Memburu Uang ke Kursi Dewan

DI Aceh, ada belasan ribu calon anggota legislatif (caleg) yang mengincar kursi DPRK, DPRA, DPR RI, dan DPD pada Pemilu 2014. Banyak pihak meyakini, ramainya peminat kursi dewan karena terinspirasi gaya hidup glamor, terpandang, dan bertabur fasilitas yang ‘dipertontonkan’ oleh mereka-mereka yang pernah atau masih bertahta di lembaga terhormat itu. Sejatinya, dengan beragam kemudahan sebagai akibat tingginya posisi tawar, hanya orang-orang tertentu yang (mungkin) bisa mempertahankan idealisme sebagai wakil rakyat.

*  *  *

Di lembaga dewan, ada banyak sumber lumbung uang, mulai dari yang resmi sampai yang berbau koruptif. Mulai dari menjadi calo proyek, menerima fee dari rekanan, sampai praktik manipulasi biaya agenda kerja. Beberapa sumber tidak menampik bila praktik-praktik ‘nakal’ oknum anggota dewan ini memang kerap terjadi.

Seorang mantan anggota dewan menjelaskan, praktik upeti atau fee proyek pemerintah yang dikerjakan rekanan kerap menjadi lumbung subur mengeruk keuntungan. Dengan kata lain, proyek dan rekanan sering menjadi sumber ‘pendapatan lain’, selain pendapatan resmi dari negara.

“Jujur saja kita tidak munafik, kita juga butuh uang, kalau ada yang kasih kita terima,” kata sumber itu tanpa merincikan angka nominalnya. Biasanya, lanjut sumber tersebut, pemberian rasa terima kasih diberikan secara sukarela oleh rekanan yang memenangkan proyek. Tentunya, pemberian itu sebagai balas jasa karena anggota dewan ikut berandil dalam meloloskan proyek tersebut dalam pembahasan anggaran. “Tapi tidak ada hitam di atas putih. Semacam uang terima kasih dari teman-teman yang mengerjakan proyek,” sebutnya. Penelusuran Serambi, bila dari nominal Rp 100 juta anggaran proyek, maka jatah setoran ke anggota dewan sebagai fee berkisar 10 persen.

Sumber tersebut juga menjelaskan, beberapa agenda dewan, mulai dari rapat komisi, rapat banmus, banleg, pansus kunjungan kerja dan studi banding, dianggarkan biayanya. “Misalkan untuk kunjungan kerja ke Jakarta tiga hari termasuk tiket pesawat, bisa Rp 8 juta per orang,” katanya. Anggota dewan di tingkat provinsi ini mengungkapkan, gaji pokok seorang anggota dewan sekitar Rp 2,8 juta. Namun setelah ditambah dengan tunjangan dan lain-lain, seorang anggota dewan memperoleh pendapatan sekitar Rp 18 juta per bulan.

Di DPRA, setiap anggotanya dialokasikan yang namanya uang aspirasi mencapai Rp 5 miliar per tahun. Bahkan pada APBA 2014, DPRA Aceh mengusulkan dana aspirasi mencapai Rp 10 miliar per anggota. Dana aspirasi ini menjadi ‘amunisi’ bagi incumbent untuk menggalang dukungan saat musim pemilu.

“Sebagian besar saya berikan untuk bangun masjid, membiayai pertemuan, dan juga untuk biaya kunjungan ke konstituen,” kata mantan anggota dewan ini. Ia mengaku menggelontorkan ratusan juta untuk konstituen di daerah pemilihannya, berupa membangun fasilitas rumah ibadah, maupun pemberdayaan ekonomi masyarakat di dapilnya menjelang pemilu.

Sumber Serambi lainnya mengatakan, biasanya dana aspirasi anggota dewan diusulkan berdasarkan kegiatan reses dan musrenbang di dapil, dan nominalnya berbeda antara satu kota/kabupaten, tergantung besaran PAD. Di Kota Banda Aceh, misalnya, seorang anggota dewan memperoleh gaji sekitar Rp 14 juta per bulan, sudah termasuk sejumlah tunjangan. Sedangkan dana aspirasi untuk dewan kota berbeda-beda, mulai Rp 500 juta-Rp 800 juta per tahun. Bukan cuma itu. Mereka juga mendapatkan dana perjalanan dinas, yang untuk tahun 2014 sudah dianggarkan Rp 120 juta.

“Tapi, saya kira, uang perjalanan dinas segini bulan Juni sudah habis, lihat saja. Nanti pasti akan ditambahkan lagi di APBK-P,” kata seorang sumber. Selebihnya, ada pula uang reses, yang totalnya sekira Rp 75 juta per tahun. Uang reses ini hanya bisa dicairkan jika ada kegiatan.

Anggota dewan lainnya di tingkat provinsi juga menuturkan hal serupa. Biaya perjalanan dinas bisa menjadi pendapatan lain yang diperoleh di luar gaji bulanan. “Kalau mau ada tambahan (pendapatan) bisa lewat SPPD, sekarang berkisar Rp 2,5 juta untuk satu hari,” sebutnya.

Namun peraturan saat ini sudah ketat dengan pemberlakuan sistem real cost. Sistem real cost, yakni melakukan perjalanan dinas sesuai standar yang ada dan mengembalikan uang dinas yang tidak terpakai. “Tapi kalau sebelumnya pakai sistem lumsum itu, bisa diakali dan berpeluang difiktifkan,” bebernya.

Tentu saja, tidak semua anggota dewan lihai meraup pundi rupiah dari praktik semacam itu. Seorang mantan anggota DPRK Banda Aceh periode 2004-2009, mengungkapkan, selama menjadi anggota dewan dirinya berusaha komit menjaga idealisme sebagai wakil rakyat di parlemen, meskipun mengetahui adanya praktik nakal oleh oknum-oknum di lembaga itu.

“Karena kita tidak ikut (main proyek), maka dalam posisi seperti ini, kita bisa bersuara lantang, karena memang kita menjunjung tinggi idealisme,” sebutnya. Saat ini pun, kata pria ini, masih ada beberapa anggota dewan yang idealias di DPRK Banda Aceh.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan