Kisah Korban Tsunami Setelah Tiga Tahun Rehab-Rekon
ANSARI HASYIM, Banda Aceh.
RUANGAN itu tampak pengap. Tidak ada sekat kamar dan dapur seperti layaknya sebuah rumah. Ada sebuah lemari tua dan beberapa potong pakaian ditempatkan disudut ruang. Sebuah televisi dan VCD Player, bahkan diletakkan dekat sebuah rak berisi peralatan dapur. Semua barang itu berada dalam satu kamar berukuran sekitar 3x4 meter. “Kalau hanya panas begini itu sudah biasa,” kata seorang perumpuan muda saat ditemui koran ini Kamis lalu. Dia tampak tengah menidurkan anaknya di kamar itu. Udara panas terasa menyeruap siang itu tidak membuat perempuan bernama Nurhayati ini merasa gerah dan risih. Di rumah shelter yang terletak di kawasan bantaran Krueng Aceh, Nurhayati tinggal bersama suami, ibu, seorang kakak dan dua keponaan yang kini menjadi yatim piatu. Nurhayati adalah potret kecil gambaran nestapa para korban tsunami di Aceh yang hingga kini masih tinggal di pengungsian.Selain wanita itu, ada puluhan penghuni shelter lain yang juga tinggal disana. Sebagian besar dari mereka adalah warga Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala. Shelter-shelter itu dibangun berjejal dan terlihat sudah usang. Mereka tampaknya masih harus meretas jalan panjang menemui kembali kehidupan yang sesungguhnya. Proyek rekonstruksi BRR Aceh-Nias ternyata belum sepenuhnya dapat memenuhi hak-hak para korban di provinsi berjuluk Serambi Mekkah itu. “Sebenarnya kami sudah lelah menunggu. Sampai kapan harus terus di sini,” ujar wanita itu lirih. Sebelum menempati rumah shelter di kawasan itu, Nur bersama korban tsunami asal Alue Naga lainnya juga sempat berpindah-pindah mengungsi. Awalnya, mereka mengungsi di kawasan Masjid Ulee Kareng. Beberapa bulan kemudian berpindah ke barak Desa Neuhen, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. “Sebagian besar warga kemudian kembali ke kampung membangun tempat tinggal seadanya. Mereka tidak betah di sana karena sulit mencari kerja,” kata Musliadi, 20, kakak kandung Nurhayati. Musliadi juga tinggal dan tidur di rumah shelter bersama kakaknya. Lelaki ini tidak punya pilihan lain setelah rumah mereka di kawasan Dusun Kutaran rata dengan tanah diterjang tsunami. Bahkan, sebagian daratan di kampung itu telah dimakan laut. Akhir tahun 2007 ini, Musliadi mendapat kabar melegakan. Rumah mereka di Dusun Kutaran sudah hampir siap dibangun. Tapi, kabar gembira itu tak membuat mereka lega. Apalagi ketersediaan air bersih dan listrik masih menjadi kendala utama bagi warga setempat.“Belum tentu ada warga yang mau kembali ke kampung. Selain soal air bersih dan listrik, masih ada yang merasa takut dan trauma,” jelasnya. Suasana lebaran Idul Adha kemarin yang semestinya mereka rayakan dalam suasana gembira terlewatkan begitu saja. Tidak ada nuansa kegembiraan tergambar di raut wajah para pengungsi Alue Naga ini.”Ada atau tidak ada lebaran buat kami di sini sama saja,” kata Maryati, 32, yang kini masih tinggal di barak pengungsian di kawasan Simpang Mesra, Lingke. Ibu dua anak ini juga tidak tahu sampai kapan ia terus bertahan di barak pengungsian. Maryati mengaku hanya pasrah menjalani hari-harinya dengan penuh harapan tidak pasti. "Kami sudah lelah menunggu. Biar saja begini. Kalau pemerintah masih punya hati tentu mereka tidak tega melihat ada rakyatnya yang hidup seperti ini," kata wanita yang kehilangan dua anaknya dalam bencana tsunami, tiga tahun lalu itu. Suasana di lingkungan barak sudah sangat akrab mereka jalani. Hal ini bukan lantaran mereka betah menempatinya, akan tetapi kondisilah yang memaksa mereka tetap memilih tinggal di barak. Beberapa penghuni barak malah sudah memiliki dapur masing-masing yang mereka bangun sendiri, tidak jauh dari lokasi kamar barak. Bagi Maryati, sebelum tinggal di barak, dirinya juga sempat mengungsi ke Masjid Ulee Kareng. Kemudian berpindah ke Masjid Jamik Kampus Unsyiah. Senasib dengan korban tsunami Alue Naga lainnya, ibu ini juga mengaku belum mendapat rumah bantuan. Ia hanya mendengar kabar bila setelah lebaran Idul Adha kegiatan pembangunan rumah di Alue Naga akan dilanjutkan. Jika demikian, setidaknya Maryati juga harus menunggu hingga enam bulan lagi untuk bisa menempati rumah baru. “Tapi semua ini juga belum pasti. Karena kami hanya mendengar kabarnya begitu,” ucap ibu ini dengan rawut wajah pesimis. Nasib Maryati ternyata berbeda dengan Abdullah, 57, warga sekampungnya. Lelaki itu mengaku sudah mendapatkan rumah bantuan dari sebuah NGO. Tapi, Abdullah hingga kini tidak kunjung menempatinya. Penyebabnya, kawasan Dusun Kutaran masih sering digenangi air laut ketika musim pasang tiba karena tidak ada tanggul penahan ombak. "Kalaupun ada yang mau pindah itu hanya karena terpaksa saja sebab mereka sehari-hari bekerja sebagai nelayan” kata Abdullah yang sebelum tsunami bekerja sebagai penarik becak motor. Kini, ia juga terpaksa harus menghabiskan hari-harinya bersama istri dan anak semata wayang, Adek Mirna, 11 bulan, di sebuah rumah shelter. “Dua anak saya hilang saat tsunami lalu. Ini membuat saya selalu bersedih setiap tahun karena jasad mereka sampai sekarang tidak pernah ditemukan,” ujar Abdullah yang kini tinggal di kawasan bantaran Krueng Aceh, bersama pengungsi Alue Naga lainnya. Menurut Abdullah, saat ini di Dusun Kutaran, telah dibangun sekitar 73 unit rumah. Jumlah tersebut adalah untuk tahap pertama dari jumlah sekitar 300 unit yang akan dibangun. Ini artinya masih ada ratusan kepala keluarga lainnya di desa itu yang harus menghabiskan hari-harinya lebih lama lagi di barak pengungsian. Setidaknya ini pula yang dirasakan Muhammad Nur, 22, dan Sanusi, 18. Kakak beradik yang yatim piatu ini termasuk salah satu pengungsi yang hingga kini masih merasakan getirnya hidup menjadi korban tsunami di Aceh. “Jangankan pondasi, batunya saja tidak ada,” katanya. “Dulu kami pernah dijanjikan setelah dua tahun di pengungsian rumah sudah siap dibangun. Tapi sekarang sudah tiga tahun tsunami, tapi akhirnya apa yang kami dapat. Setelah dari barak, kami harus kembali lagi tinggal di barak,” ketusnya. Kondisi itu membuat korban tsunami di desa itu merasa prihatin. ”Kenapa kami yang benar-benar menjadi korban tsunami tidak mendapat rumah. Tapi ada orang yang tidak kena tsunami sekarang sudah tinggal di rumah baru,” timpal Khalidin, 26, yang kini juga tinggal sebarak dengan M Nur. Pemuda ini juga terpaksa menghabiskan hari-harinya seorang diri di barak pengungsian setelah keluarganya hilang disapu tsunami. Beban hidup makin dirasakan lelaki ini karena sampai saat ini ia mengaku tidak memiliki pekerjaan tetap, kecuali hanya menggantungkan hidup dengan menjadi nelayan upahan orang lain. Menurut M Nur, dirinya juga tidak punya banyak pilihan. Hari-hari selama tiga tahun ini ia habiskan bersama adiknya di kamar barak pengungsian di kawasan Simpang Mesra.Untuk bertahan hidup, ia juga harus bekerja keras sebagai nelayan upahan. Ini dia lakukan demi menyambung hidup dan membiayai kebutuhan hari-hari Sanusi, yang kini dalam kondisi cacat seumur hidup setelah lolos dari bencana tsunami. Nasib kakak beradik ini ternyata juga dirasakan Muhammad Kasim, 40. Bedanya, Kasim adalah korban tsunami yang saat bencana itu menerjang Aceh berstatus sebagai penyewa. Ia bersama istri dan anak-anaknya menumpang tinggal di sebuah rumah yang dibangun di atas tanah milik orang lain di Krueng Cut, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Sejak tiga tahun tsunami, lelaki ini memilih tinggal di sebuah rumah shelter di kawasan Rukoh Darussalam bersama dua belas anggota keluarga (empat KK). “Untuk ukuran jumlah keluarga yang banyak begini, terasa sangat sulit memang. Tapi apa boleh buat kalau tidak kami tinggal di sini, ke mana lagi kami harus pergi,” katanya. Di kawasan Rukoh ini ada sekitar tujuh puluhan kepala keluarga korban tsunami. Umumnya mereka adalah para penyewa. Kasim mengaku dengan hasil kerja sebagai seorang nelayan, tidak mampu membayar biaya sewa rumah yang kini nilainya makin mencekik leher. Itulah yang membuat mereka memilih tetap bertahan tinggal di shelter. “Awalnya pernah dijanjikan kalau para pengungsi di sini akan diberikan rumah bantuan di Ladong, Aceh Besar. Bahkan beberapa warga di sini pernah diajak untuk melihat lahan tempat akan dibangun rumah bantuan itu. Tapi sampai sekarang kami tidak tahu lagi bagaimana kelanjutannya,” timpal Nurazizah, 19. Wanita ini sudah berkeluarga namun juga masih tinggal serumah dengan Kasim, orang tuanya. Apa yang dialami M Kasim tidak jauh berbeda dirasakan Fitria, 22 dan Sulaiman, 43. Kedua korban tsunami ini hingga sekarang juga masih menempati barak pengungsian Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Fitria mengaku sedikit lebih beruntung karena saat ini ada sebuah NGO yang memberinya bantuan rumah di kawasan Labui, Aceh Besar. “Walaupun belum ditempati, tapi kami merasa sudah punya harapan untuk bisa memiliki sebuah rumah baru. Kami berharap bisa segera menempatinya,” kata Fitria yang sebelum tsunami mengaku sempat kewalahan membiayai kontrakan di Kampung Baru. Ia pun merasa bersyukur karena waktu yang dihabiskan selama tiga tahun di barak ternyata tidak sia-sia.Berbeda halnya dengan Sulaiman. Lelaki asal Kahju ini belum mengetahui pasti apakah akan terus menetap di barak atau sampai kapan harus menunggu. “Sampai sekarang belum jelas lagi,” kata lelaki itu. (**)
Komentar
Posting Komentar