya agar tidak ketahuan.
Para wanita malam bagai patah arang melihat gencarnya operasi atau razia dilakukan warga.
Kegiatan razia jilbab juga terjadi dimana-mana. Hampir tidak ditemui ada remaja atau wanita dewasa yang tidak mengenakan jilbab saat mereka keluar rumah.
Kalau kedapatan, rambut mereka bisa dipotong oleh orang ramai. Sejak saat itulah, wanita ramai-ramai memakai jilbab, meskipun hanya sebatas kerudung yang menutupi kepala.
Di sektor pemerintah daerah, juga tidak kalah gencarnya. Panplet dan nama kantor/intansi bertuliskan tulisan arab jawi juga bertebaran se antero Aceh. Seoalah ada sebuah intruksi Pemerintah Daerah yang mewajibakan setiap instansi/dinas untuk memasang panplet tulisan arab jawi agar terlihan bernuansa Islami.
Bahkan Masjid Raya Bairturrahman dengan sangat bersahaja memasang peringatan “Hanya perempuan atau laki-laki yang berbusana Islami saja yang boleh mamasuki halaman Masjid”.
Tak heran, turis-turis asing pun terpaksa ‘harus’ memakai kerudung kalau mau masuk ke halaman masjid. Saat itu belum ada Wilayatul Hisbah atau lebih populer Polisi Syariat.
Lima Tahun Sudah
Kini, lima tahun sudah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberlakukan Syariat Islam. Dalam rentang waktu itu pula, kehidupan masyarakat di daerah berjuluk Serambi Mekah itu kental dengan nuansa Islam.
Tidak lagi sebatas nuansa, tapi telah merasuk dalam semua sendi kehidupan masyarakatnya. Dengan Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 18 tahun 2001, Aceh resmi memberlakukan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya, selain tentunya, hukum positif yang berlaku nasional.
Memang diakui tidak semua peraturan syariat Islam bisa langsung diterapkan. Ada beberpa kendala yang dihadapi. Peraturan Daerah atau Qanun misalnya, sampai kini baru empat yang disahkan. Empat Qanun ini dinilai jauh dari cukup untuk mengatur kehidupan masyarakat di Bumi Serambi Mekah itu.
Yaitu Qanun nomor 11/2002 tentang aturan Syariat Islam, Qonun no 12/2002 tentang judi (maisir), Qanun no 13/2002 tentang minuman keras (khamar) serta Qanun no 14/2002 tentang khalwat (mesum).
“Tidak ada pergeseran yang signifikan dari sebelumnya. Kita tetap masih sama dari awal. Masih pada empat Qanun yang kita terapkan secara gardual,” kata Kata Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, Prof Dr Alyasa’ Abubakar.
Selanjutnya, penerapan Syariat Islam terus menggelinding. Malah setelah empat Qanun tersebut efektif berlaku makin banyak saja pelaku/orang-orang yang melanggar syariat Islam tertangkap dan dijatuhi sanksi.
Intensitas sosialisasi juga semakin gencar menyusul dibentuknya Wilayatul Hisbah. Sejarah mencatat hukuman cambuk pertama di Aceh diterapkan di Bireun pada Juli 2005.
Sebanyak 12 orang penjudi di Kabupaten Bireun, secara massal dijatuhi hukuman cambuk. Eksekusi hukuman itu berlangsung di Masjid Agung Bireun dan dilakukan di depan umum. Ini dimaksudkan agar mereka yang melihat tidak mengulangi paerbuatan serupa.
Sejak itu pula rentetan pelaksanaan hukuman cambuk terus terjadi di Aceh. Sebagai lembaga yang mengawasi jalanya empat Qanun ini, petugas WH kerap melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat dalam kaitanya penerapan qanun-qanun sayariat Islam.
WH juga melakukan operasai penertiban. Seolah tidak pandang bulu, siapa saja yang dinilai melanggar akan kena sanksinya. Temasuk mereka yang kerap kongkow-kongkow di cafe alamat diangkut WH bila kedapatan tidak memakai jilbab.
Malah dalam setiap operasai tersebut kerap kali ada saja yang terjaring petugas. Ada yang langsung mendapat pembinaan di tempat ada pula yang diangkut ke kantor WH untuk diberikan nasehat.
Menurut Alyasa’ WH berkewajiban untuk menasehati dan memperingati mereka yang melanggar, seperti halnya soal pakaian yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
“Tapi WH tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan,” ujarnya. Dia juga tidak menampik kalau operasi yang dilakukan WH tersebut mendapat kritikan. Karena operasi WH tersebut hanya ditujukan kepada kaum wanita.
“Boleh-boleh saja mengatakan seperti itu. Tapi kalau fakta yang kita temukan di lapangan, tidak demikian. Karena hukuman yang dijatuhkan itu diberikan kepada mereka yang tebukti berjudi, meminum minuman keras, itu jauh lebih banyak lelaki dibandingkan perempuan. Memang ada peringatan, seperti halnya soal pakaian, tapi itu tidak dihukum,” jelas Alyasa’.
Pj Gubernur Aceh, Mustafa Abubakar melihat, penerapan Syariat Islam di Aceh harus mencakupi multi aspek kehidupan. Syariat Islam tidak boleh berjalan parsial.
“Hukum cambuk hanyalah bagian kecil dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Masih banyak aspek lain yang harus dikaji. Orang-orang luar Aceh seolah memandang Syariat Islam sebatas hanya hukum cambuk dan soal jilbab. Ini suatu hal yang keliru,” kata Mustafa.
Namun realitas yang terjadi di lapangan dalam beberapa tahun terakhir tidak dapat terbantahkan. Banyak kasus pelanggaran syariat Islam mulai kembali terjadi di Aceh.
Kalau dulu wanita berkerundung, akan menghadapi sanksi rambutnya dipotong orang ramai, malah sekarang kondisi tidak lagi demikian. Masyarakat mulai ada kecenderungan untuk tidak mematuhi rambu-rambu syariat Islam.
Contoh kecil, mislanya soal memakai jilbab. Fenomena seperti ini kerap dijumpai, meski jumlahnya boleh dibilang masih kecil
Itu sebabnya WH kerap melakukan razia. Operasi tidak hanya sebatas bagi mereka yang tidak berbusana Islami.
Dalam Pasal 13 ayat i Qanun nomor 11/2002 disebutkan, busana Islami adalah pakaian yang menutup aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. WH juga kerap mencecar lokasi-lokasi yang ditenggarai kerap terjadi pelanggaran Syariat Islam.
Malah WH kota Banda Aceh punya jadwal patroli rutin dan stand by selama 24 jam. WH juga kerap mencocok pasangan muda mudi yang dianggap melanggar qanun. Misalkan berdua-duan di tempat sepi atau terjun langsung ke lokasi melakukan penggerebekan. Sering kali Polisi Syariat itu menyita minuman keras dan menciduk pelakunya.
Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh mencatat ada 615 kasus pelanggaran syariat Islam yang terjadi di wilayah itu dalam kurun waktu Januari- Sepetember 2006.
Sebanyak 454 kasus diantaranya merupakan kasus pelanggaran Qanun nomor 11/2002 tentang Pelaksanaan Syaiat Islam bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Sedangkan 153 kasus terkait pelanggaran Qanun nomor 14/2002 tentang khalwat (mesum), 7 kasus melanggar Qanun nomor 12/2002 tentang judi (maisir) dan satu kasus lainya terkait pelanggaran Qanun nomor 13/2006 tentang khamar (minuman keras).
“Semua kasus ini sudah dilaporkan dalam sidang paripurna DRPRD Kota Bnada Aceh beberapa waktu lalu,” kata Wirzaini Usman, Juru Bicara Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh.
Sedangkan jumlah pelanggaran Qanun Syariat Islam sebelum Januari 2005 diakuinya belum terkumpul secara akurat. Sebab, WH Kota Banda Aceh baru dibentuk pada Januari 2005, dan mulai aktif melakukan pengawasan pada Januari 2006 menyusul dikeluarkanya Peraturan Walikota nomor 195/2005.
Pada awal pembentukanya WH Kota Banda Aceh hanya memilki 13 personil. Kemudian bertambah menjadi 45 orang pada 2006. Dalam setiap upaya pengawasan Qanun, WH selalu berkoordinasi dengan aparat kepolisian Poltabes Banda Aceh dan Koramil.
Tidak jarang dalam aksinya WH juga melibatkan warga masayarakat.
“Dalam beberapa bulan terakhir ini mulai ada upaya dari warga masyarakat di desa-desa untuk membentuk Badan Anti Maksiat (BAM). Keberadaan mereka sangat membantu kita untuk mengawasi qanun-qanun yang sudah berlaku di Aceh,” kata Wirzaini.
Menurutnya tugas WH hanya melakukan pengawasan terhadap empat Qanun yang telah diterapkan di Aceh. WH tidak dibenarkan mengambil tindakan diluar kewenanganya.
Seperti halnya melakukan penyidikan kepada pelaku hingga membuat Berita Acara Perkara terhadap suatu kasus. Ini sesuai dengan Qanun nomor 11/2002 yang menyebutkan
“Wilayatul Hisbah sebagai lembaga pengawasan, diberi peran untuk mengingatkan, membimbing dan menasehati, sehingga kasus pelanggaran qanun ini diserahkan kepada penyidik untuk diusut dan diteruskan ke Pengadilan, adalah kasus pelanggaran yang sudah melalui proses/upaya peningkatan nasehat dan bimbingan terhadap si pelaku”.
Untuk kasus-kasu ringan, ada yang diselesaikan di tingkat desa yang difasilitasi pemuka masyarakat atau lembaga mukim. Sampai saat ini belum ada personila WH yang ditetapkan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
“Selama ini semua penyidikan terhadap kasus yang kita tangani diserahkan kepada polisi. Kita tidak mengintervensi. Kita hanya memberi sosialisasi. Ke depan, personil WH harus ada yang jadi PPNS. Sehingga WH bisa membaut BAP sendiri terhadap sebuah perkara untuk kemudian diserahkan kepada Jaksa,” paparnya.
Terhadap kasus-kasus pelanggaran qanun, diakuinya memang masih kerap terjadi di Kota Banda Aceh. “Kasus-kasus pelangaran ini sulit untuk dihilangkan. Hanya saja kita terus melakukan pengawasan,” tandas Wirzaini.
Diantara kasus pelanggaran Syariat Islam ada yang sudah mendapat putusan (vonis) dari Mahkamah Syar’iah. Para pelakunya ada yang digiring untuk menjalani hukuman cambuk dan ada pula yang menjalani kurungan.
Panitera Muda Hukum pada Mahkamah Syar’iah Kota Banda Aceh, Basri SH mengatakan, hukuman cambuk paling tinggi dijatuhi kepada pelaku yang terbukti meminum minuman keras (khamar) yakni 40 kali.
Eksekusi cambuk ini pernah dijatuhkan kepada seorang lelaki pertengahan 2006 lalu. Dia ternukti melanggar qanun nomor 13/2003 tentang khamar (miras)..
Hukuman tersebut digelar di Masjid Al-Muttaqin Kelurahan Peunayong yang ditonton ratusan warga. Namun, lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak mesin itu hanya mampu menahan tujuh kali cambukan sebelum akhirnya roboh dan tidak dapat melanjutkan sisa hukumanya.
Sedangkan bagi penjual miras yang terbukti dapat dijatuhi maksimal sembilan bulan masa kurungan dan denda maksimal Rp 30 juta. Bagi pelaku khalwat (mesum) laki-laki diancam delapan kali cambuk dan enam kali untuk perempuan. Sementara untuk pelaku judi (maisir) akan dijatuhi maksimal 12 kali cambuk.
Basri menyebutkan, pada 2005 lalu, Mahkamah Syar’iah Kota Banda Aceh telah menjatuhi vonis terhadap 11 kasus. Tujuh kasus terkait pelanggaran qanun nomor 12/2003 tentang miras (khamar) selebihnya kasus pelanggaran qanun nomor 13/2003 tantang maisir (judi) dan qanun nomor 14/2003 tentang khalwat (mesum).
Sedangkan priode Januari-November 20056, Mahkamah Syar’ah baru menjatuhkan vonis terhadap lima kasus. Yakni satu kasus soal khalwat, dua tentang khamar dan maisir. Kasus terakhir atas nama terdakwa Zulkarnain Bin Kamaluddin.
Karyawan Hotel Sultan ini bersalah melakukan tindak pidana (jarimah). Dia terbukti menyediakan minuman keras di. Mahkamah Syar’iah menjatuhkan Uqubat terhadap Terdakwa Zulkarnain Bin Kamaluddin berupa kurungan selama 5 (lima) bulan dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara.
Bersamanya juga turut didita barang bukti berupa 1 (satu) Botol miras merk Tartani , 1 (satu) botol Merk Cellar dan 84 (delapan puluh empat) kaleng Minuman Keras merk Bir Bintang. (*)
Dia dituduh telah melanggar Qanun Syariat Islam nomor 14/2003 tentang khalwat (mesum) yang dilakukanya bersama Gueseppe yang tidak lain adalah pacarnya di sebuah rumah, akhir Juli 2006 lalu.
Bila terbutkti, Wardiah akan dijatuhi hukuman lima kali cambuk di depan umum. Sedangkan Gueseppe asal Italia, bebas dari jeratan hukuman cambuk. Karena hukum syariat Islam hanya bisa menghukum mereka yang muslim.
Hanya saja lelaki itu dijerat dengan Undang-Undang Anti Narkotika nomor 22 tahun 1997 atas bukti kepemilikan daun ganja dan minuman beralkohol yang ditemukan petugas Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat) di kamar mereka berkencan.
Kasus cinta terlarang Wardiah dengan Gueseppe yang berakhir di Meja Mahkamah Syar’iah ini bukan pertama kali terjadi di Aceh sejak Provinsi Serambi Mekah itu resmi menerapkan hukum syariat Islam pada 2001 lalu.
Kasus pelanggaran Qanun Syariat Islam, kembali terjadi Rabu (8/11) lalu. Kali ini menimpa seorang anggota DPRD Aceh Tamiang. Anggota dewan berinisial IS itu, tertangkap basah oleh warga ketika tengah berhubungan badan dengan seorang wanita selingkuhanya, AI.
Pasangan mesum itu digerebek warga di rumah RH di Dusun Cempaka I, Desa Benua Raja, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang, sekira pukul 01.30. Tak pelak, IS kaget bukan kepalang ketika massa dan Polisi Syariat Islam mendobrak jendela rumah itu dan mendapati keduanya dalam keadaan bugil.
Ironisnya, sebelum ditangkap, kedua insan yang sedang di mabuk cinta itu tengah menonton film porno di kamar RH. Sementara, pemilik rumah, RH dan istrinya malah tidur di luar kamar.
RH memberi fasilitas kepada IS dan AI untuk berbuat mesum di kamarnya. Kalau benar terbukti, Mahkamah Syari’ah setempat akan menjatuhi hukuman kepada kedua pelaku sembilan kali cambuk.
“IS dan AI telah melanggar Qanun No 14 Tahun 2003 pasal 22 ayat 1 tentang khalwat atau mesum dan bisa diganjar maksimal sembilan kali cambuk dan minimal tiga kali cambuk serta denda maksimal Rp 10 juta dan minimal Rp 2,5 juta,” kata Drs Syuibun, Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Aceh Tamiang.
Sedangkan RH yang memberikan fasilitas kepada IS dan AI untuk berbuat mesum, sesuai ayat 2 Qanun No 14 Tahun 2003, diganjar enam bulan dan minimal dua bulan kurungan badan atau denda maksimal Rp 15 juta dan minimal Rp 5 juta.
Seperti apa sebenarnya penerapan syariat Islam di Provinsi Serambi Mekah ini? Syariat Islam mulai berlaku di Aceh sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 14/1999 Tentang penyelenggaraan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Kala itu Aceh belum bernama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian nama ini kembali berubah menjadi Provinsi Aceh setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Provinsi Aceh (UUPA).
Seiring waktu, pelaksanaan Syariat Islam terus berjalan. Meskipun, banyak kritik dan suara sumbang terlontar dari masyarakat di provinisi itu.
Misalkan Qanun (Perda) yang dilahirkan pemerintah dipandang hanya sebatas untuk menghukum rakyat jelata.
Atau lebih ironis lagi, ada yang berpandangan, Syariat Islam hanya mengurusi soal jilbab dan wanita yang tidak berbusana Islami.
Sementara qanun lainya yang tergolong tidak kalah pentingnya, korupsi misalkan, sampai sekarang belum ada pembahasan di tingkat DPRD.
Namun seolah semua itu tidak menjadi kendala. Hukum syariat Islam di Aceh terus berjalan. Pada awal penerapanya, memang warga sangat menyambut antusias.
Tidak sedikit pelaku zinah dan wanita yang tidak menutup aurat diarak keliling desa. Bahkan ada yang dipangkas rambutnya karena tidak mengenakan jilbab.
Saat itu orang-orang yang menamakan dirinya Taliban kerap melakukan razia. Sasarannya wanita yang tidak berbusana muslimah, apalagi yang terang-terangan tidak menutup aurat.
Razia juga dilakukan oleh ibu-ibu di desa pedalaman Aceh. Mereka mendatangi rumah ke rumah mencari lelaki dewasa yang tidak melaksanakan shalat Jum’at.
Bukan hanya di desa, di ibukota kabupten aksi razia oleh kelompok anak muda dan mahasiswa juga kerap terjadi. Mulai dari rumah kos, salon kecantikan, tempat bilyard hingga ke tepian kali dan pantai wisata yang kerap dijadikan ajang rekreasi.
Praktis semua pemilik salon kecantikan dan pengusaha bilyar merondok dan sangat berhati-hati menjalankan usahanya agar tidak ketahuan.
Para wanita malam bagai patah arang melihat gencarnya operasi atau razia dilakukan warga.
Kegiatan razia jilbab juga terjadi dimana-mana. Hampir tidak ditemui ada remaja atau wanita dewasa yang tidak mengenakan jilbab saat mereka keluar rumah.
Kalau kedapatan, rambut mereka bisa dipotong oleh orang ramai. Sejak saat itulah, wanita ramai-ramai memakai jilbab, meskipun hanya sebatas kerudung yang menutupi kepala.
Di sektor pemerintah daerah, juga tidak kalah gencarnya. Panplet dan nama kantor/intansi bertuliskan tulisan arab jawi juga bertebaran se antero Aceh. Seoalah ada sebuah intruksi Pemerintah Daerah yang mewajibakan setiap instansi/dinas untuk memasang panplet tulisan arab jawi agar terlihan bernuansa Islami.
Bahkan Masjid Raya Bairturrahman dengan sangat bersahaja memasang peringatan “Hanya perempuan atau laki-laki yang berbusana Islami saja yang boleh mamasuki halaman Masjid”.
Tak heran, turis-turis asing pun terpaksa ‘harus’ memakai kerudung kalau mau masuk ke halaman masjid. Saat itu belum ada Wilayatul Hisbah atau lebih populer Polisi Syariat.
Lima Tahun Sudah
Kini, lima tahun sudah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberlakukan Syariat Islam. Dalam rentang waktu itu pula, kehidupan masyarakat di daerah berjuluk Serambi Mekah itu kental dengan nuansa Islam.
Tidak lagi sebatas nuansa, tapi telah merasuk dalam semua sendi kehidupan masyarakatnya. Dengan Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 18 tahun 2001, Aceh resmi memberlakukan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya, selain tentunya, hukum positif yang berlaku nasional.
Memang diakui tidak semua peraturan syariat Islam bisa langsung diterapkan. Ada beberpa kendala yang dihadapi. Peraturan Daerah atau Qanun misalnya, sampai kini baru empat yang disahkan. Empat Qanun ini dinilai jauh dari cukup untuk mengatur kehidupan masyarakat di Bumi Serambi Mekah itu.
Yaitu Qanun nomor 11/2002 tentang aturan Syariat Islam, Qonun no 12/2002 tentang judi (maisir), Qanun no 13/2002 tentang minuman keras (khamar) serta Qanun no 14/2002 tentang khalwat (mesum).
“Tidak ada pergeseran yang signifikan dari sebelumnya. Kita tetap masih sama dari awal. Masih pada empat Qanun yang kita terapkan secara gardual,” kata Kata Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, Prof Dr Alyasa’ Abubakar.
Selanjutnya, penerapan Syariat Islam terus menggelinding. Malah setelah empat Qanun tersebut efektif berlaku makin banyak saja pelaku/orang-orang yang melanggar syariat Islam tertangkap dan dijatuhi sanksi.
Intensitas sosialisasi juga semakin gencar menyusul dibentuknya Wilayatul Hisbah. Sejarah mencatat hukuman cambuk pertama di Aceh diterapkan di Bireun pada Juli 2005.
Sebanyak 12 orang penjudi di Kabupaten Bireun, secara massal dijatuhi hukuman cambuk. Eksekusi hukuman itu berlangsung di Masjid Agung Bireun dan dilakukan di depan umum. Ini dimaksudkan agar mereka yang melihat tidak mengulangi paerbuatan serupa.
Sejak itu pula rentetan pelaksanaan hukuman cambuk terus terjadi di Aceh. Sebagai lembaga yang mengawasi jalanya empat Qanun ini, petugas WH kerap melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat dalam kaitanya penerapan qanun-qanun sayariat Islam.
WH juga melakukan operasai penertiban. Seolah tidak pandang bulu, siapa saja yang dinilai melanggar akan kena sanksinya. Temasuk mereka yang kerap kongkow-kongkow di cafe alamat diangkut WH bila kedapatan tidak memakai jilbab.
Malah dalam setiap operasai tersebut kerap kali ada saja yang terjaring petugas. Ada yang langsung mendapat pembinaan di tempat ada pula yang diangkut ke kantor WH untuk diberikan nasehat.
Menurut Alyasa’ WH berkewajiban untuk menasehati dan memperingati mereka yang melanggar, seperti halnya soal pakaian yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
“Tapi WH tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan,” ujarnya. Dia juga tidak menampik kalau operasi yang dilakukan WH tersebut mendapat kritikan. Karena operasi WH tersebut hanya ditujukan kepada kaum wanita.
“Boleh-boleh saja mengatakan seperti itu. Tapi kalau fakta yang kita temukan di lapangan, tidak demikian. Karena hukuman yang dijatuhkan itu diberikan kepada mereka yang tebukti berjudi, meminum minuman keras, itu jauh lebih banyak lelaki dibandingkan perempuan. Memang ada peringatan, seperti halnya soal pakaian, tapi itu tidak dihukum,” jelas Alyasa’.
Pj Gubernur Aceh, Mustafa Abubakar melihat, penerapan Syariat Islam di Aceh harus mencakupi multi aspek kehidupan. Syariat Islam tidak boleh berjalan parsial.
“Hukum cambuk hanyalah bagian kecil dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Masih banyak aspek lain yang harus dikaji. Orang-orang luar Aceh seolah memandang Syariat Islam sebatas hanya hukum cambuk dan soal jilbab. Ini suatu hal yang keliru,” kata Mustafa.
Namun realitas yang terjadi di lapangan dalam beberapa tahun terakhir tidak dapat terbantahkan. Banyak kasus pelanggaran syariat Islam mulai kembali terjadi di Aceh.
Kalau dulu wanita berkerundung, akan menghadapi sanksi rambutnya dipotong orang ramai, malah sekarang kondisi tidak lagi demikian. Masyarakat mulai ada kecenderungan untuk tidak mematuhi rambu-rambu syariat Islam.
Contoh kecil, mislanya soal memakai jilbab. Fenomena seperti ini kerap dijumpai, meski jumlahnya boleh dibilang masih kecil
Itu sebabnya WH kerap melakukan razia. Operasi tidak hanya sebatas bagi mereka yang tidak berbusana Islami.
Dalam Pasal 13 ayat i Qanun nomor 11/2002 disebutkan, busana Islami adalah pakaian yang menutup aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. WH juga kerap mencecar lokasi-lokasi yang ditenggarai kerap terjadi pelanggaran Syariat Islam.
Malah WH kota Banda Aceh punya jadwal patroli rutin dan stand by selama 24 jam. WH juga kerap mencocok pasangan muda mudi yang dianggap melanggar qanun. Misalkan berdua-duan di tempat sepi atau terjun langsung ke lokasi melakukan penggerebekan. Sering kali Polisi Syariat itu menyita minuman keras dan menciduk pelakunya.
Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh mencatat ada 615 kasus pelanggaran syariat Islam yang terjadi di wilayah itu dalam kurun waktu Januari- Sepetember 2006.
Sebanyak 454 kasus diantaranya merupakan kasus pelanggaran Qanun nomor 11/2002 tentang Pelaksanaan Syaiat Islam bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Sedangkan 153 kasus terkait pelanggaran Qanun nomor 14/2002 tentang khalwat (mesum), 7 kasus melanggar Qanun nomor 12/2002 tentang judi (maisir) dan satu kasus lainya terkait pelanggaran Qanun nomor 13/2006 tentang khamar (minuman keras).
“Semua kasus ini sudah dilaporkan dalam sidang paripurna DRPRD Kota Bnada Aceh beberapa waktu lalu,” kata Wirzaini Usman, Juru Bicara Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh.
Sedangkan jumlah pelanggaran Qanun Syariat Islam sebelum Januari 2005 diakuinya belum terkumpul secara akurat. Sebab, WH Kota Banda Aceh baru dibentuk pada Januari 2005, dan mulai aktif melakukan pengawasan pada Januari 2006 menyusul dikeluarkanya Peraturan Walikota nomor 195/2005.
Pada awal pembentukanya WH Kota Banda Aceh hanya memilki 13 personil. Kemudian bertambah menjadi 45 orang pada 2006. Dalam setiap upaya pengawasan Qanun, WH selalu berkoordinasi dengan aparat kepolisian Poltabes Banda Aceh dan Koramil.
Tidak jarang dalam aksinya WH juga melibatkan warga masayarakat.
“Dalam beberapa bulan terakhir ini mulai ada upaya dari warga masyarakat di desa-desa untuk membentuk Badan Anti Maksiat (BAM). Keberadaan mereka sangat membantu kita untuk mengawasi qanun-qanun yang sudah berlaku di Aceh,” kata Wirzaini.
Menurutnya tugas WH hanya melakukan pengawasan terhadap empat Qanun yang telah diterapkan di Aceh. WH tidak dibenarkan mengambil tindakan diluar kewenanganya.
Seperti halnya melakukan penyidikan kepada pelaku hingga membuat Berita Acara Perkara terhadap suatu kasus. Ini sesuai dengan Qanun nomor 11/2002 yang menyebutkan
“Wilayatul Hisbah sebagai lembaga pengawasan, diberi peran untuk mengingatkan, membimbing dan menasehati, sehingga kasus pelanggaran qanun ini diserahkan kepada penyidik untuk diusut dan diteruskan ke Pengadilan, adalah kasus pelanggaran yang sudah melalui proses/upaya peningkatan nasehat dan bimbingan terhadap si pelaku”.
Untuk kasus-kasu ringan, ada yang diselesaikan di tingkat desa yang difasilitasi pemuka masyarakat atau lembaga mukim. Sampai saat ini belum ada personila WH yang ditetapkan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
“Selama ini semua penyidikan terhadap kasus yang kita tangani diserahkan kepada polisi. Kita tidak mengintervensi. Kita hanya memberi sosialisasi. Ke depan, personil WH harus ada yang jadi PPNS. Sehingga WH bisa membaut BAP sendiri terhadap sebuah perkara untuk kemudian diserahkan kepada Jaksa,” paparnya.
Terhadap kasus-kasus pelanggaran qanun, diakuinya memang masih kerap terjadi di Kota Banda Aceh. “Kasus-kasus pelangaran ini sulit untuk dihilangkan. Hanya saja kita terus melakukan pengawasan,” tandas Wirzaini.
Diantara kasus pelanggaran Syariat Islam ada yang sudah mendapat putusan (vonis) dari Mahkamah Syar’iah. Para pelakunya ada yang digiring untuk menjalani hukuman cambuk dan ada pula yang menjalani kurungan.
Panitera Muda Hukum pada Mahkamah Syar’iah Kota Banda Aceh, Basri SH mengatakan, hukuman cambuk paling tinggi dijatuhi kepada pelaku yang terbukti meminum minuman keras (khamar) yakni 40 kali.
Eksekusi cambuk ini pernah dijatuhkan kepada seorang lelaki pertengahan 2006 lalu. Dia ternukti melanggar qanun nomor 13/2003 tentang khamar (miras)..
Hukuman tersebut digelar di Masjid Al-Muttaqin Kelurahan Peunayong yang ditonton ratusan warga. Namun, lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak mesin itu hanya mampu menahan tujuh kali cambukan sebelum akhirnya roboh dan tidak dapat melanjutkan sisa hukumanya.
Sedangkan bagi penjual miras yang terbukti dapat dijatuhi maksimal sembilan bulan masa kurungan dan denda maksimal Rp 30 juta. Bagi pelaku khalwat (mesum) laki-laki diancam delapan kali cambuk dan enam kali untuk perempuan. Sementara untuk pelaku judi (maisir) akan dijatuhi maksimal 12 kali cambuk.
Basri menyebutkan, pada 2005 lalu, Mahkamah Syar’iah Kota Banda Aceh telah menjatuhi vonis terhadap 11 kasus. Tujuh kasus terkait pelanggaran qanun nomor 12/2003 tentang miras (khamar) selebihnya kasus pelanggaran qanun nomor 13/2003 tantang maisir (judi) dan qanun nomor 14/2003 tentang khalwat (mesum).
Sedangkan priode Januari-November 20056, Mahkamah Syar’ah baru menjatuhkan vonis terhadap lima kasus. Yakni satu kasus soal khalwat, dua tentang khamar dan maisir. Kasus terakhir atas nama terdakwa Zulkarnain Bin Kamaluddin.
Karyawan Hotel Sultan ini bersalah melakukan tindak pidana (jarimah). Dia terbukti menyediakan minuman keras di. Mahkamah Syar’iah menjatuhkan Uqubat terhadap Terdakwa Zulkarnain Bin Kamaluddin berupa kurungan selama 5 (lima) bulan dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara.
Bersamanya juga turut didita barang bukti berupa 1 (satu) Botol miras merk Tartani , 1 (satu) botol Merk Cellar dan 84 (delapan puluh empat) kaleng Minuman Keras merk Bir Bintang. (*)
Komentar
Posting Komentar