Sesmenko Polhukam: Kriminal di Aceh Bernuansa Politis

Meningkatnya eskalasi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) menjelang pemilu 2009 di Aceh mendapat respon dari pemerintah pusat.
Sekeretaris Menko Polhukam Letjend TNI Romulo R Simbolon mengatakan

selain kriminal murni, berbagai kasus kekerasan di Aceh yang belakangan ini terjadi juga terindikasi bernuansa politis.
Namun dalam penanganannya, pemerintah tetap menganggap gangguan keamanan menjelang pemilu itu bagian dari kasus kriminal.
“Karena ini menyangkut pembakaran kantor dari parlok tertentu, atau pengranat (kantor-red) kepada parnas tertentu, penembakan dari personil organisasi tertentu. Terhadap hal ini tidak ada pilihan lain, bahwa ini adalah tindakan kriminal, meskipun bernuansa politis,” kata Letjend TNI Rumolo R Simbolon.
Hal itu dikemukakan Simbolon dihadapan Gubernur Irwandi Yusuf, Wagub, Ketua DPRA Pangdam Iskandar Muda, Wakolpolda dan tim dari Menkopolhukam saat berlangsung forum pertemuan dalam rangka kunjungan kerja tim Menkopolhukam di Banda Aceh, Kamis.
Dia sebutkan, menyikapi situasi politik dan keamanan di Aceh yang cenderung meningkat itu, semua pihak diminta tidak terpancing dan larut dalam saling tuding, terkait siapa yang mendalangi berbagai aksi kekerasan di Aceh.
“Kalau kita keluar dari rambu ini, maka yang ada hanya tuduh menuduh, fitnah menfitnah, curiga mencurigai. Akhirnya suasana menjadi tidak kondusif,” katanya.
Dia sebutkan, berbagai aksi kekerasan itu harus ditempatkan sebagai pelaku kriminal.
“Kita tempat itu sebagai pelaku kriminal. Yang ditembak siapa pun yang dibakar siapa pun, yang digranat siapa pun, dari manapun, dari pihak siapa pun. (Kita) tidak pandang bulu. Pelaku kriminal harus ditindak dan hukum harus ditegakkan. Jangan saling memusuhi, karena nuansa itu sudah sampai ke Jakarta,” tegasnya.
Dia akuinya, banyak kekerasaan itu belum terungkap segalanya. Termasuk berbagai kasus yang mengarah pada tindak peidana pemilu, seperti pembakaran dan perusakan atirbt parpol.
Polisi, kata dia, telah berupaya, namun gerak polisi sangat terbatas, tanpa didukung masyarakat.
Simbolon menyebutkan, pemilu hanya bagian dari sistem demokrasi untuk memilih pemimpin, bukan untuk memecah belah dan membuat permusuhan.
Pemerintah, kata Simbolon, tidaik pernah mengeluarkan kebijakan yang bersifat negatif terhadap penayelenggaraan pemilu di Aceh. Termasuk TNI, akan tetap memegang prinsip netral, tidak terlibat dalam politik praktis.
Menurutnya, terkait berbagai aksi yang mengarah pada pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu pemerintah sudah mengambil sikap jelas.
Bahwa saat ini, telah ada sekepakatan bersama tripartit antara Polri, Bawaslu dan Kejaksaan Agung untuk mengawasi jalannya pemilu. Kerjasama ini bersifat hirarki hingga ke kabupaten kota yang dilakukan dalam bentuk pengawasan gugus tugas terpadu.
Dia mengakui, untuk menjalankan tugas ini diperlukan keterlibat masyarakat. Panwaslu juga harus didibantu secara aktif oleh kejaksaan dan polisi.
“Kejasaan dan polisi jangan tunggu bola. Harus turun bersama ke lapangan. Apakah ada daerah tertentu yang katanya tidak boleh dimasuki oleh partai selain partai tertentu, panwaslu bisa mengambil langkah bersama aparat. Tidak ada demokrasi seluruhnya, selain semua partai baik lokal, maupun parnas punya hak untuk berkampanye,” katanya.

Pemantau Asing

Sementara itu, pada bagian laian Simbolon menjelaskan, untuk pelaksanaan pemilu 2009 di Aceh, pemerintah tidak menempatkan pemantau asing khusus untuk Aceh. Tapi keberadaan pemantau asing di Indonesia bersifat nasional.
Pelaksaan pemilu 2009, kata dia berbeda dengan pemilihan kepala daerah Aceh pada 2006.
“Dalam konteks pemilu 2009 sama dengan pemilu 2004, kalau pun ada pemantau asing itu dalam konteks nasional, tidak ada pemantau asing khusus Aceh, pematau asing khusus Maluku, untuk Ambon. Tapi dalam konteks nasional,” tegasnya.
Dia sebutkan pada Pilkada 2006, khusus untuk Aceh pemerintah membuka akses untuk pemantau asing sebab saat itu Aceh masih dalam proses menjalankan program perdamaian dan memlilih pemimpin untuk pertama kali pasca MoU Helsinki.
“Tapi sekarang kita sudah sama tegak berdiri. Jadi kalau pun ada, pemantau asing itu hanya dalam konteks nasional untuk melihat pelaksaan demokrasi di Indonesia,” katanya.
Simbolon menyebutkan, Panwaslu dilinai lembaga paling berwenang untuk mengawasi jalannya pemilu dan memiliki beberapa kewenangan yang diatur dalam undang-undang.
Sedangkan pematau asing sifatnya hanya menyatakan pendapat umum, tidak memiliki sanksi hukum dan bewenang mengawasi.
Namun, kata dia, hingga kemarin pemerintah RI belum menerima ada informasi akan adanya pemantau asing yang masuk Indonesia untuk memantau pemilu.

Paparkan situasi

Pada forum yang sama, Gubenur Inwandi Yusuf memaparkan berbagai perkembangan situasi politik dan keamanan Aceh menjelang pemilu 2009.
Gubenur menegaskan, dalam beberapa bulan terakhir ada kencenderungan ganggung kamtibmas di Aceh meninggkat. Hal ini ditandai dengan rententan kasus kekerasan terhadap partai politik, seperti kasus pengranatan dan pembakaran kantor partai, pembakaran atribut parpol hingga kasus penembakan terhadap masyarakat sipil.
“Ada indikasi kalau berbagai kekerasan ini bertendensi politis,” katanya. (sar)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku