Potret Pengungsi Aceh

PULuhan rumah itu dibangun lumayan apik. Tata ruangnya terlihat sistematis. Letaknya saling berdampingan dan berhadap-hadapan. Bentuknya juga sangat khas dengan lumuran cat warna merah jambu. Sebuah beranda terlihat menjorok ke luar membuat desain komplek perumahan itu tampak seragam.

Siang itu hujan baru saja mengguyur Kota Banda Aceh saat wartawan koran ini menjambangi kawasan itu. Beberapa ruas jalan menuju ke komplek itu masih tergenang air.

Dusun Payung, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar adalah nama kawasan itu. Kini di sana berdiri 83 unit rumah permanen tipe 36. Berbeda kontras dua tahun lalu ketika tsunami melanda Aceh. Tidak satupun rumah tersisa di sana. Ribuan warga setempat meninggal dan hilang ditelan ganasnya gelombang.

Namun, pemandangan itu kini berubah. Sejak tiga bulan lalu, warga dusun Payung mulai kembali menata hidupnya. Di sanalah M Jamal Yahya bersama puluhan kepala keluarga yang tersisa dusun itu memulai kembali hidup mereka pasca dua tahun bencana tsunami.

"Sesudah lebaran haji nanti rencananya kami akan pulang kemari," kata lelaki berusia 51 tahun itu. Saat ditemui Jamal terlihat berada di teras rumahnya.

Hujan yang mengguyur sepanjang hari Kamis lalu membuat warga di komplek itu memilih mengurung diri di rumah. Hembusan angin dari laut Syiah Kuala membuat suasana semakin dingin siang itu. Tetapi lelaki yang dipercayakan sebagai kepala Dusun Payung itu lebih memilih berada di beranda rumah. Matanya nanar menatap ke luar.

"Sekarang keluarga saya masih mengungsi di Lamce," tuturnya.
Lamce adalah satu kawasan pengungsian yang terletak di Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Sejak bencana tsunami melanda Aceh, Jamal bersama warga Payung lainya memilih mengungsi ke kawasan dataran tinggi itu. Tapi bencana itu masih meninggalkan pengalaman traumatis bagi anak-anaknya.

"Meskipun sudah dua tahun tsunami, anak-anak masih takut untuk tinggal di sini," katanya seraya menyeruput sebatang rokok.

Sejak pembangunan rumah dimulai sekitar 6 bulan lalu, Jamal lebih sering menghabiskan waktu di kampung. Kini rumah yang bakal ditempati itu sudah siap. Pengerjaanya dianggap sudah selesai. Sebagian dari rumah itu juga sudah ditempati warga.

Hanya keluarga lekaki ini dan beberapa rumah lain masih terlihat kosong. Namun kekhawatiran masih menggelayut dibenaknya. Rumah nomor urut 09 yang akan dia tempati rupanya syarat masalah. Mutunya jauh di bawah standar. Sebagian kusen sudah dimakan rayap. Serbuk putih bekas gigitan rayap terlihat bertebaran di sudut kayu beberapa jendela. Di bagian lain, ada kayu yang sudah bolong digigit binatang kecil itu.

"Kayu-kayu itu paling lama hanya bertahan tiga tahun. Setelah itu saya tidak tahu lagi entah bagaimana jadinya," ucap lelaki itu. Jamal hanya bersikap pasrah menerima nasib. Belum lagi kalau dia merincikan satu-persatu kekurangan terhadap rumah itu. Misalkan, plasteran dinding yang retak-retat, plafon yang sudah bolong sampai atap yang kerap terbuka saat ditiup angin.

"Yah beginilah," ujarnya. "Kalau banyak meminta juga tidak enak. Ini juga bantuan orang," katanya lirih.
Jamal mengaku tidak ingin mengadukan persoalan itu ke PT Bintang Batara Sakti selaku Kontraktor dan Konsultanya PT Macon yang bertanggungjawab atas pembangunan rumah itu.

Hanya saja hati kecilnya seolah tidak menerima kenyataan itu. Kondisi yang dialami Jamal juga dirasakan warga lain. Mereka juga tidak begitu tertarik mempersoalkanya.

"Dari pada harus terus hidup di barak, lebih baik biarlah kami tinggal di rumah sendiri meskipun di sana sini ada kekuranganya. Sudah capek kami tinggal di barak terus," tutur Badriah, seorang ibu di dusun itu.

Barangkali nasib warga Dusun Payung lebih beruntung bila dibandingkan korban tsunami di desa lain. Sebut saja Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala misalnya. Ratusan kepala keluarga di desa terparah di hantam tsunami itu hingga dua tahun ini belum satupun yang menempati rumah permanen.

Daratan yang dulunya menjadi tempat tinggal warga di sana tidak jelas juntrunganya. Sebagain telah dimakan laut. Sementara ini semua warga di sana terpaksa menempati barak dan rumah shelter bantuan pemerintah.

"Kami tidak tahu lagi entah bagaimana. Apakah rumah kami dibangun lagi atau tidak. Sudah lelah kami menunggu,” kata Mariati (32), yang kini tinggal di barak di kawasan bantaran Sungai Krueng Aceh.
Barak tempat ibu satu anak ini tinggal hanya berjarak 15 km dari pusat kota.

Barak-barak itu berdiri berdampingan. Ada ratusan kepala keluarga menetap di sana. Mereka terdiri dari warga empat dusun di desa itu. Dusun Kutaran, Musafir, Beunot dan Dusun Podiamat. Keempat dusun ini luluhlantak dihantam tsunami dua tahun lalu. Tidak ada yang tersisa di sana. Kecuali hanya lahan bekas pertapakan rumah.

“Sebagian lainya sudah dimakan laut. Tapi beberapa waktu lalu sudah ditimbun kembali. Kalau rumah belum dibuat sama sekali,” ucap wanita yang kembali menikah setelah suaminya hilang dalam bencana yang menelan 150 ribu jiwa itu.

Wanita ini juga kehilangan dua anaknya. M Taisir berusia enam tahun dan Zawilmukti, sembilan tahun. Kini mereka hidup dibarak dengan satu anak yang tersisa, Muksalmina, 12 tahun.

Kondisi Desa Alue Naga sendiri hingga kini masih bagai desa mati. Kendatipun beberapa ruas jalan menuju ke sana sudah dibangun.

Dari kejauhan jelas terlihat puluhan rumah shelter berdiri di dusun Musafir. Ibrahim (50) dan Usman (33), dua kepala keluarga ini mengahabiskan hari-hari mereka di sebuah shelter bersama beberapa orang anaknya. Zumiati (10 bulan), anak semata wayang Usman juga ikut merasakan bertapa pahitnya hidup di sebuah rumah sheletr yang hanya berukuran 3x4 meter.

Terkadang mereka harus menahan getir dinginya angin laut dan panas diterpa matahari. Lelaki ini pun terpaksa mengikat ayunan di atas sebatang besi untuk menidurkan Zumiati dalam shelter berdinding papan itu.

“Beginilah dik. Sudah dua tahun kami seperti ini. Rumah yang kami harapkan belum saat ini belum juga dibangun,” ujar Usman yang kehilangan dua anaknya.

Sebelumnya, Usman tinggal di rumah gubuk darurat di kawasan bantaran Sungai Krueng Aceh sebelum pindah ke kampung asalnya menyusul pemerintah memberikan bantuan shelter.

Bukan hanya Usman dan Ibrahim, di dusun yang hanya berjarak 300 meter dari bibir pantai itu terdapat 156 kepala keluarga. Nasib mereka sama. Yatu sama-sama tidak punya rumah dan sama-sama pula tinggal di shelter.

“Awalnya ada sekitar lima ribu orang warga di sini. Setelah tsunami hanya tinggal sekitar 500 kepala keluarga,” kata Ibrahim yang mengaku kehilangan hampir 100 orang keluarga besarnya.
“Kalau tinggal di sini yang paling sulit adalah air,” tutur lelaki berkulit hitam itu.

Memang, dari tempat mereka tinggal hanya ada satu tandom air yang digunakan secara bersama oleh warga setempat. Tandom itu terletak dekat dengan sebuah mushalla. Sekira 300 meter dari shelter yang dihuni Usaman.

Mereka juga kesulitan penerangan. Hampir tiga bulan sejak pindah ke kawasan itu, belum pernah merasakan nikmatnya listrik. Kalaupun ada hanya beberapa bola lampu yang dihidupkan dengan bantuan generator listrik. Pemakiannya juag terbatas.

Cukup untuk beberapa jam saja. Terutama ketika waktu shalat dan beberapa jam pada malam hari.

“Setelah itu lampu dimatikan. Biasanya kami membuat lampu teplok bersumbu yang diisi dengan minyak tanah,” ujar Ibrahim.

Diantara empat dusun yang paling parah adalah Dusun Podiamat. Kawasan ini nyaris belum tersentuh pembangunan meskipun jalan menuju kawasan itu sudah dibangun. Lahan pertapakan rumah di dusun itu terlihat seperti kawasan liar. Tidak seperti Dusun Musafir, Dusun Podiamat nyaris terisolisir.

Tidak ada tanda-tanda warga akan kembali menetep di sana. Potret buram pengungsi Aceh pasca dua tahun tsunami akan terus membayangi. Hari demi hari terus berlalu dengan ketidakpastian.

Memang ada nasib mereka yang beruntung karena belum satu tahun sudah dapat menikmati rumah baru bantuan pemerintah atau NGO. Namun, ada pula mereka yang justru hidup miris di barak-barak. Hingga dua tahun bencana hebat itu melanda Aceh, belum setapak pun menginjakan kakinya di rumah baru yang dibangun pemerintah atau NGO.

Ini pula yang dirasakan Zuherawati (45). Perempuan asal Desa Lamperada, Kecamatan Baitussalam ini terpaska kembali menghuni barak Desa Kajhu setelah kamar barak yang sebelumnya dia tempati bersama suami dan seorang anaknya dibongkar pemilik tanah, Kamis lalu.
Ironisnya, karena belum punya rumah, ia pun harus kembali masuk barak dan akan menghabiskan hari-harinya dalam waktu yang tidak pasti.

“Para pekerja terus membongkarnya. Tidak mau menunggu. Padahal masih ada pengungsi yang belum punya rumah juga tinggal di barak,” kata Rosdiana, penghuni barak B III nomor 04.

Konon mereka yang “digusur” itu berasal dari warga Kajhu Indah dan Mon Singet karena rumah warga di sana sudah siap ditempati.
Sedangkan Zuherawati dan Rosdiana bukan warga kedua desa itu. Keduanya berasal dari desa Lamperada.

“Yah apa boleh buat. Kami pasrah saja. Katanya nanti tahap ketiga rumah kami baru dibangun,” ujar Rosdiana lirih.
Wajahnya terlihat sangat lelah setelah mengemas semua barang, termasuk kasur dan sejumlah peralatan dapur untuk dimasukan ke kamar barak yang baru dia tempati.

“Semua barang-barang ini kami angkut tadi malam. Sebab pintu barak sudah ditempelkan semua kamar barak harus dikosongkan pada tanggal 22 Desember,” tuturnya.

Rosdiana belum tahu kapan tahap ketiga yang dijanjikan pemerintah itu. Mungkin saja tahun ini, tahun depan atau barang kali sampai wanita ini dan ratusan pengungsi di barak itu kembali digusur oleh pemilik tanah. Dua tahun tsunami belumlah memberi angin segar bagi pengungsi korban tsunami di Aceh... (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan