Lara Warga Negeri Antara (1)

Lara Warga Negeri Antara (1) 
*Dulu Bersama Keluarga, Kini Bersama di Tenda MALIKI tak pernah menyangka, gempa 6,2 SR yang mengguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah, Selasa (2/7) lalu, telah mengubah hidupnya. Lelaki itu kini menjalani hari-harinya di bawah tenda seadanya di kaki bukit Desa Bah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah.

Desa berjarak 50 kilometer dari Takengon ini ikut diguncang gempa. Empat anak di desa itu ditemukan tewas tertimbun tebing bukit yang longsor. “Seminggu terakhir dia ingin tidur sama ine (ibu). Padahal, dia sering bersama kakek dan bibinya,” kata Maliki tentang anaknya kepada Serambi yang memasuki Desa Bah, Sabtu (6/7) lalu, empat hari pascagempa. Ia tak kuat menahan tangis saat mengisahkan hari-hari terakhir perpisahan dengan anaknya. 

Rian (10), sang anak, diketahui hilang setelah anak-anak lain yang ikut mandi bersamanya sudah pulang ke rumah sore hari setelah gempa. “Sampai magrib kami tunggu juga tidak pulang. Dua hari kemudian barulah ditemukan,” ujarnya. Tidak hanya kehilangan Rian, Maliki juga kehilangan rumahnya yang rusak parah dan tak dapat ditempati lagi. Bersama sejumlah kepala keluarga lainnya, mereka mengungsi dengan membuat tenda seadanya di pinggir jalan masuk desa itu. Warga sudah menempatinya sehari setelah gempa merubuhkan rumah-rumah di kampung itu. 

Tenda tersebut berdiri darurat ditopang batang bambu beralaskan tanah dilapisi tikar dan berlangitkan terpal. Di tenda itu, Maliki tinggal bersama istrinya Syamsiah (33) dan dua anaknya Agus (5) dan Salbila (10 bulan). Tenda seluas 3 x 5 meter itu juga ditempati tujuh kepala keluarga. Kondisinya berdesakan. Rasa trauma akibat gempa masih membekas di ingatan warga Desa Bah. Banyak rumah di desa itu rubuh dan retak. Kini banyak warga yang mendirikan tenda karena takut kembali ke rumah yang sebagiannya sudah ambruk dan retak-retak parah.

Warga setempat juga kesulitan air bersih setelah instalasi pipa ke bak penampung air di desa itu rusak. Warga bertahan dengan memanfaatkan air gunung yang mengalir dari sungai. Kondisi di tenda yang kala siang disengat panas matahari dan malam ditusuk dinginnya angin pegunungan membuat sejumlah balita ikut merasakan dampaknya. “Anak saya sudah tiga hari demam,” kata Ali Sadikin (25), warga Desa Bah. Ia tinggal bersama anaknya yang masih berusia tiga tahun dan istrinya Rusnawati (22).

Musibah gempa yang mengguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah juga mengubah suasana penyambutan bulan Suci Ramadhan tahun ini. Bila tahun lalu warga menyambutnya dengan suka cita, namun kali ini sudah dipastikan akan berbeda. Sahur dan buka puasa akan mereka jalani di tenda-tenda pengungsian. Serambi yang menyambangi beberapa desa dalam Kecamatan Ketol dan Kutepanang, Senin (8/7) lalu, mendapati warga yang rumahnya rusak mulai berbenah.

Mereka mendirikan gubuk seadanya di bekas tanah rumah yang ambruk. Gubuk-gubuk seadanya itu dijadikan warga sebagai hunian sementara (huntara). Selain terkonsentrasi di posko pengungsian, banyak juga warga korban gempa yang tidak mengungsi. Mereka lebih berinisiatif mendirikan ‘rumah darurat’ di bekas atau di samping halaman rumah yang ambruk. “Cuma bisa begini. Ini yang tertinggal. Puasa juga akan tetap di sini,” kata Sumarni (47), warga Desa Timang Rasa, Kecamatan Kutepanang. Rumah yang ditempati wanita itu amblas ke dasar bukit. emua barang dalam rumah dan kayu nyaris tidak tersisa. “Masih banyak barang di bawah sana belum lagi diambil,” ujarnya. Saat ditemui Serambi, suaminya, Ibrahim (60), sedang membuat ubuk seadanya bagi keluarga ini menyambut puasa. Di rumah itu Sumarni tinggal bersama anaknya, Syuhada (26) dan Masniar (24). Kerusakan rumah akibat gempa di Kecamatan Kutepanang tidak kalah parah dengan yang dialami warga di Blang Mancung, Kecamatan Ketol. Desa-desa yang ikut terkena dampak gempa di Kecamatan Kutepanang di antaranya Buket Rata, Timang Rasa, Pantan Jerik, Lukop Sabun, Sabun Barat, Abun Tengah, Tawar Miko, Tawardi, dan Ratawali. “Sekalipun ada rumah masih berdiri, tapi penduduknya tidak berani lagi tinggal, karena sudah retak,” kata Zainuddin (43), warga Buket Rata. Suasana berbeda juga dirasakan Saudah (78), warga Desa Selun, Kecamatan Ketol. Rumah ibu ini runtuh, hanya tersisa puing. Saudah kini bersama lima anaknya tinggal di tenda darurat di samping bekas rumahnya yang hancur. Saat ditemui Serambi, sisa kayu bekas rumahnya sudah dicopot untuk membangun sebuah gubuk, untuk menyambut puasa. Meskipun puasa Rabu hari ini (10/7) dimulai, namun warga tetap antusias menyambut. Setidaknya ini terlihat dari semangat warga Geulumpang Payung, Kecamatan Ketol, yang ditemui Serambi kemarin. Warga desa di atas gunung ini mendapat bantuan seekor sapi dari pemerintah untuk persiapan tradisi meugang. Daging sapi itu dibagi untuk sesama korban yang mengungsi di sebuah barak di desa itu. “Meskipun musibah, tapi meugang harus tetap ada. Memang ada sedikit suasana berbeda. Dulu masing-masing kita puasanya di dalam rumah, tapi sekarang sudah ngumpul bersama di tenda,” kata Yumadi, (32) dengan suara tercekat. (ansari hasyim)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan