Lara Warga Negeri Antara (2-Habis)

Lara Warga Negeri Antara (2-Habis) * Bertahan Bersama Dinginnya Malam SIANG itu langit di atas Kecamatan Wih Pesam, Bener Meriah mendung, disertai rintik hujan. Udara dingin dengan temperatur sekitar 14 derajat Celsius, sesekali menusuk pori-pori kulit. Rafi Nasri, balita berusia 2,5 tahun itu tertidur pulas. Selimut tebal membalut tubuh mungilnya dalam ayunan. “Tadi malam hujan di sini. Si Adek kedinginan,” kata Marlina (30), ibunda Rafi. Wanita ini menyelimuti tubuh Rafi hingga yang kelihatan wajahnya saja. Marlina melakukannya agar balita itu terlindung dari dinginnya embusan angin pegunungan yang masuk ke tenda pengungsi. Sejak delapan hari lalu, ia bersama anaknya tinggal di tenda Posko Pengungsian Desa Suka Ramai, Kecamatan Wih Pesam, Bener Meriah. Bersamanya juga ada 17 kepala keluarga lain yang memilih mengungsi setelah rumah mereka ambruk dan rusak parah diguncang gempa 6,2 SR, Selasa (2/7) lalu. Saat Serambi yang menyambangi kamp pengungsian itu Selasa (7/7) lalu, mendapati sejumlah barang dan pakaian tampak basah di jemuran. Tenda darurat dari terpal pastik beralaskan tikar seadanya yang di tempati Marlina bocor. Air hujan merembes masuk ke dalam. Marlina bersama pengungsi lainnya tak bisa tidur malam itu. Barang-barang dalam tenda basah. “Banyak baju yang basah kena hujan,” ujar Saini (35), seorang pengungsi lainnya. Di posko pengungsian Desa Suka Ramai terdapat 47 KK. Di antaranya juga terdapat 21 balita, 22 lansia, dan dua ibu hamil. Warga juga membuka satu dapur umum untuk memenuhi kebutuhan makan selama di pengungsian. Sehari setelah pengungsi berjibaku dengan hujan, Dinas Sosial setempat paginya mengirimkan tenda dalam ukuran besar untuk ditempati pengungsi. Gempa Selasa (2/7) lalu juga mengakibatkan banyak rumah dan fasilitas publik di Bener Meriah rusak. Sebanyak 8 dari 233 desa di kabupaten itu mengalami dampak langsung gempa yang juga menguncang Aceh Tengah. Sembilan orang dinyatakan meninggal. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terdapat 2.265 pengungsi tersebar di sejumlah titik. Sebanyak 2.057 unit rumah rusak dengan rincian 662 unit rusak berat, 311 rusak sedang, dan 1.184 rusak ringan. Saini adalah satu di antara korban yang rumahnya tak layak huni lagi pascagempa terjadi. Ibu ini memilih tinggal di kamp pengungsian karena tidak ada pilihan lain. “Kalau pulang ke rumah tidak mungkin lagi. Kami sudah takut. Dindingnya sudah retak-retak,” katanya. Wanita ini mengungsi bersama suami Paino (40), dan dua anaknya Ariono (16) dan Rahmadsyah (10). Hari-hari di pengungsian dilalui Saini bersama pengungsi lainya dalam kondisi seadanya. “Kalau malam di sini dingin sekali. Kadang harus pakai selimut yang tebal,” ujarnya. Dinginnya udara malam juga ikut dirasakan 12 balita di kamp pengungsian itu. Salah satunya Riska Roslia (3). Anak pasangan Murniati (30) dan Zakaria (35) ini terpaksa dibawa serta ikut mengungsi karena tak punya tempat tinggal lain. Rumah mereka rusak parah diguncang gempa. “Sudah banyak retak-retak. Tak mungkin bisa kita tinggal lagi,” katanya. Pada malam hari, suhu di Bener Meriah yang bertipografi daerah pegunungan bisa mencapai14 derajat celcius. Karena itu banyak pengungsi yang merasa kedinginan saat malam menjelang. Terutama mereka yang tinggal di tenda dan lapangan terbuka. Selimut adalah kebutuhan paling utama yang diperlukan pengungsi selain makanan. Banyak juga korban gempa di Bener Meriah memilih tidak mengungsi di posko. Sebagian dari mereka mendirikan tenda darurat di samping rumah yang hancur. Misalkan Subhani (33), warga warga Desa Bukit Pepanyi, perbatasan Bener Meriah-Aceh Tengah. Lelaki ini mendirikan tenda seadanya di samping puing-puing rumahnya yang hancur. Ia tinggal bersama istri Sri Murni (29) dan empat anaknya; Rifki Syahputra, Juliandi, Juliana dan Hafiz. Selain keluarga ini, ada dua kepala keluarga lainnya juga ikut menumpang di tenda tersebut. “Ya sudah begini. Harus mau bagaimana lagi. Rumah juga sudah bisa ditempati lagi,” ujarnya pasrah. Sebagimana para pengungsi lainnya, Subhani juga merasakan ada sesuatu yang hilang dalam menghadapi bulan suci Ramadhan tahun ini. “Terutama anak-anak. Mereka sangat merasakan, kalau dulu bisa ikut menikmati sahur dan buka puasa di rumah. Tapi sekarang sudah berbeda, kita hanya bisa berkumpul di tenda,” ujarnya. Serambi yang mencoba menjangkau beberapa lokasi pengungsi di sejumlah desa di Bener Meriah juga menemukan pemandangan yang tak kalah mirisnya. Seperti yang dialami Jamilah (34). Ibu yang masih menyusui balita ini terpaksa harus tidur di tenda di depan rumahnya yang hancur bersama tiga anaknya; Dina (8), Diya (25) dan Nisa (19), termasuk suaminya Tumire (36). Bersama keluarga itu ikut juga menumpang tiga KK lainnya, sehingga tenda seukuran 4x5 meter itu tersebut dihuni oleh 20 anggota keluarga. Potret pengungsi di Bener Meriah setidaknya juga menggambarkan betapa dahsyatnya gempa yang mengguncang dataran tinggi Gayo itu. Namun seberapa pun parah, warga masih tetap menyimpan asa, suatu saat kelak mereka dapat kembali hidup normal seperti sediakala. “Kami ingin segera bisa pulang ke rumah. Kami ingin menata kembali hidup kami,” ucap Jamilah penuh harap sambil menggendong anaknya. (ansari hasyim)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan