Hasan Tiro Muda yang Nasionalis

TIDAK seperti biasanya, dua hari belakangan ini rumah itu terlihat ramai. Di sebelah kirinya terlihat sebuah layar terpal dengan sejumlah kursi. Ada pula sajian nasi, gulai daging, dan sejumlah menu lainnya. Sejumlah wanita paruh baya dan lelaki tua tampak duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari papan. Tak jauh dari situ mengalir sebuah sungai yang di atasnya terdapat jembatan gantung.
"Di sinilah dulu Hasan Tiro bermain waktu kecil," kata Sayed Manysur. Lelaki 62 tahun itu adalah salah satu eks pejuang GAM pada era Hasan Tiro memimpin pemberontakan di Aceh usai mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunung Tjokkan (Halimon), 4 Desember 1976.
Mansyur tidak sendiri. Rabu (15/10) lalu, ia bersama beberapa karib seusianya berkumpul di rumah Pocut Aisyah, adik Hasan Tiro berlainan ibu. Rumah itu, tempat Hasan Tiro dibesarkan, terletak di Tanjong Bungong, Kecamatan Sakti, Pidie.
"Hari ini kami mendengar dia pulang ke kampung. Jadi kami ingin melihat. Sudah lama sekali tidak jumpa," kata Mansyur. Matanya menyiratkan rindu mendalam terhadap sosok sang Deklarator GAM itu.
Sejak kepulangan ke Aceh, Hasan Tiro memang ingin sekali saweu gampong. Salah satu orang yang ingin dia temui adalah Pocut Aisyah, adiknya dari lain yang ibu. Ternyata, keinginan itu dia wujudkan. Rabu lalu, Hasan Tiro Tiba memenuhi janjinya. Tidak hanya Aisyah yang berbahagia. Tapi juga teman-teman seperjuangannya, awak awai GAM juga lebih berbahagia. Mereka seolah larut dalam suasana kerinduan mendalam setelah 30 tahun tidak bertemu sejak Hasan Tiro mengasingkan diri ke luar negeri dan akhirnya bermukim di Swedia. Dalam literatur sejarah, Hasan Tiro ke luar Aceh pada 29 Maret 1979 setelah mendeklarasikan GAM. Sejak saat itu dia menjadi incaran serdadu Pemerintah Indonesia. Akhirnya, Hasan Tiro memutuskan untuk meninggalkan Aceh dan mengembara di beberapa negara (Amerika Serikat dan Libya). Terakhir, ia mendapat suka politik dari Pemerintah Swedia untuk menetap. Setelah 30 tahun berada di pengasingan, kini ia kembali ke Aceh, sejak 11 Oktober lalu. Di antara orang yang mendambakan kepulangannya adalah Mansyur, eks pejuang GAM yang ikut berjuang bersama Hasan Tiro.
Teguh prinsip
Sosok Hasan Tiro di mata teman-temanya, dikenal sebagai orang yang teguh mempertahankan prinsip. "Dulu kami pernah buat rapat di situ untuk membicarakan bagaimana kelanjutan dari perjuangan kami," kata Mansyur sambil menunjuk ke arah sebatang pohon sawo di depan rumah Aisyah. Tapi kini balee itu sudah tak ada lagi.
Satu hal yang tidak pernah dilupakan Mansyur selama berjuang bersama Hasan Tiro adalah ketika dia menjadi pembaca Nota Den Haag di depan para peserta rapat. Nota itu ditulis dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Aceh. "Saat itu saya membacanya dalam bahasa Aceh," ujarnya.
Namun, Mansyur tidak tidak menjelaskan apa isi dari nota tersebut yang, menurut pengakuannya, langsung dibawa Hasan Tiro dari Belanda saat itu. Waktu itu usianya sekitar 30 tahun. Hampir sebagian dari masa muda Hasan Tiro memang dihabiskan di Tanjong Bungong. Namun, tak banyak lagi sahabatnya yang kini masih hidup. Abu Azhari merupakan satu satu-satunya sahabat Hasan Tiro yang masih tersisa. Kini ia sudah berumur 86 tahun. Tiga tahun lebih tua dari Hasan Tiro.
"Waktu itu dia (Hasan Tiro) masih digendong ibunya. Sedangkan saya sudah bisa jalan," kata Azhari.
Para Rabu lalu, Azhari bergegas datang ke rumah Aisyah begitu mendengar Hasan Tiro pulang kampung di tanah kelahiranya, Tanjong Bungung. Azhari sempat merasa sedih saat Hasan Tiro memasuki rumah Aisyah. Di tengah penjagaan para pengawalnya yang superketat, Azhari mencoba untuk mendekati Hasan Tiro. "Saya mau bersalaman sama dia. Tapi tidak bisa, karena waktu saya hendak salam terhalang dengan orang banyak," kata Azhari yang fasih berbahasa Arab. Tapi keinginan Azhari untuk berjumpa Hasan Tiro akhrinya tercapai. Saat ia ingin bersalaman, Hasan Tiro sempat bertanya. "Siapa kamu," kata Hasan Tiro. "Saya Azhari," jawabnya. Hasan Tiro terlihat kaget. Setelah mengingat sebentar lantas dengan spontan berucap, "Azhari...Azhari...Azhari." Mantan suami Dora itu menggenggam tangan sahabatnya erat-erat. Rupanya ia masih mengenal wajah sahabat karibnya itu. Keduanya kemudian saling bersalaman. "Saya mau peluk dia, tapi akhirnya tidak jadi, karena tidak dikasih oleh pengawal," kata Azhari yang mengaku sangat lega bisa bertemu kembali di usia senja.
Percakapan antara Azhari dan Hasan Tiro itu berlangsung dalam bahasa Arab. Hasan Tiro memang menguasai beberapa bahasa. Sedangkan Azhari adalah seorang guru bahasa Arab. Kerinduan untuk bertemu Hasan Tiro itu ternyata sudah lama tersimpan di hati Azhari. Lelaki ini adalah satu-satunya teman sekolah Hasan Tiro semasa kecil. Waktu itu Azhari kelas enam, sedangkan Hasan Tiro kelas tujuh. Hasan Tiro kecil sangat hobi bermain bola. Azhari adalah salah satu teman bermainnya. Sejak tamat kelas enam, Azhari memilih jadi guru, sedangkan Hasan Tiro ke Bireuen melanjutkan sekolah atas biaya pemerintah. "Dia orang sangat pandai," kata Azhari.
Namun, sejak pergi ke Bireuen, dua sejawat itu tak pernah lagi bersua, kecuali 30 tahun kemudian, pada 15 Oktober 2008. "Saya senang sekali. Tidak ada yang saya pikirkan lagi sekarang," tuturnya.
Banyak menulis
Sejak kecil Hasan Tiro sosok yang brilian. Pada masa mudanya ia juga banyak menulis. Beberapa karyanya, antara lain, buku berjudul Drama and Legal Status of Acheh Sumatra. Selain itu ia juga menulis The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Hasan di Tiro. Buku setebal 226 halaman itu merupakan cacatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada 1976-1979. Di buku itulah ia menukilkan kepulangannya kembali ke Aceh pada 1976, setelah 25 tahun tinggal di Amerika Serikat. Namun, sosok Hasan Tiro tidak selamanya mengobarkan semangat perlawanan terhadap Pemerintah RI. Ia ternyata juga sosok yang sangat nasionalis. Beberapa literatur menyebutkan, pada masa remajanya Hasan Tiro pernah menjadi penggerek bendera Merah Putih, di sebuah tempat di Lamlo (dulu bernama Lamulo), tak jauh dari rumahnya.
Setelah itu ia merantau ke Bireuen dan Yogyakarta. Ia sempat menjadi orang kepercayaan Waperdam Sjafruddin Prawiranegara, lalu dikirim Pemerintah Indonesia menjadi staf Atase Penerangan di Kantor Peroetoesan Tetap Pemerintah Republik Indonesia (PTRI) di New York, AS.
Di kota tempat PBB bermarkas itu pula ia menamatkan program doktor pada Columbia University. Lalu, Hasan Tiro menerima penunjukan dirinya oleh Tgk Daud Beureueh (tokoh penggerak DI/TII) sebagai Duta Besar Darul Islam Aceh yang berkuasa penuh untuk PBB. Namun, Sekjen PBB menolak penyerahan mandat itu.
Hasan Tiro berkenan menerima mandat berisiko itu setelah ultimatumnya kepada petinggi Indonesia, Ali Sastroamidjojo, pada 1 September 1950, agar menindak serdadu yang menembaki 192 penduduk sipil di kawasan Pulot Cot Jeumpa, Aceh Besar, dan mengakui tindakan itu sebagai genosida, tidak digubris. Paspor diplomatiknya malah dicabut Ali Sastro.
Hasan Tiro sempat terkatung-katung sebagai sosok tanpa kewarganegaraan (stateless), sampai akhirnya ada dua senator AS yang menjamin dan membayar denda untuk menebusnya. Ia kemudian beroleh status permanent resident di New York.
Setelah "patah arang" dengan Pemerintah Indonesia, saat masih bermukim di Amerika Serikat, Hasan Tiro pun mengentalkan tekadnya untuk mendeklarasikan Aceh Merdeka. Ia kembali ke Aceh tahun 1975, dan setahun kemudian, setelah mendapatkan sejumlah pengikut, Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunung Halimon, Luengputu, Pidie, pada 4 Desember 1976.
Tak banyak yang tahu mengapa tanggal 4 Desember ia pilih sebagai tanggal proklamasi. Ternyata, untuk mengenang tanggal pemakaman Tgk Syaikh Ma'at Ditiro bin Tgk Mat Amin, cucu Tgk Chik Ditiro, yang meninggal pada 3 Desember 1911 akibat ditembak serdadu Belanda. Ma'at Ditiro mengikuti jejak ayahnya, Tgk Mat Amin, yang juga lebih memilih mati syahid (tahun 1896) ketimbang menyerah kepada penjajah, Belanda.
Artinya, hampir selalu ada alasan sejarah pada setiap tindakan Hasan Tiro. Dan, kini setelah 29 tahun mengembara di pengasingan, ia kembali berada di Tanjong Bungong, desa yang berjarak setengah hari perjalanan darat untuk tiba di Bukit Halimon, tempat ia dulunya mengukir sejarah yang kemudian berbuntut panjang. (anshari/yarmen dinamika)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku