"Ini Aceh Pak, Banyak Masalahnya"

SIANG kemarin sekitar pukul 14.30 WIB, hawa dingin ruang utama Pendapa Gubernur Aceh, begitu menusuk. Embusan air conditioner (AC) di beberapa sudut ruangan 'membekukan' kulit. Seorang pria merebahkan bahunya di atas sofa empuk, sambil menarik napas panjang. "Inilah Aceh. Banyak masalahnya, Pak," kata pria itu kepada seorang lelaki di samping kanannya. Pria itu adalah dr Zaini Abdullah. Ia berbicara kepada lelaki di sampingnya, Sujatmiko, Duta Besar RI untuk Sudan. Kemarin, Sujatmiko menemui Zaini selaku Gubernur Aceh. Mereka berdua bertemu di pendapa. Sejumlah pejabat dan kepala dinas ikut hadir. Kedatangan Sujatmiko menemui orang nomor satu di Aceh itu semula lebih untuk bersilaturahmi. Ia ingin mempromosikan Aceh ke Sudan, negara berpenduduk 42 juta jiwa itu. "Kalau Aceh sering disebut Serambi Mekkah. Tapi kalau di Sudan Serambi Mekkah-nya adalah Afrika," kata Sujatmiko. Gubernur tersenyum mendengar itu. "Iya," kata Zaini mengangguk. Tatapan matanya kosong. Sementara jari-jarinya semakin liar bergerakgerak menggenggam botol air mineral di pangkuannya. Seperti ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Pembicaraan keduanya terus mengalir. Suasana pertemuan mencair. Obrolan mereka makin intens. Tidak saja membicarakan soal isu kopi Aceh, kayu cedana, dan nilam yang bakal diperkenalkan Sujatmiko ke Sudan. Tapi mulai "menyerempet" ke isu politik. Zaini Abdullah juga dikenal sebagai mantan menteri Luar Negeri GAM. Ia lahir di Beureunun, Kabupaten Pidie, pada 24 April 1940 silam. Sekarang usianya sudah 73 tahun. Sekitar tahun 1981 Zaini hijrah ke luar negeri saat Pemerintah RI menggelar operasi militer di Aceh. Ia mengasingkan diri ke Stockholm, Swedia, bersama deklarator GAM Hasan Tiro. Tahun 2012 ia kembali ke Aceh bersama Hasan Tiro (alm), setelah Aceh berdamai dengan RI. Ia pun diusung njadi calon gubernur dari kalangan GAM dan menang. "Sebernarnya saya tak mau lagi (dicalonkan). Sejak tahun 76 saya sudah berjuang. Tapi karena mengingat ini amanah, saya harus meluruskannya," kata Zaini. Matanya menerawang. Sesekali menoleh ke arah lelaki di sampingnya, Sujatmiko. Zaini tahu betul apa yang harus dilakukannya sebagai gubernur besutan Partai Aceh. Ia hendak mewujudkan cita-cita MoU Helsinki. Tapi ia menyimpan kekhawatiran. Pemerintah SBY sekarang dianggap sudah tak jujur lagi. "Aceh mau kejujuran dan keikhlasan. Aceh tidak lagi menuntut merdeka. Sekarang sudah NKRI semuanya. Tapi sekarang semuanya dicurigai," katanya kepada Sujatmiko. Lelaki berjas dan berkacamata ini hanya diam sejenak. Lalu menimpali, "Kenapa Bapak tidak mengatakan itu kepada pemerintah?" "Sudah. Sudah berkali-kali saya sampaikan. Tapi tidak ada..." Zaini tak melanjutkan kata-katanya. Suasana pertemuan terasa hening. Tapi pembicaraan terus berlanjut. Kali ini menyinggung soal bendera Aceh. "Bapak tahu, banyak sekali masalah di Aceh. Sekarang yang lagi masalah itu soal bendera. Seharusnya ini persoalan yang tidak substantif. Tapi pemerintah mempersoalkannya," kata Zaini. Dokter jebolan USU ini merasa tak habis pikir dengan sikap keras pemerintah pusat. Semestinya pemerintah tak perlu mempersoalkan lagi bendera Aceh, karena itu hanya akan membuang energi. "Itu hanya bendera Aceh, bukan yang lain. Bendera kadaulatan itu adalah Merah Putih," tuturnya. "Tapi bendera Aceh itu sama ya dengan bendera partai," kata Sujatmiko agak sedikit bingung. "Tidak, ooo... tidak sama. Kalau bendera partai tidak ada bulan bintangnya," Zaini coba menjelaskan. Sujatmiko kemudian paham. Lalu Zaini bercerita tentang bagaimana kondisi sesungguhnya soal bendera ini. Menurutnya, ia bersama tim Pemerintah Aceh sudah 'mati-matian' berjuang. Sampai pembahasan terakhir turut dihadiri Mendagri. Tapi pemerintah pusat tetap menolak bentuk bendera Aceh yang mirip dengan bendera GAM itu. Pertemuan antara tim Aceh dan pemerintah pusat ini berjalan alot hingga tengah malam. Sampai akhirnya Zaini harus angkat bicara dalam forum yang berlangsung di Jakarta itu. "Saya di sini bukan gubernur. Tapi anggap saya ini sebagai orang yang dituakan. Saya lebih tua dari Mendagri. Jadi tolong, tolong dengarkan saya," cerita Zaini. "Hampir saja Mendagri membatalkan Qanun Bendera," ujarnya melanjutkan. Di akhir pertemuan, katanya, sempat samar-samar terdengar tim Aceh walk out dari ruangan pertemuan. Zaini tak begitu jelas mengatakan kata 'walk out' karena suaranya terdengar samarsama. Sampai akhirnya kedua belah pihak sepakat cooling-down. Tidak ada kata sepakat dan tidak ada pembahasan lanjutan. Semua yang hadir terdiam dengan reaksi Zaini secara spontan itu. "Di Menkopolhukam mereka lebih lunak, meski mereka militer. Tapi di Kemendagri mereka lebih (keras)," banding Zaini. Ia juga mengungkapkan bendera Aceh yang sebelumnya dia kenal adalah yang di depannya ada pedang ('alam peudueng). "Saya senang dengan bendera yang seperti itu, yang ada pedangnya," ujarnya sambil menunjuk ke lukisan di dinding ruang pertemuan. Tapi, DPR Aceh sebagai representasi rakyat Aceh telah menetapkan bendera yang berbeda. Zaini mengaku mendukungnya. Hanya saja pemerintah pusat yang tidak memahaminya. Padahal, kata Zaini, soal bendera menjadi kewenangan penuh rakyat Aceh. "Betapa besar sumbangan Aceh kepada RI sejak Soekarno. Tapi feedback-nya apa, selalu dicurigai. Sebetulnya saya ingin bicara dari hati ke hati. Aceh bukan lagi separatis, sudah dalam NKRI," tutur Zaini. "Tapi kenapa Pak tidak top down saja. Misalkan, bicara ke Presiden dulu, lalu nanti kan ada garis komandonya," saran Sujatmiko. "Itu sudah kita lakukan," jawab Zaini. Tapi tampaknya Zaini belum puas dengan kebijakan SBY. Sementara dia berharap semua persoalan Aceh bisa diselesaikan pada masa Pemerintah SBY. "Kalau SBY tak ada lagi, akan muncul persoalan baru. Dan kita akan bertengkar lagi," jelas Zaini. Mendengar itu, Sujatmiko hanya terdiam. (ansari hasyim)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan