WH Dicerca

Melihat Kasus-Kasus Pelanggaran Syariat Islam di Aceh
WH Dicerca, Operasi Jalan Terus

SETElah eksekusi cambuk di Bireuen, rentetan pelaksanaan hukuman cambuk terus terjadi di Aceh. Petugas Wilayatul Hisbah (WH) terus melakukan sosialisasi empat qanun syariat Islam dan operasai penertiban. Seolah tidak pandang bulu, siapa saja yang dinilai melanggar akan kena sanksinya.

WH kini menjadi momok baru bagi pelanggar syariat. Mereka yang kerap kongkow-kongkow di café atau tempat keramaian lainnya, alamat diangkut petugas berseragam hijau lumut itu bila kedapatan tidak memakai jilbab.

Malah, dalam setiap operasai tersebut ada saja yang terjaring.
Mereka yang ditangkap ada yang langsung mendapat pembinaan di tempat, ada pula diangkut ke kantor WH untuk diberikan nasehat, dan bahkan ada yang kasusnya dilanjutkan ke Mahkamah Syariyah. Kasus pelanggaran mulai dari khalwat (mesum), maisir (judi) hingga khamar (minuman keras).

"WH berkewajiban menasehati dan memperingati mereka yang melanggar. Seperti halnya soal pakaian yang tidak sesuai dengan syariat Islam atau lainnya. Tapi, WH tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan," kata Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Prof Dr Alyasa' Abubakar.

Awalnya, kata Alyawasa', operasi yang dilakukan WH tersebut memang mendapat banyak kritikan. Sebab, operasi itu seolah-olah hanya ditujukan kepada kaum wanita. "Tapi, fakta yang kita temukan di lapangan, tidak demikian. Buktinya, terhukum cambuk lebih banyak lelaki dibandingkan perempuan," katanya.

Pj Gubernur Aceh, Mustafa Abubakar melihat penerapan Syariat Islam di Aceh harus mencakupi multi aspek kehidupan. Syariat Islam tidak boleh berjalan parsial. Hukum cambuk hanyalah bagian kecil dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Masih banyak aspek lain yang harus dikaji.

"Orang-orang luar Aceh seolah memandang Syariat Islam sebatas hanya hukum cambuk dan soal jilbab. Ini suatu hal yang keliru," kata Mustafa beberapa waktu lalu di Asram Haji Banda Aceh saat membuka Musyawarah Pengurus Masjid se-Aceh.

Sebagian kalangan menilai syariat Islam di Aceh belum berjalan maksimal. Kritik-kritik terus mengalir.

"Selama ini yang dirazia hanya perempuan-perempuan saja. Sepertinya lelaki tidak pernah melanggar syariat," ujar Erismawati, mahasiswi Unsyiah.
Dia menyanyangkan razia-razia yang dilakukan petugas WH lebih cenderung yang dicecar adalah kaum wanita.

"Saya sangat tidak setuju. Padahal mereka hanya berbuat kesalahan kecil. Misalkan tidak memakai jilbab atau terjebak razia. Tahu-tahu sudah digelang ke kantor," tukasnya.
Menurutnya, kekhilafan seperti itu bisa dibilang di tempat dan tidak perlu harus dibawa ke kantor segala.

"Manusia ini kan punya rasa malu juga," ujarnya.
Namun, realitas terjadi di lapangan dalam beberapa tahun terakhir tidak dapat terbantahkan. Banyak kasus pelanggaran syariat Islam mulai kembali terjadi di Aceh. Banyak pelaku digelandang ke kantor WH karena kepergok tengah bermesum di tempat sunyi. Tingkat kesadaran masyarakat pun mulai rapuh.

Contoh kecil, soal memakai jilbab. Fenomena seperti ini kerap dijumpai, meski jumlahnya boleh dibilang masih kecil. Itu sebabnya WH kerap melakukan razia. Dalam Pasal 13 ayat i Qanun nomor 11/2002 disebutkan, busana Islami adalah pakaian yang menutup aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh.

Operasi tidak hanya sebatas bagi mereka yang tidak berbusana Islami. WH juga kerap mencecar lokasi-lokasi yang ditenggarai kerap terjadi pelanggaran syariat Islam. Malah WH kota Banda Aceh punya jadwal patroli rutin selama 24 jam. WH juga kerap mencocok pasangan muda mudi yang dianggap melanggar qanun.

Misalkan berdua-duan di tempat sepi atau terjun langsung ke lokasi melakukan penggerebekan. Sering kali Polisi Syariat itu menyita minuman keras dan menciduk pelakunya.

Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh mencatat ada 615 kasus pelanggaran syariat Islam yang terjadi di wilayah itu dalam kurun waktu Januari-September 2006. Sebanyak 454 kasus diantaranya merupakan kasus pelanggaran Qanun nomor 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam.

Sedangkan 153 kasus terkait pelanggaran Qanun nomor 14/2002 tentang khalwat (mesum), tujuh kasus melanggar Qanun nomor 12/2002 tentang judi (maisir) dan satu kasus lainya terkait pelanggaran Qanun nomor 13/2006 tentang khamar (minuman keras).

"Semua kasus ini sudah dilaporkan dalam sidang paripurna DPRD Kota Banda Aceh beberapa waktu lalu," kata Wirzaini Usman, Juru Bicara Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh.
Sementara jumlah pelanggaran Qanun Syariat Islam sebelum Januari 2005 diakuinya belum terkumpul secara akurat.

Sebab, WH Kota Banda Aceh baru dibentuk pada Januari 2005, dan mulai aktif melakukan pengawasan pada Januari 2006 menyusul dikeluarkanya Peraturan Walikota nomor 195/2005.
Pada awal pembentukanya, WH Kota Banda Aceh hanya memilki 13 personil. Kemudian bertambah menjadi 45 orang pada 2006. Dalam setiap upaya pengawasan qanun, WH selalu berkoordinasi dengan aparat kepolisian Poltabes Banda Aceh dan Koramil. Tidak jarang dalam aksinya WH juga melibatkan warga.

"Dalam beberapa bulan terakhir ini mulai ada upaya dari warga di desa-desa untuk membentuk Badan Anti Maksiat (BAM). Keberadaan mereka sangat membantu," kata Wirzaini.

Menurutnya tugas WH hanya melakukan pengawasan terhadap empat qanun yang telah diterapkan di Aceh. WH tidak dibenarkan mengambil tindakan di luar kewenangannya. Seperti halnya melakukan penyidikan kepada pelaku hingga membuat Berita Acara Perkara terhadap suatu kasus.

Ini sesuai dengan Qanun nomor 11/2002, yang menyebutkan Wilayatul Hisbah sebagai lembaga pengawasan, diberi peran mengingatkan, membimbing dan menasehati, sehingga kasus pelanggaran qanun ini diserahkan kepada penyidik untuk diusut dan diteruskan ke pengadilan.

"Untuk kasus-kasus ringan, ada yang diselesaikan di tingkat desa yang difasilitasi pemuka masyarakat atau lembaga mukim. Sampai saat ini belum ada personil WH yang ditetapkan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)," katanya lagi.

Dia menyebutkan, selama ini semua penyidikan terhadap kasus yang ditangani diserahkan kepada polisi.

"Kita tidak mengintervensi. Kita hanya memberi sosialisasi. Ke depan, personil WH harus ada yang jadi PPNS, sehingga WH bisa membuat BAP sendiri terhadap sebuah perkara untuk kemudian diserahkan kepada jaksa," paparnya.

Terhadap kasus-kasus pelanggaran qanun, diakuinya memang masih kerap terjadi di Kota Banda Aceh. "Kasus-kasus pelanggaran ini sulit untuk dihilangkan. Hanya saja kita terus melakukan pengawasan," katas Wirzaini.

Diantara kasus pelanggaran syariat Islam, ada yang sudah mendapat putusan (vonis) dari Mahkamah Syar'iah. Para pelakunya ada yang digiring untuk menjalani hukuman cambuk dan ada pula yang menjalani kurungan.

Panitera Muda Hukum, Mahkamah Syar'iah Kota Banda Aceh, Basri SH mengatakan, hukuman cambuk paling tinggi dijatuhi kepada pelaku yang terbukti meminum minuman keras (khamar) yakni 40 kali.

Hukuman ini pernah dijatuhkan kepada seorang lelaki pertengahan 2006 lalu. Dia terbukti melanggar qanun nomor 13/2003 tentang khamar (miras). Hukuman tersebut digelar di Masjid Al-Muttaqin Kelurahan Peunayong yang ditonton ratusan warga.

Namun, lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak mesin itu hanya mampu menahan tujuh kali cambukan sebelum akhirnya roboh dan tidak dapat melanjutkan sisa hukumannya.
Sedangkan bagi penjual miras yang terbukti dapat dijatuhi maksimal sembilan bulan masa kurungan dan denda maksimal Rp30 juta.

Bagi pelaku khalwat (mesum) laki-laki diancam delapan kali cambuk dan enam kali untuk perempuan. Sementara untuk pelaku judi (maisir) akan dijatuhi maksimal 12 kali cambuk.

Basri menyebutkan, pada 2005 lalu, Mahkamah Syar'iah Kota Banda Aceh telah menjatuhi vonis terhadap 11 kasus. Tujuh kasus terkait pelanggaran qanun nomor 12/2003 tentang miras (khamar) selebihnya kasus pelanggaran qanun nomor 13/2003 tantang maisir (judi) dan qanun nomor 14/2003 tentang khalwat (mesum).

Sedangkan periode Januari-November 2006, Mahkamah Syar'iah baru menjatuhkan vonis terhadap lima kasus. Yakni satu kasus soal khalwat, dua tentang khamar dan maisir. Kasus terakhir atas nama terdakwa Zul Bin Kamaluddin, karyawan salah satu hotel di Banda Aceh ini bersalah melakukan tindak pidana (jarimah).

Dia terbukti menyediakan minuman keras di hotel itu. Mahkamah Syar'iah menjatuhkan uqubat terhadap terdakwa berupa kurungan selama lima bulan. Bersama lelaki itu juga turut disita barang bukti berupa satu botol miras merk Tartani, satu botol Merk Cellar dan 84 kaleng minuman Bir Bintang.

Bagaimanakah wajah Syariat Islam di Aceh kedepan? (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku