Wawancara Kadis Syariat Islam Aceh, Prof Dr Alyasa' Abubakar

Seperti apa Anda melihat sejumlah kasus khalwat yang terjadi di Aceh selama ini?

Yang namanya manusia secara agama memiliki empat usur. Ada unsur akal, nafsu, nurani dan fisik. Ini yang disebut manusia. Dalam Islam dia dipandang lebih tinggi dari hewan kalau dia menggunakan pikiran dan nuraninya dengan baik. Dan, manusia akan jatuh lebih rendah dari hewan kalau dia menggunakan nafsu. Pada hewan hubungan seksual diatur oleh insting. Hewan tidak punya nafsu. Tapi pada manusia, aktifitas seksual itu nafsu, bukan insting. Karena itu nafsu ini tidak pernah puas. Jadi sama dengan mengumpulkan harta. Mengumpulkan harta itu nafsu pada manusia. Karenanya dia tidak pernah puas kalau tidak dikendalikan. Sekarang kita sudah membuat qanun tentang khalwat. Kita berharap semua orang menghentikan kejahatan berkhalwat, itu sesuatu yang tidak realistis. Kenapa? Karena yang kita atur manusia. Jadi sama umpamanya kalau kita minta korupsi behenti karena sudah ada undang-undang anti korupsi, itu tidak akan terjadi kalau sifat manusia serakah mengumpulkan harta itu tidak pernah habis. Kita hanya bisa menurunkannya. Mungkin kita bisa turunkan hingga ke tingkat satu persen atau 0, 01 persen, tapi 100 persen habis selamanya, itu tidak mungkin. Mungkin kita berhasil menurunkanya setahun. Pada setahun ini 0 persen, tahun berikutnya belum tentu. Karena nafsu ini melekat pada manusia. Jadi tidak mungkin itu.



Artinya apa yang selama ini terjadi, itu sesuatu yang lumrah?

Bahwa ada pelanggaran itu lumrah. Namun yang tidak lumrah mungkin berapa jumlahnya, caranya, siapa yang melakukanya. Kalau ada anak yang melakukan kerena tidak tahu melakukan kejahatan, kita anggap itu lumrah. Tapi kalau yang melakukan itu guru, aparat penegak hukum itu yang tidak lumrah. Tapi di tengah masyarakat kita hampir tidak ada beda. Antara aparat penegak hukum dengan bukan penegak hukum, antara orang pintar dan orang bodoh, orang dewasa atau remaja. Pada semua itu terjadi pelanggaran. Ini yang kita katakan masyarakat kita sakit. Karenanya, ini yang harus kita perbaiki.



Apakah Anda tahu di Aceh ada diskotik?

Soal itu saya tidak tahu. Diskotik itu kan sebuah istilah yang sangat umum. Jadi kalau umpanya ada orang yang bernyanyi lalu kita dengar, itu saya rasa tidak masalah. Tapi kalau ada tarian yang bercampur antara laki-laki dan perempuan ada pertunjukan orang yang tidak pakai baju, ya itu tentu tidak boleh. Tapi kalau hanya sekedar ada orang nyanyi lalu kita mendengar, itu hal yang biasa.



Bagaimana dengan mereka yang nonmuslim?

Kalau minuman keras untuk orang nonmuslim boleh di Aceh. Tidak terlarang. Cuma di situ harus jelas dari mana dapatnya. Apakah dia bawa sendiri untuk kebutuhan atau membeli di tempat khusus yang menjualnya itu boleh. Kalau untuk muslim tidak boleh.



Apa upaya untuk mengurangi kasus khalwat di Aceh?

Pada jangka panjang itu ada pada pendidikan. Hukum itu tidak akan efektif kalau pendidikannya tidak betul. Jadi kalau kita menegakan hukum maka yang pertama harus kit lihat adalaha pada bagaimana materi hukum yang kita tulis. Ini sesuai tidak dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, aparat penegak hukumnya disiplin, pandai atau apa tidak. Ketiga, sistem hukum yang kita pakai sendiri, sederhana, rumit mudah atau menyusahkan orang. Yang keempat, budaya hukum pada masyarakat. Jadi ini yang harus didukung dan berjalan sinkron.



Selama ini apa kendala di lapangan dalam hal mengurangi kasus khalwat di Aceh?

Untuk sementara, secara sederhana kita kembali saja dulu pada empat unsur ini. Ambil saja contoh korupsi. Aturan tentang korupsi ini sudah bagus sekali. Rasanya tidak ada aturan yang lebih bagus dari yang ada sekarang. Tapi karena aparat penegak hukum tidak cukup bagus dan aturan yang ada dalam pemerintah sendiri tidak cukup jelas. Sehingga, perbedaan mana korupsi dengan yang bukan antara para pihak itu bisa tajam sekali. Dalam konteks penegakan syariat Islam, semua ini baru kita mulai. Semuanya sedang kita siapkan dan semuanya belum siap. Jadi umpamanya kesadaran pada rakyat. Semua masyarakat tahu. Bahwa berduan antara laki-laki dan perempuan bukan muhrim itu haram. Saya rasa tidak ada orang Aceh yang tidak tahu itu. Bahwa berciuman orang laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim itu dosa. Saya rasa tidak ada orang Aceh yang tidak tahu itu. Tapi orang Aceh melanggarnya. Jadi ini apa? Kesadaran hukumnya yang rendah atau seperti apa. Lain lagi soal aparatnya, ada yang serius dan ada yang tidak. Bahkan ada aparat yang sudah kita laporkan malah tidak ditanggapi. Dia biarkan saja. Bahkan dia lepas lagi. Mungkin karena kawan atau siapa. Jadi ini yang harus kita benahi walaupun Syariat Islam di Aceh sudah tiga tahun. Ini adalah tahap yang sangat awal.



Apakah anggota TNI dan Polisi juga ikut dikenakan hukuman jika mereka melanggar?

Kita punya WH di Aceh. Tapi kewenangan WH tidak cukup untuk menangkap polisi atau tentara. Bahkan undang-undang kita mengatakan tentara tidak tunduk kepada syariat. Sebenarnya bukan tidak bisa, tapi WH tidak boleh menangkap tentara, dan polisi juga tidak boleh menangkap tentara. Jadi sistem kita saat ini tidak semuanya seperti yang diharapkan masyarakat. Ada keterbatan-keterbatasan yang memang harus dipenuhi.



Lantas bagaimana untuk ke depan apakah anggota TNI atau polisi tidak bisa ditindak?

Yang pertama kita harus lahirkan regulasi. Yang kedua harus ada pelatihan pembekalan sehingga petugas itu mampu. Dia merasa punya wibawa. Dan yang ketiga juga sosialisasi dan penyadaran semua pihak bahwa tidak ada orang di atas hukum. Bahwa harus ada kesadaran bahwa orang yang memilliki privilage atau keistimewaan itu dengan sadar dia menyerahkan diri ketika dia melanggar peraturan.



Kalau di tingkat lapangan, WH dikabarkan juga bisa berkompromi dengan pelaku atau katakanlah bisa disogok. Apa Anda tahu soal ini?

Saya tidak punya bukti untuk itu. Tapi saya tidak perlu membantahnya. Toh WH juga kan manusia, itu bisa saja terjadi. Tapi yang selalu ingin saya katakan agar personil WH itu bisa lebih bersih dibanding dengan yang lain. Tapi tidak semuanya dan tergantung di lapangan. Kalau memang kasus itu ada kami berharap itu bisa diberi tahu supaya dibersihkan sehingga nanti masyarakat tidak menggerutu di belakang.



Selama ini pandangan masyarakat kepada WH terkesan diskriminatif dan tidak berani menindak pejabat yang terlibat dalam kasus mesum. Apa komentar Anda?

Kalau masyarakat ragu dengan WH itu adalah wajar. Karena masyarakat itu kadang-kadang tidak sabar. Mereka ingin cepat. Tapi hukum kan tidak begitu. Jadi apa yang disebut itu kasus anggota DPRD Aceh Tamiang, kasus anggota DPRD di Lhokseumawe, kasus ini tidak berhenti dan tetap berproses. Sekarang sudah kasasi di Mahkamah Agung dan kita harapkan dalam waktu dekat ini akan turun dan mudah-mudahan putusan pengadilan ini dikuatkan. Soal kasus mantan ketua Pengadilan Negeri Sabang, kini kasusnya sudah dilimpahkan oleh polisi kepada jaksa. Kasus anggota WH provinsi juga seperti itu. Kasusnya masih diproses di polisi. Lalu yang perlu diingat juga, tidak semua kasus yang dilaporkan tersebut sudah memenuhi persyaratan. Dan kita harus berbesar hati menerima kalau polisi dan jaksa serta hakim membebaskan mereka karena tidak cukup bukti atau syarat.



Bagaimana dengan kasus khalwat yang menimpa Mardiana dengan Guessep yang seorang warga asing yang hingga kini tidak dilakukan hukuman?

Dan itu juga polisi tidak proses kasus itu karena mereka sudah lari. Mereka tidak lagi di Aceh. Kita tidak bisa memprosesnya karena mereka tidak ada. Sekarang ini, pada kebanyakan kasus, mereka tidak ditahan dan alhamdulillah mereka memenuhi panggilan polisi. Oh umpanya dia lari, kita tidak kejar. Kenapa, karena umpanya dia berbuat salah, lalu dia tidak mau tinggal lagi di Aceh, dia pergi ke luar Aceh, ya tidak apa-apa karena tidak ada lagi orang yang berbuat salah di Aceh. Jadi sebetulnya dalam syariat itu juga ada pemaafan. Kalau misalkan dia bisa bertaubat dapat diselesaikan di kampung kita berikan kesempatan kepada dia. Kalau pada tingkat yang permulaan, WH itu diberi izin untuk membina sehingga tidak semuanya kasus itu sampai ke pengadilan.



Apakah seseorang yang terbukti berbuat

khalwat lalu kemudian dinikahkan, lantas hukuman cambuk kepada orang bersangkutan itu gugur?

Tidak. Itu tidak menggugurkan hukuman bagi dia walaupun sudah dinikahkan. Dinikahkan itu juga bukan hukuman adat. Sanksi adat tidak termasuk perkawinan. Tapi sanksi adat umpanya membayar denda, dipesijuek, dia diberi nasehat, dia minta untuk minta maaf, dia dikucilkan. Tapi dinikahkan itu bukan hukuman adat.



Apa harapan Anda?

Masyarakat harus melihat tujuan pelaksanaan syariat Islam ini untuk menghentikan kejahatan. Jadi kita katakan syariat Islam ini berhasil kalau perbuatan pidana itu berkurang dan makin menurun. Itu yang kita anggap berhasil. Tapi kalau masih banyak orang yang dicambuk itu tidak menyatakan bahwa kita berhasil. Semua ini baru akan berhasil kalau pendidikan juga bagus kepada masyarakat. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan