Si Rambut Pirang

Kesan-Kesan Staff Aceh Monitoring Mission (AMM) Tentang Aceh
Berbagi Cerita Dengan Kombatan GAM, Berharap Tidak Ada Lagi Konflik


WANITA berambut pirang itu tidak mampu menahan haru ketika seorang perempuan memeluk tubuhnya. Faye Belnis, namanya. Ia dikenal sebagai jurubicara AMM. Pagi kemarin, wanita asal Manado yang berusia 28 tahun itu harus meninggalkan Aceh menyusul berakhirnya mandat AMM di Aceh15 Desember kemarin.

"Aku masih pakek nomor telepon yang sama kok. Nelpon-nelpon ya," kata Faye kepada seorang gadis Aceh yang selama ini bertugas di AMM.
Keduanya lantas saling berpelukan. Rasa haru pun membiru diantara mereka. Bukan hanya Faye. Ada puluhan staf AMM lain yang merasakan hal serupa.

Ungkapan rasa haru itu menjadi klimaksnya ketika enam bendera yang tergabung dalam negara ASEAN, bendera AMM dan satu bendera Uni Eropa diturunkan di halaman markas besar AMM di Jl Tgk Abdul Rauf, Kampus Usyiah Darussalam kemarin.

Upacara yang berlangsung sederhana itu turut disaksikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin, mantan senior representatif GAM di AMM, Irwandi Yusuf, Pj Gubernur Aceh Mustafa Abubakar, Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Supiadi AS dan Wakapolda Aceh.

Usai upacara, Ketua AMM Peter Fieth menyalami satu persatu staf AMM sesaat sebelum mereka meninggalkan Aceh. Beberapa di antaranya sempat berpose dan saling berjabat tangan. Suasana haru tergambar jelas dari raut wajah anggota tim pemantau perdamaian Aceh itu.

Faye mengakui kalau Aceh telah memberinya pengalaman baru. Dia mengagumi karakter masyarakat Aceh.

"Awalnya kesan yang ada di benak saya tentang Aceh itu adalah konflik dan tsunami," ungkap wanita asal Manado itu. Ternyata lebih dari yang dia bayangkan. Aceh telah membuka matanya tentang makna sebuah ketegaran.

"Saya amat bekesan dengan cara hidup orang Aceh. Mereka mampu survive dalam kondisi konflik dan tsunami. Terlebih selama tiga dekade mereka terisolasi. Jadi banyak hal baru yang saya dapatkan selama berada di sini," katanya.

Diantara pengalamannya yang paling menarik adalah ketika berkeliling ke sejumlah kabupaten/kota pada saat pelucutan senjata milik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kesempatan ini kerap digunakan Faye untuk bertemu dengan para mantan kombatan GAM.

Menurutnya, dapat bertemu dengan para mantan gerilyawan GAM adalah sebuah keistimewaan.

"Hanya saja saya berharap mereka (mantan GAM -red) dapat terus berkomunikasi dengan pemerintah dengan cara-cara yang damai setelah AMM tidak ada lagi di Aceh," pesan Faye.

Dia mengaku sedih, tapi juga bahagia. Bahagia karena tugas yang mereka jalankan selama 16 bulan di Aceh telah meyakinkan kedua belah pihak, Pemerintah RI dan GAM, untuk tetap konsisten mengimplementasikan butir-butir yang tercantum dalam MoU Helsinki. Kesan yang sama diungkapkan Rochelle Cohen, anggota AMM lainnya.

"Apalagi mereka yang telah hidup dalam konflik sejak puluhan tahun. Mereka berpikir, hidup hanya untuk hari ini. Tapi, MoU Helsinki telah membuat mereka berpikir hidup untuk selamanya," ujarnya.

Satu hal yang paling berkesan bagi Cohen ketika dia bisa melihat matahari terbit dan kemudian tenggelam di langit provinsi berjuluk Serambi Mekah itu. Dia seolah ingin mengatakan fenomena alam itu sebagai sebuah semangat perjuangan masyarakat Aceh yang tidak pernah pudar mencari keadilan.

"Suatu hal yang amat menakjubkan bisa melihat matahari terbit dan kemudian tenggelam di atas langit yang cerah. Ada sebuah spirit yang tersembunyi di sini. Dan itu ada pada masyarakat Aceh," kata Cohen yang berencana kembali ke negaranya, Inggris. Jean Pierre Tosi, staf AMM lain, merasakan hal yang sama.

Menurut lelaki asal Swiss ini, AMM telah berbuat yang terbaik bagi masyarat Aceh. AMM telah meletakkan dasar-dasar perdamaian antara kedua belah pihak. Aceh akan terus berbenah mencari jati diri yang sesungguhnya setelah damai bersemi di bumi Iskandar Muda itu.

"Pilkada telah menentukan siapa gubernur terpilih. UUPA juga telah ada di tangan masyarakat Aceh. Hanya satu harapan saya. Tolong jangan rusak lagi perdamaian ini. Sebab, kami tidak ada lagi di Aceh," ujar Tosi.

"Harapan saya rakyat Aceh akan menemukan kembali kedamaian sejati. Kedamaian untuk sepanjang masa," ujar Levy D Ang, anggota AMM asal Philipina. Wanita yang mengagumi keindahan panorama alam Aceh ini mengungkapkan ada satu hal yang tidak pernah dilupakan. Yaitu saat dia bertemu dengan masyarakat di pedalaman Aceh yang dulu pernah dicap sebagai basis GAM.

"Di sana saya bisa bertemu dengan mereka, para mantan kombatan GAM. Saya bisa berbagi cerita dan menanyakan pengalaman mereka ketika berjuang dulu. Pengalaman ini suata hal yang paling berkesan buat saya," tuturnya.

Berbeda halnya dengan Caroline Silfver Stolpe. Wanita ini mengaku sedih di saat harus meninggalkan Aceh. Kepada mantan anggota GAM, misalnya dia menyampaikan ucapan selamat tinggal.

"Saya berharap mereka bisa hidup seiring dalam kedamaian. Aceh harus selalu berada dalam kedamaian. Jangan ada lagi konflik yang membuat rakyat Aceh kembali menderita seperti tahun-tahun yang lalu," ungkapnya.

Caroline berencana setelah bertugas di Aceh dia akan segera menemui teman-teman dan keluarganya di Swedia. "Saya sangat merindukan mereka," ujar wanita bertubuh jangkung ini.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan