Sosok Mahdi Abdullah, Pelukis Aceh yang Karyanya Tersimpan di Belanda

Mengagumi Perempuan Selalu Ingin Berada di Antara Orang Kecil

Sosok Mahdi Abdullah bukan hanya dikenal sebagai pelukis. Tapi juga seorang seniman yang dekat dengan kehidupan orang-orang kecil. Melalui kehidupan mereka ia menyampaikan kegelisahan batinnya.

Ansari Hasyim- Banda Aceh

LIMA perempuan bertubuh sintal berbalut busana daun pisang berjalan menyusuri taman. Satu di antara sosok perempuan itu memakai topeng dengan rona wajah menantang. Sekilas, busana daun pisang berwarna cokelat dan hijau itu kelihatan amat tipis. Kesan vulgar dan nuansa erotisme begitu terasa.

Itulah salah satu dari 13 karya perupa Mahdi Abdullah yang dipamerkan di Galeri Episentrum-Uleekareng, Sabtu malam.

Dibuat menggunakan cat minyak di atas kanvas berukuran 114x146,5 cm menjadikan lukisan itu pusat perhatian pengunjung. Mahdi tidak memberi definisi detail tentang lukisan berjudul Taman Sari (Pleasure Park) itu.

"Ide itu muncul sebagai manifestasi dari lingkungan dan realitas kehidupan yang mengendap dalam pikiran dan lama-lama pengalaman itu minta dimunculkan kembali," katanya kepada koran ini disela-sela pameran yang dibuka Rektor IAIN Ar- Raniry, Prof Yusni Saby PhD.

Merwan Yusuf, salah satu kurator seni terkemuka Indonesia ikut memberi apresiasi atas karya-karya Mahdi Abdullah yang ditampilkan malam itu. Sosok perempuan, realita sosial dan histori (kri) sisme menjadi tema yang diangkat Mahdi dalam beberapa karyanya.

Seperti lukisan Taman Sari, perupa kelahiran 26 Juni 1960 ini seolah memberi gambaran betapa kaum perempuan kerap menjadi objek dari kebijakan pemerintah. Mereka sering "tertangkap" dalam razia. Mahdi menyimbolkan realitas itu dengan baju daun pisang yang menurutnya akan “membebaskan” wanita-wanita di Aceh dari sanksi syariat.

"Daun pisang juga menggambarkan proses perjalanan waktu. Tapi soal makna dari lukisan ini saya serahkan kepada pengunjung. Seni itu sesuatu yang hidup, orang bisa dengan bermacam penafsiran," katanya.

Sosok Mahdi Abdullah memang tidak asing lagi bagi para pencinta seni rupa. Ia lahir di Banda Aceh dan merupakan satu di antara sederetan perupa nasional yang dikenal produktif. Getar gelombang tsunami 2004 silam telah membawanya ke Jepang mengikuti pameran tunggal.

Tengok saja misalkan pameran bertema Pesan dari Aceh yang digelar di Hyogo International Plaza dalam rangka memperingati Bencana Gempa ke-11 tahun Kota Kobe, Hyogo, Jepang. (2005). Kemudian Aceh dalam Karikatur di Indonesia Culture Plaza, Tokyo, Jepang. Tsunami Aceh di Indonesia Culture Plaza, Tokyo. Tsunami Aceh di Sangyo University, Kyoto, Jepang. Tsunami Aceh di SUAC (Shizuoka University of Art and Culture) Hamamatsu, Shizuoka, Jepang dan Tsunami Aceh di HIF (Hokkaaido International Foundation) Hakodate, Hokkaido, Jepang.

Selain pameran tunggal, karya Mahdi Abdullah juga kerap ditampilkan dalam sejumlah pameran bersama pelukis nasional. Adalah gejolak rasa dan perjalanan sejarah Aceh yang penuh warna seolah menjadi inspirasi yang tidak pernah habis tergali. Mahdi mencatat sejarah-sejarah itu di atas kanvas dengan ragam cerita yang menyentuh, kritis kadang juga tajam.

Satu hal yang unik dan jarang dimiliki perupa lain, Mahdi kerap menjadikan sosok perempuan sebagai objek lukisannya. Perempuan baginya punya banyak sisi, emosi dan gejolak jiwa yang bisa ditafsirkan dengan beragam rasa lewat goresan warna di atas kanvas. Melalui simbol perempuan, Mahdi juga melampiaskan perasaan batinya yang memberontak.

"Kadang manusia juga dianggap simbol dari sebuah perjalanan hidup. Kenapa perempuan? Mungkin karena saya laki-laki dan senang kepada wanita. Dan wanita itu memang sudah kodrati. Sama halnya saya mencintai ibu saya juga," kata lelaki lulusan Fakultas Teknik Arsitektur Unsyiah itu.

Soal gejolak batin itu, ia merekamnya lewat karyanya berjudul, Ibu, Ibu dan Ibu (Mother, Mohher and Mohter). "Ini lukisan paling berkesan buat saya," katanya. Pada lukisan menggunakan cat minyak berukuran 3 (85) x 105 itu, menggambarkan proses perjalanan waktu seorang perempuan hamil lalu menyusui hingga ia mengajari anak-anaknya tentang sebuah makna kehidupan.

Tengok lagi karya lain berjudul "Menunggu" yang menggambarkan dua perempuan memakai mukena dengan penuh tatapan kosong. Atau lukisan berjudul "Kembali" yang seolah melukiskan betapa kerasnya perjuangan hidup lima perempuan yang memikul sebuah keranjang berisi ampas kelapa di atas kepala mereka. Perjalanan yang mereka tempuh begitu jauh.

Gejolak-gejolak batin seperti itulah yang kerap ditampilkan Mahdi dalam setiap karyanya. Penuh emosi, menyentuh dan mudah dicerna. Proses tersebut terus bergeliat hingga ia mencapai sebuah klimaks kepuasan. Ada kekuatan lainnya yang membuat karya Mahdi Abdullah selalu hidup. Ia kerap menonjolkan realitas sosial yang dirasakannya, bukan sesuatu yang imajiner. Ia juga banyak bercerita tentang suasana batin orang-orang "pinggiran". Prinsip ini menjadi kekuatan dan membuat karyanya diminati banyak pencinta seni rupa.

Sejujurnya, ia mengaku tidak begitu suka membuat lukisan yang menonjolkan keindahan. Seperti pemandangan alam yang menurutnya tidak memilik ruh dan terkesan mati. Mahdi lebih suka memotret tentang kehidupan manusia, tentang orang-orang kecil. Atau mereka yang dilindas oleh perjalanan sejarah kelam.

"Saya ini orang bawah. Saya sering bergaul dengan mereka. Kadang saya memotret mereka, duduk bersama mereka dan berbicara dengan mereka. Sehingga saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan, dan itu menjadi inspirasi buat saya. Buat apa saya melukis yang high-high seperti itu tapi itu bukan untuk masyarakat," paparnya. Mahdi merasakan karena “orang-orang kecil” itu pula ia bisa menjadi pelukis, hidup dan berkarya. Pernah dalam semua acara lelang dan pameran yang dibuka Mantan Presiden Abdurrahman Wahid di Gedung Graha Niaga Jakarta, lima buah lukisan dan dua sketsa karya Mahdi Abdullah berhasil terjual Rp 182 juta.

Hasil lelang itu disumbangkan kepada korban kekerasan di Aceh pada masa itu. Kritik-kritik tajam terhadap kemerosotan moral dan pergeseran nilai budaya juga tidak luput dari bidikan perupa Aceh itu. Realitas ini terekam dalam sebuah karya Mahdi berjudul Di Antara. Lukisan cat minyak ini menampilkan seorang perempuan menengok ke sebuah lukisan yang menggambarkan budaya modern.

Pada latar belakang perempuan berbaju tradisional itu berdiri, terlihat pemandangan gunung dan hamparan sawah. Pemandangan ini sangat berbeda dengan apa yang tergambar dalam lukisan yang dilihatnya. Ada wajah-wajah artis barat, Coca - Cola, Kentucky Fried Chiken, T-Shirt dan televisi yang tengah menampilkan seorang perempuan berpose seronok yang ditonton enam anak. Seorang perempuan berambut pirang juga terlihat berpose memakai celana jins dan penutup dada warna hitam, memamerkan perut.

"Perjalanan sejarah ada yang mulus dan ada yang tidak. Kita harus masuk di antara keduanya," ujar Mahdi yang mengaku tidak mengacu kepada satu aliran tertentu dalam melukis.

Pada sisi lain, Mahdi juga memotret kelamnya sejarah Aceh pada masa konflik. Gejolak jiwa itu terekam dalam karya berjudul “Yang Dijepit dan Yang Menjepit”. Dimana terlihat beberapa orang sedang antre berdiri saling terhimpit oleh dorongan sebuah sosok wayang dengan raut wajah seram. Sekilas potret itu mengembalikan sejarah Aceh yang penuh penderitaan selama didera konflik.

Di antara ratusan karya Mahdi, satu di antaranya kini berada di Belanda. Lukisan itu bercerita tentang sebuah masjid yang terhempas di atas gelombang saat tsunami menerjang Aceh. “Seseorang yang meminta lukisan itu dan sekarang ada di Belanda,” kata dia.

Dibalik kesuksesannya sebagai perupa yang punya nama besar, Mahdi kenal sebagai sosok yang low profile.

Ciri khas dia adalah menggunakan warna yang cerah. Ia tidak menyembunyikan fakta. Ia berkata apa adanya,” kata Taherman (60), seniman yang sudah bergelut di dunia lukis sejak 1972.

Lelaki ini karib Mahdi sejak mereka sama-sama tergabung dalam wadah Apelmud (apel pelukis muda) pada tahun 1980. Kedekatan Mahdi dengan orang-orang kecil juga diakui Taherman.

“Saya kagum. Dia itu memang jujur sekali dalam menyampaikan kejadian yang ada,” tuturnya.

Kurator seni ternama Indonesia Merwan Yusuf menilai, sosok Mahdi Abdullah bukan hanya sosok pelukis produktif, tapi juga sosok yang jujur dalam mencermati realitas. “Karya-karyanya sangat human interes. Ia cekatan merekam tentang apa yang terjadi di sekitarnya,” kata lelaki yang sudah 12 tahun tinggal di Prancis itu.

Merwan menilai, Mahdi adalah sosok perupa kreatif dan karyanya mudah dicerna. “Kalau kita melihat lukisannya kita tidak njlimet. Dia langsung to the point. Jadi tidak ada sampiran-sampiran,” katanya.

Lain halnya penilaian Aguswandi, seorang pengunjung yang mengatakan, Mahdi ibarat sedang melukis tentang Aceh. “Sisi yang tidak banyak muncul ke publik, tapi sangat kuat ditampilkan dalam lukisan itu. Orang Aceh harus menghargai dan mengakui apa yang dilakukannya,” kata Agus.

Tampaknya harapan itu masih tetap saja kosong. Sebab, dalam sebuah tulisan, Mahdi Abdullah mengimpikan adanya sebuah Galeri seni rupa di Aceh agar para seniman dapat lebih leluasa menyampaikan ide-idenya melalui even pameran. Gallery atau museum seni itu, menurutnya, diperuntukkan bagi karya-karya yang hidup. “Bukankah hidup itu singkat dan seni itu abadi,” ujarnya (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku