Melihat Ritual Perayaan Imlek di Aceh

Tanpa Atraksi Barongsai, Berharap Damai Tetap Bersemi

Imlek bagi warga Cina adalah momen paling sakral. Ada banyak harapan yang mereka gantungkan pada tahun baru itu. Apa saja harapan warga Cina di Aceh dan seperti apa prosesi Imlek di Bumi Serambi Mekkah itu?

ANSARI –Banda Aceh


LELAKi itu membakar satu persatu lilin warna merah. Setelah menyala, lilin-lilin itu di tancapkan di atas sebuah altar. Seekor patung naga berdiri tegak di sampingnya.
"Merah berarti melambangkan kemakmuran dan suka cita," kata Hasan, 33, seorang jemaat di Vihara Dharma Bhakti Peunayong.
Kamis kemarin adalah hari istimewa bagi lelaki itu. Bersama empat ribu warga Tionghoa di Banda Aceh, ia merayakan Tahun Baru Imlek 2559.
Seperti jemaat lainnya, lelaki berkulit putih bersih itu tampak berdoa di hadapan para Dewa. Sebagai perantara Hasan membakar hio (dupa), menyalakan lilin merah dan membakar kertas doa bergambar uang.
"Itu simbol agar kita mendapat rezeki lebih mudah. Semoga rezeki tahun ini bisa terus bertambah dari tahun yang lalu," tuturnya.
Vihara Dhrama Bhakti adalah di antara empat tempat warga Cina di Banda Aceh melakukan prosesi doa setiap Imlek tiba. Selain di Vihara Dharma Bhakti, prosesi doa juga dilakukan di tiga Vihara lainya; Vihara Sakia Mumi, Vihara Maitri dan Vihara Dewi Samudra.
Setiap jemaat minimal menghabiskan 20-30 menit untuk ritual berdoa. Bagi Hasan, berdoa di Vihara pada hari pertama Imlek sudah suatu kegiatan rutin. Biasanya, jemaat mulai berdatangan ke tempat suci umat Budha itu pada pukul 00.00 WIB saat malam tahun baru imlek jatuh.
Ritual doa itu dilanjutkan pada pagi hingga siang hari. Sebagian besar jemaat datang bersama keluarga. Beberapa lainnya bersama teman.
"Semoga kedamaian ini terus bersemi. Jangan ada lagi bencana seperti tahun-tahun yang lalu," kata Santhi, 21, mengungkapkan harapannya di tahun baru Imlek yang untuk kali ini jatuh dengan Sio Tikus.
Pada awalnya, Imlek atau Sin Tjia adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Cina yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama.
Ritual perayaan meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh.
"Cap Go Meh ini adalah hari ke 15 atau hari terakhir perayaan imlek," kata Fajar, 25. Lelaki ini adalah putra dari ketua Yayasan Vihara Dharma Bhakti.
Ia kemarin tampak sibuk melayani para jemaat yang membutuhkan lilin, hio dan kertas doa. Ada pula jemaat yang membawa buah-buahan sebagai persembahan kepada dewa. Tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak.
Selain itu, ritual tersebut juga dimaknai untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.
Menurut Fajar, jemaat yang datang ada yang beragam latar belakang sosial. Untuk mereka yang berkecukupan, boleh menggunakan hio yang lebih besar dari yang dipakai jemaat umumnya berbentuk seperti lidi. Hio itu besarnya hampir sama dengan sebatang pohon pisang.
"Tapi itu terserah, tergantung keikhlasan kita saja," kata Fajar.
Untuk prosesi berdoa mereka menyumbangkan uang Rp 40 ribu. Uang itu untuk membeli hio, kertas dan lilin yang disediakan oleh pihak yang mengelola Vihara.
"Kita sangat terbuka. Tidak hanya warga Tionghoa saja yang bisa sembahyang di sini. Tapi juga mereka yang beragama Budha juga bisa," jelas Fajar yang kemarin memakai baju kaos merah.
Perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani di Cina dahulu kala. Maka, segala bentuk persembahannya adalah berupa berbagai jenis makanan. Idealnya, pada setiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang Shio yang berjumlah 12.
Di Cina, hidangan yang wajib adalah mie panjang umur (siu mi) dan arak. Di Indonesia, hidangan yang dipilih biasanya hidangan yang mempunyai arti kemakmuran, panjang umur, keselamatan, atau kebahagiaan, dan merupakan hidangan kesukaan para leluhur.
“Biasanya kalau di sini itu ada kue keranjang. Rasanya manis dan setiap rumah itu pasti ada,” jelas Fajar.
Khusus untuk kue keranjang, merupakan makanan yang wajib dihidangkan pada waktu persembahyangan menyambut datangnya tahun baru Imlek. Biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya.
Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok.
Sebuah pemandangan lainnya yang terlihat agak menyolok pada perayaan Imlek adalah, hampir di setiap bagian Vihara di dominasi warna merah.
Bagi warga Cina, warna merah melambangkan suka cita dan kemakmuran. Demikian pula dengan lilin yang dinyalakan di depan para dewa di atas altar, semuanya berwarna merah.
"Merah itu identik dengan perayaan imlek. Kalau api yang nyala di atas lilin adalah bentuk dari penerangan. Agar dalam hidup ini kita lebih mudah," kata Eni, 34, seorang jemaat menjelaskan filosofi dari lilin yang digunakan para jemaat.
Banyak harapan yang digantungkan para jemaat saat berdoa. Namun pada umumnya mereka berharap perdamaian yang ada di Aceh terus berjalan langgeng dan terhindar dari bencana.
Bagi Dewi, 21, memiliki arti penting makna imlek tahun ini.
“Semoga ada jodoh yang datang untuk tahun ini,” kata gadis yang mengaku masih singlet itu.
Dari sekian banyak harapan yang diungkapkan jemaat, ternyata ada di antara mereka yang masih tetap pesimis di tahun dengan Sio Tikus ini yang konon melambangkan kecerdasan dalam mencari rezeki. Ini pula yang menyelimuti pikiran Ruslan, 58.
Lelaki ini saat ditemui tengah bekerja sebagai relawan di Vihara Drama Bakti. Dia membantu pihak yayasan menyiapkan berbagai keperluan ritual doa.
“Saya rasa nasib saya tidak berubah. Kerjanya dari hari ke hari itu-itu saja,” kata lelaki bujang itu yang hari-hari sebagai penarik becak motor.
Ruslan mengaku menjadi relawan di Vihara mendapat sedikit keuntungan berupa angpau yang diberikan para jemaat.
“Tidak banyak. Kadang ada yang memberi Rp 50 ribu, Rp 10 ribu, atau ada juga yang kasi Rp 10 ribu. Itu tergantung dari kemurahan hati para jemaat saja,” ujarnya.
“Kalau untuk tahun ini jumlah jemaat yang datang sedikit berkurang karena banyak yang ke Medan,” tuturnya.
Salah satu ciri khas lainnya pada perayaan Imlek adalah adanya atraksi atau tarian Barongsai dan angpau berupa uang yang dimasukkan dalam amplop kecil. Angpau biasanya diberikan oleh orang yang lebih dewasa kepada anak-anak kecil di yang datang bersilaturahmi ke rumah.
Namun bagi warga Cina di Aceh, atraksi Barongsai tidak pernah terjadi.
“Dulu ada larangan saat Orde Baru. Barongsai dilarang. Karena itu, sampai sekarang tarian Barongsai hilang dengan sendirinya,” kata Yuswar, Ketua Yayasan Vihara Drama Bakti.
Biasanya, tarian Barongsai dilakukan pada 15 hari atau hari terakhir perayaan Imlek.
“Kalau ada Barongsai pasti lebih semarak lagi. Namun yang penting makna Imlek ini harus benar-benar dipahami orang setiap jemaat. Bahwa kita berharap tahun ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya,” ujar lelaki itu seraya berharap kedamaian di Aceh berjalan langgeng.
“Jangan ada konflik lagi seperti dulu,” katanya sekali lagi. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku