Gigihnya Para Pemburu Darah

TAK banyak yang dapat dia lakukan selain duduk menunggu. Wajahnya terlihat lelah, tatapannya kosong. Ia galau dan harap-harap cemas menanti sekantong darah untuk anaknya. Susianti, ibu muda dengan dua anak ini, sudah menghabiskan waktu berjam-jam di ruang Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Banda Aceh di kawasan Lampineung. “Sejak pagi saya sudah di sini. Tapi belum dapat juga. Katanya disuruh tunggu, ada donor yang akan datang,” kata wanita berkulit kuning langsat ini. Nada bicaranya tak bersemangat. Pikirannya tak tenang. Antara cemas dan gelisah. “Saya teringat anak. Tadi sudah saya jenguk sebentar. Tapi sekarang sudah harus balik lagi ke sini,” ujarnya. Susianti (30), wanita asal Lamlo, Pidie, adalah ibu dari M Agus Saputra (10). Ia satu satu ibu dari 170 anak penderita talasemia yang rutin transfusi daerah di Pusat Talasemia Center Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh. Talasemia adalah penyakit kelainan darah turunan yang ditandai oleh adanya sel darah merah yang abnormal. Saat ditemui Serambi, Selasa (21/5) lalu, Susianti sedang menunggu seseorang yang mendonorkan darah untuk anaknya. Hari itu PMI tak punya stok golongan darah A. Agus Saputra butuh dua kantong. Satu kantong sudah terpakai. Satu lagi masih dalam proses pencarian. Susianti kebingungan. Lalu ia datangi UTD PMI Banda Aceh. Baru sekitar pukul 15.00 WIB sekantong darah yang dia cari tersedia dari seorang lelaki muda. “Ini yang kedua kalinya (transfusi),” kata Susanti. Bola matanya berkaca-kaca. Antara sedih campur haru setelah mendapat kabar kebutuhan darah anaknya terpenuhi. Susanti merupakan satu di antara banyak potret masyarakat Aceh yang butuh darah. Ia menggantungkan hidup anaknya kepada para donor yang berhati mulia. “Sekarang ada 170 pasien talasemia yang menggantungkan hidup mereka dari para donor. Mereka rutin harus tranfusi darah di Talasemia Center RSUZA,” kata Nurjannah Husein. Wanita kelahiran Lhok Kruet, Aceh Jaya, 24 April 1970 ini adalah sosok lain di balik cerita para pemburu darah di Aceh. Kebutuhan darah terhadap Agus Saputra tidak terlepas dari peran wanita berkacama mata ini. Ia yang mencarikan “lelaki muda” itu sebagai donor untuk Agus Saputra. Bersama sekitar 15 relawan lainnya di bawah komunitas Darah untuk Aceh (DUA), ia membangun sebuah jaringan berbasis partisipatif. Info tentang kebutuhan darah bagi siapa yang membutuhkan bisa teratasi lewat tangan dingin Nurjannah bersama para relawan DUA. Komunitas DUA lahir pada 24 April 2012. Terinspirasi dari pengalaman pribadi Nurjannah. Ketika itu ibunya sakit dan butuh darah. Nurjannah berusaha mencari donor yang tak lain adalah teman-temannya sendiri. “Dengan banyak kenalan begitu saya bisa mudah mendapatkannya. Tapi sebaliknya, saya lihat ada banyak orang di PMI kesulitan memperolehnya,” kata wanita yang kerap disapa Nunu. Dalam perjalanan selanjutnya, DUA kemudian lebih intens men-support kebutuhan darah untuk 170 pasien talasemia bekerja sama dengan PMI Banda Aceh. Tapi setiap permintaan darah pasien tak selalu berjalan mulus. Ada pasien yang butuh golongan (rhesus) darah yang tak tersedia di PMI. Jika begini, maka terpaksa harus mendatangkan blooder (pendonor). Maka, perburuan blooder pun dimulai. Nunu bersama relawan menelepon ke sana-kemari. Termasuk mendata satu per satu dari 700 donor tetap di kumunitas DUA. Tak hanya itu, gerilya di dunia maya pun dilakukan. Termasuk men-tweet pengumuman lewat twitter (@DarahUntukAceh) dan blackberry messenger. Seringkali, ternyata donor yang diburu ditemukan lewat jejaring sosial. “Si donor menelepon kita. Kita minta dia datang ke PMI. Selanjutnya kita fasilitasi untuk proses pengambilan darah,” jelas Nunu. Tak cuma sampai di situ. Keluarga pasien juga difasilitasi bertemu dengan donor agar terjadi ikatan emosional. Langkah selanjutnya adalah mendaftarkan si donor menjadi penyumbang darah tetap atau lebih populer dengan sebutan “kakak asuh” untuk si pasien. Setiap tiga bulan sekali darahnya diambil, untuk digunakan si pasien. Biasanya kasus seperti ini sering terjadi pada pasien talasemia. Maka saat ini komunitas DUA mulai gencar mengampanyekan 10 for 1 thalasemia. Artinya, sepuluh donor untuk satu pasien talasemia. Mereka akan diambil darahnya tiga bulan sekali untuk si pasein bersangkutan sampai kapan pun. Sedangkan satu lainnya sebagai cadangan. “Sekarang ada 170 pasien talasemia yang rutin butuh transfusi darah. Artinya, kita butuh 1.700 donor tetap bagi mereka. Sekarang baru ada 700 orang, kurang dari 50 persen,” ujar Nunu, pendiri Komunitas DUA. Tak dipungkiri, selain untuk pasien umum, kebutuhan darah untuk pasien talasemia menempati urutan tertinggi. Sejumlah pasien talasemia butuh tiga kantong darah setiap bulan. Perkiraannya dengan adanya 1.700 donor tetap, maka kebutuhan daerah pasien bisa teratasi. “Sekarang kami terus mengampanyekan ini agar masyarakat juga bisa lebih peduli sesama. Ini demi kemanusian, demi kelanjutan hidup mereka,” kata Nunu. Sebagian dari pasien, kata Nunu, keluarga miskin. “Bayangkan mereka harus bolak-balik ke Banda Aceh. Bagaimana kalau darah yang mereka butuhkan tak ada. Miris kan?” tuturnya. Koordinator Bagian Pelayanan Darah PMI Banda Aceh, Farah Diba mengatakan ada sekitar 2.500-3.000 kantong darah setiap bulan terpakai, termasuk untuk permintaan sejumlah rumah sakit. Dari jumlah ini PMI hanya mampu menyediakan sekitar 60 persen dari kebutuhan. “Kami ajak semua kita menjadi donor. Sekantong darah itu bisa menyelamatkan tiga nyawa,” ujarnya. (ansari hasyim)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan