Sang Penyuka Cola dari Tanjong Bungong
MATANYA menatap nanar. Sesekali ia melihat ke arah jendela pesawat. Di kabin pesawat, ia menempati seat (kursi) 1A. Di sebelahnya, duduk seorang pria setengah baya. Suara mesin pesawat yang membawa mereka terus menderu. Burung besi itu membelah awan di tengah cuaca cerah. Di atas ketinggian ribuan kaki, pesawat Firefly ATR 72-500 buatan Perancis itu mulai melintasi hamparan laut luas. Sekali lagi ia memalingkan wajahnya ke jendela pesawat. "Peu katrok u Aceh. (Apa sudah sampai di Aceh?)" ia bertanya kepada Malik Mahmud, pria yang duduk di sebelahnya. Lelaki yang bertanya itu adalah Dr Tgk Hasan Mumammad Ditiro, satu dari penumpang pesawat Firefly yang sedang dalam pernerbangan menuju Aceh. Tiro melemparkan pertanyaan itu kepada Malik Mahmud, ketika pesawat yang mereka tumpangi melintasi Selat Malaka. Dalam likur sejarah Aceh, Selat Malaka dikenal sebagai kawasan perairan yang sangat strategis. Ini karena, lokasi pelabuhan (bandar) Kerajaan Aceh dulunya tidak jauh dari Selat Malaka. Sehingga pada masanya, Aceh menjadi kerajaan yang sangat jaya di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan memiliki admiral laut yang sangat terkenal, seorang wanita, bernama Malahayati. Rentetan sejarah Aceh dan keberadaan Selat Malaka itu membuat Tgk Hasan Tiro tiba-tiba menangis. Ia menitikkan air matanya ketika perlahan pemandangan Selat Malaka dengan hamparan laut biru itu hilang dari jendela pesawat. Memorinya terbawa ke masa silam. Melihat Hasan Tiro menyeka pipinya yang dibasahi air mata, Malik Mahmud termangu. Kemudian, ia berucap, "Sudah Teungku. Kita sudah sampai di Aceh." Malik berusaha menghiburnya. Lantas Hasan Tiro pun berujar, "Cantek that nanggroe geutanyoe. (Elok sekali negeri kita)." Matanya terus menatap ke bawah melalui jendela pesawat. Hasan Tiro pun seolah tak ingin melepaskan pandangannya ke arah Selat Malaka. Hingga akhirnya, laut yang biru, perbukitan dan gunung dengan hutannya yang hijau berlalu dari pandangannya. Dari atas pesawat itu, ayah Karim dan duda Dora ini begitu memendam rasa rindunya kepada Aceh. Malik Mahmud yang menukilkan kisah ini saat ziarah di Makam Tgk Chik Ditiro di Desa Meurue, Indrapuri, Aceh Besar, Minggu (12/10) lalu, sempat terharu. ***Pada 11 Oktober 2008, Hasan Tiro bersama sejumlah petinggi GAM tiba di Aceh melalui Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM). Inilah kepulangannya yang pertama setelah sejak 29 tahun lalu meninggalkan Aceh. Sebelumnya, pada 4 Oktober 2008, Hasan Tiro bersama petingi GAM lainnya mendarat di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur setelah terbang dari Stockholm, Swedia, negeri tempatnya selama ini bermukim. Hasan Tiro sempat sempat ke luar-masuk hutan bergerilya bersama anggota organisasi yang dia dirikan, Aceh Merdeka (AM) pada 1976. Saat turun dari pesawat di Bandara SIM, ia disambut suara azan dan alunan seurune kalee. Ia juga sempat berteriak Allahuakbar tiga kali sebelum akhirnya sujud syukur di atas bentangan sajadah. Tiga perempuan, tampak terharu melihat itu. Satu di antaranya, Pocut Sariwati. Ia mendekati Tgk Hasan Tiro. Kemudian mengalungkan bunga kepadanya. Keduanya saling bersalaman. Suasana begitu haru. Hasan Tiro pun menangis. Pocut Sariwati merupakan istri almarhum Muhmmad Usman Lampoh Awe, salah seorang mantan juru runding yang juga mantan meuntro Pheng GAM. Kepulangannya kali ini memang pantas dicatat dalam sejarah. Karena inilah untuk pertama kalinya Hasan Tiro mengunjungi kampung halaman yang hampir 29 tahun lalu ia tinggalkan. Di usianya yang 83 tahun, Tiro masih terlihat seperti masa mudanya. Ia masih mengenakan stelan jas, berdasi merah marun, dan berkaca mata. Walau geraknya tak lagi begitu gesit, tapi ia masih mampu berjalan sendiri. Namun, pembantu pribadi dan dua orang kepercayaannya, dr Zaini Abdullah serta Malik Mahmud selalu setia mendampingi, dan terkadang menggamit kedua tangannya saat berjalan. Minggu (12/10) lalu adalah hari kedua Hasan Muhammad Ditiro berada di Banda Aceh. Ia sempat mengunjungi beberapa tempat. Termasuk makam Sultan Iskandar Muda, makam Tgk Syiah Kuala, dan makam Tgk Chik Ditiro di Indrapuri. Tidak seperti biasanya, di kompleks makam Tgk Chik Ditiro, deklarator GAM itu dijamu makan siang. Berbagai menu tersaji di depannya: Ada telur, gulai nangka, daging rendang, daging ayam, buah semangka, timphan --lepat khas Aceh rasa manis di dalamnya ada serikaya-- dan sejumlah menu lainnya. Zaini Abdullah menyodorkan sepiring nasi putih kepada Hasan Tiro. Ia mengambilnya. Juga ada garpu dan pisau yang dibalut serbet. Lalu Tiro membukanya. Dengan garpu itu, ia membelah nasi dalam piring itu menjadi tiga bagian. Zaini kemudian menawarinya gulai nangka. Tapi ia hanya mengambil sepotong daging. Ketika makan siang itu, Hasan Tiro diapit Zaini Abdullah, Malik Mahmud, Ketua KPA Muzakkir Manaf, bekas menteri Pertahanan GAM, Zakaria Saman, serta Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Hasan Tiro kemudian terlihat menunjuk ke arah piring berisi telur di depannya. Zaini yang berda di sisi kirinya mengambil sebelah telur dan meletakkannya di atas piring. Namun, ia hanya bisa menghabiskan sedikit saja satu dari tiga bagian nasi yang telah ia bagi tiga. Ia terlihat lebih banyak menenggak Coca-Cola yang terhidang di depannya. Beberapa kali Zaini harus menuangkan minuman bersoda itu ke sebuah gelas putih. Hasan Tiro sempat menolak beberapa kali tawaran Zaini. Bahkan ketika ia menawarkan daging rendang kepadanya. "No...no..," katanya. Hasan Tiro malah meminta Zaini menuangkan lagi Coca-Cola dalam gelas hingga satu kaleng Coca-Cola yang berada di depannya habis. Sepertinya, Hasan Tiro tampak sangat menikmati soft drink yang awalnya dicipta di Amerika Serikat (AS) itu. Tapi jangan heran, sebab pada awal 50-an Hasan Tiro sudah menetap di Amerika, tepatnya di New York, tempat PBB bermarkas. Kabarnya, ia baru meninggalkan AS pada tahun 1984, untuk hijrah sebentar ke Libya, dan seterusnya menetap di Swedia.Begitulah. Dan di sela-sela bersantap siang, Minggu lalu, tokoh GAM itu ternyata mampu menghabiskan dua kaleng Cola-Cola. Tapi Tgk Hasan Tiro tidak meminumnya sekaligus, melainkan satu kaleng setengah itu dia habiskan dalam 69 kali tegukan. Setengah kaleng cola lainnya ia minum saat berlangsung acara sambutan, sebelum makan siang. Menurut pembantu khusus Hasan Tiro, Muzakkir Abdul Hamid, cola merupakan minuman paling disukai pria kelahiran Tanjong Bungong, Kecamatan Sakti, Pidie, 83 tahun lalu itu. "Di Swedia juga begitu. Wali sangat suka cola," kata adik ipar dr Zaini Abdullah yang sudah sepuluh tahun tinggal di Swedia. Hasan Tiro, menurut Muzakkir, merupakan sosok yang terbuka alias moderat. Begitu pula soal makanan. "Wali tidak cerewet kalau soal makan," kata dia. Menurut Muzakkir, ia sudah menjadi pembantu khusus Hasan Tiro sejak 1998. Meski sudah berusia 83 tahun, Hasan Tiro setiap hari bangun lebih pagi dan masih mengikuti berbagai perkembangan tentang Aceh melalui media massa. Termasuk ketika Pemerintah RI-GAM terlibat dalam perundingan damai di Helsinki, Finlandia. Segala sesuatu yang diputuskan GAM lebih dulu mendapat restu dari Hasan Tiro. Satu ucapan yang selalu terdengar dari mulut doktor jebolan Columbia University, AS, itu yakni thank you. Saat di Banda Aceh pun itu dia ucapkan dalam berbagai kesempatan, baik kepada orang yang bertemu dengannya maupun kepada wartawan. (anshari)
Terima kasih untuk cerita ini. Saya mendapat info baru soal kegemaran Hasan Tiro terhadap Coca Cola.
BalasHapus