FEATURE

Tiga Tahun Telantar, Anak Korban Tsunami Tempati Sekolah Rp 30 Miliar
Yang Berprestasi Dapat Beasiswa ke Singapura *

Ratusan anak korban tsunami yang kehilangan orang tua kini bisa belajar di sekolah yang dikelola secara modern di Cot Metaya, Aceh Besar. Apa keistimewaan sekolah yang dibangun Pemerintah Singapura dengan dana Rp 30 miliar itu?

ANSARI - Banda Aceh

GEORGE Yeo tersenyum ketika turun dari mobil. Wajah menteri luar negeri Singapura itu tampak berbinar gembira. "Hello everybody. How are You?" sapa lelaki berkacamata itu sambil melambaikan tangan kepada para undangan. Dua bocah dengan sigap membuka dua payung ungu untuk menyambut kedatangan pria berkacamata itu.Selain Yeo, ada sejumlah pejabat penting yang hadir pada peresmian Sekolah Islam Terpadu Berasrama (SITB) Fajar Hidayah Aceh kemarin.

Mereka, antara lain, Mendiknas Bambang Soedibyo, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Wakil Ketua DPR Aceh Waisul Qarani Aly, dan Bupati Aceh Besar Buchari Daud.Bagi Yeo, itu adalah kesempatan ketiga berkunjung ke Aceh pascatsunami pada 2004. Namun, kehadirannya kali ini menorehkan kesan tersendiri pada ratusan anak korban tsunami yang belajar di SITB Fajar Hidayah yang berlokasi di Cot Metaya, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Sekolah lengkap dan modern itu satu-satunya sekolah yang menggratiskan biaya bagi anak korban tsunami di Aceh.

Dibangun dengan dana Rp 30 miliar, sekolah itu wujud kepedulian rakyat Singapura kepada korban tsunami melalui program sumbangan Tidal Wave Asia Fund. Untuk proyek sosial tersebut, lembaga itu juga dapat dukungan dari Palang Merah Singapura dan Singapore International Foundation."Saya bangga melihat anak-anak Aceh tersenyum dan kembali bisa bersekolah," ujar Yeo sebelum membubuhkan tanda tangan di atas sebuah batu marmer bersama Bambang Soedibyo.

Sekolah berkapasitas 600 siswa itu terlihat sangat apik dan megah. Arsitekturnya bergaya Eropa. Proses pembangunannya dimulai sejak 11 Mei 2006. Bangunan 10.000 meter persegi itu berdiri di atas lahan 2 hektare.Konstruksi bangunan sekolah itu dirancang tahan gempa. Dinding terbuat dari batu bata super dengan warna merah hati mencolok yang tidak diplester. Besi baja padat menopang seluruh bangunan yang dibagi dalam tujuh bangunan di kompleks tersebut. Berbeda dengan umumnya bangunan di Bumi Serambi Makkah, setiap ruang dilengkapi dengan fasilitas air conditioner (AC).

Meski baru diresmikan kemarin, sebagian fasilitas di kompleks itu -asrama siswa dan guru, gedung serbaguna berkapasitas 1.200 orang, serta gedung olah raga- sudah dipakai 180 siswa bersama staf pengajar sejak beberapa bulan lalu. "Saya kira, ini adalah proyek sekolah yang luar biasa. Ini adalah simbol persahabatan dan hubungan bilateral Singapura dengan Indonesia," kata Yeo menyatakan kekagumannya. Proses peresmian kemarin merupakan kegiatan grand opening terhadap pengoperasian bangunan yang ada di sana. Sedangkan gedung SITB Fajar Hidayah mulai digunakan murid sejak awal 2007.

Pada awal pendaftarannya, para siswa SITB Fajar Hidayah sempat menjalani pahit getir dan berbagai kesulitan lain. Saat itu, anak-anak korban tsunami yang rumahnya sudah hilang, termasuk yang kehilangan orang tua, menumpang belajar di Madrasah Ulumul Qur’an (MUD) Desa Pagar Air, Aceh Besar."Waktu itu hanya ada tujuh ruang. Di situ tempat kami tidur pada malam hari. Di situ juga tempat kami belajar pada pagi hari. Tapi, semua ini tidak mengurangi semangat kami untuk tetap belajar," kata Riski, 14, siswa kelas 1 SMU SITB Fajar Hidayah.

Keunggulan dan sistem pendidikan yang ditawarkan SITB Fajar Hidayah ternyata membuat siswa korban tsunami asal Kecamatan Krueng Sabee, Calang, Kabupaten Aceh Jaya, itu betah."Belajarnya di sini enak. Selain ada pelajaran di kelas, juga ada praktik lapangan. Seperti pelajaran biologi, bisa langsung praktik di sawah," katanya.

Memang, lokasi SITB Fajar Hidayah yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat kota Banda Aceh itu berdekatan dengan sawah penduduk atau. Sebagaimana siswa lain, Riski merupakan salah satu anak korban tsunami di Aceh yang mendapat kesempatan belajar di sekolah itu. Awalnya, dia tercatat sebagai santri Pesantren Ar-Risalah, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Namun, bencana gempa dan tsunami meluluhlantakkan bangunan pesantren itu. Untung, Riski dan para santri lain berhasil menyelamatkan diri ke atas gunung. "Tapi, ibu saya meninggal bersama adik. Padahal, adik baru mau masuk sekolah saat itu," katanya.

Menurut Riski, terakhir dia berjumpa ibunya di sekolah milik Pesantren Ar-Risalah. "Saya masih ingat saat itu hari Kamis. Ibu bilang saya harus rajin-rajin belajar," tuturnya. Meski kehilangan ibu, semangatnya untuk belajar tetap bergelora. Prestasi itu pula yang membuat Riski tercatat sebagai salah satu anak korban tsunami di Aceh yang mendapat kesempatan menimba ilmu di SITB Fajar Hidayah.

Selain itu, dia menjadi salah satu dari 15 siswa sekolah itu yang diundang ke Singapura pada peringatan hari kebangsaan (national day) Negara Pulau itu pada 9 Agustus 2006. "Kami senang bisa langsung bersalaman dengan perdana menteri Singapura saat itu. Dia orangnya baik walau beda agama," kata Riski yang bercita-cita menjadi arsitek dan berharap suatu saat bisa melanjutkan studi ke Singapura.

Lain lagi pengalaman M. Dede Mirwanda, 15. Siswa kelas 1 SMU Fajar Hidayah ini ingin bisa meneruskan sekolah kendati dua orang tuanya meninggal dalam musibah tsunami. "Semuanya sekarang saya harus mandiri. Habis mau bagaimana lagi, ibu dan ayah nggak ada lagi," tuturnya. Selain dua orang tua, Dede juga kehilangan dua saudara kandungnya. Namun, kondisi itu tidak membuatnya sedih berlarut-larut. "Kalau ada kesempatan, nanti saya ingin belajar ke luar negeri. Kalau bisa ke Singapura," kata Dede yang bercita-cita menjadi guru bahasa Inggris.

Menurut pemuda asal Mon Ikeun Lhok Nga, Aceh Besar, itu, terkadang pengalaman masa lalu menggelayuti benaknya di saat menghabiskan hari-hari di kompleks asrama. "Kadang-kadang rasa sedih itu tetap ada. Tapi, itu tidak baik untuk diingat terus. Saya ingin belajar demi masa depan nanti," ungkapnya. SITB Fajar Hidayah mempunyai misi mempersiapkan sumber daya manusia yang siap pakai. Baik dari segi keterampilan hidup (live skill) maupun kecerdasan akademik dan spiritual. "Kami berharap, setelah selesai dari sini, para siswa dapat belajar hidup mandiri dan mengembangkan apa-apa saja yang sudah mereka dapatkan selama belajar," kata Hj Dragha Rangkuti, pendiri Yayasan Fajar Harapan. Untuk mendukung proses belajar mengajar, sekolah memakai tenaga pengajar lokal yang jumlahnya 25 orang. Selain itu, ada tenaga pengajar lainnya yang didatangkan dari Jakarta.

Masa depan para siswa sekolah itu cukup terbuka. Mereka bisa melanjutkan studinya ke berbagai jenjang perguruan tinggi. Bahkan, Pemerintah Singapura juga memberikan sinyal bagi siswa yang berprestasi untuk melanjutkan studi ke negara itu. "Oh tentu saja. Sejauh mereka mampu dan ada kesempatan, mereka bisa mendapatkan beasiswa dan belajar di Singapura," kata Menlu Singapura George Yeo.

Yeo mengaku sangat bangga dengan SITB Fajar Hidayah yang kini menjadi lembaga pendidikan satu-satunya bagi anak korban tsunami dengan sistem pendidikan terpadu dan modern. Gubernur Irwandi Yusuf menambahkan, saat ini pemerintah Aceh memiliki tidak kurang dari 40 ribu anak korban tsunami yang masih memerlukan perhatian pemerintah. Di antara mereka, ada anak yang kehilangan orang tua, sanak saudara, dan ada yang hingga kini masih menggantungkan hidupnya di rumah saudara."Kami atas nama pemerintah Aceh mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu Aceh. Juga kepada Singapura. Kita berharap anak-anak ini akan menjadi pemimpin-pemimpin Aceh kelak," kata mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu. (*)

*Pernah Dimuat Jawa Pos 7-11-2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku