Mengungkap Sindikat Merkuri

Ibarat bom waktu, wabah Minimata tengah mengancam kehidupan manusia dan biota air di sekitar tambang emas akibat penggunaan merkuri yang tak terkendali di Aceh. Para makelar, pembeli, dan pemasok merkuri ikut bermain dalam sebuah sindikat yang terorganisir rapi. Serambi mengungkapnya.

*  *  *

SEJAK lima tahun terakhir, emas menyilaukan mata warga di lima kabupaten di Aceh. Diawali dengan penemuan satu per satu gunung emas pada 2008. Sejengkal demi sejengkal perut bumi dipahat. Lubang menganga, membetuk terowongan sedalam belasan hingga puluhan meter. Berton-ton kubik batuan diangkut ke lokasi penggilingan yang dinamakan gelondong.

Tetesan merkuri memisahkan pasir dan batu, menyisakan bijih emas. Para penambang panen rupiah dan mendadak kaya. Tapi ada pula yang apes terjerat utang, tak balik modal. Tragisnya, sebanyak 12 penambang dilaporkan tewas sepanjang 2008-2013 karena tertimbun dan kehabisan oksigen di dasar terowongan yang mereka gali sendiri. Cerita dari tambang emas Aceh sepertinya masih akan terus belangsung. Episode yang mencengangkan ini justru berisi kisah tentang penggunaan merkuri yang sudah mencapai tahap membahayakan. Padahal, pemerintah melarang keras merkuri beredar bebas di masyarakat. Namun faktanya, berton-ton air raksa saat ini dengan mudah diperoleh ribuan penambang emas di Aceh.

“Pemakaian merkuri di sejumlah tambang emas di Aceh sudah sangat meresahkan. Boleh dibilang, bukan lagi kiloan tapi sudah mencapai ton jumlahnya,” kata Kabid Pertambangan Distamben Aceh, Mahdi Nur, kepada Serambi, Selasa (11/2).

Menurut hasil riset, perkiraan total merkuri yang berputar di tambang emas Gunong Ujeun saja, per hari mencapai 600 kilogram. Estimasi tersebut diperoleh dari kebutuhan merkuri dalam sekali penggilingan yang mencapai 0,7 kg. Bila dalam sehari semalam sebuah kilang dapat melakukan delapan kali penggilingan, maka total kebutuhan merkuri per hari mencapai 6 kg. Angka tersebut dikalikan 100 titik penggilingan yang beroperasi, sehingga menghasilkan 600 kg merkuri per hari. Maka satu tahun akan menghasilkan 21,9 ton merkuri.

Unsur kimia yang berlambang Hg itu setiap hari dibuang ke Krueng Sabee (Baca: Agara Kasus Minimata tak Terulang Kembali). Selain dibuang ke sungai, sebagiannya justru menetes ke tanah atau menguap ke udara saat pemanasan.

Lalu, dari mana merkuri itu masuk ke Aceh? Penelusuran Serambi dalam sepekan terakhir membuktikan bahwa merkuri untuk kebutuhan tambang emas di Aceh dikendalikan oleh sindikat yang beroperasi di luar Aceh. Sindikat ini beroperasi menggunakan sistem online.

Serambi menemukan sebuah perusahaan di internet yang menyediakan jasa penjualan merkuri. Perusahaan ini juga menawarkan produk lainnya, seperti gelondong atau mesin penghancur batu sistem merkurisasi, serta bahan kimia. Sindikat penjualan merkuri ini sudah kerap memasok bahan berbahaya itu untuk penambang emas di Aceh.

Hal ini diketahui saat Serambi menyaru sebagai pembeli, pihak pemasok secara spontan dapat langsung mengenali beberapa lokasi tambang emas di Aceh. Bahkan pemasok tersebut mengaku pernah datang ke beberapa lokasi tambang di Aceh. Pria yang logat bicaranya seperti warga keturuanan ini juga sangat hapal lokasi tambang emas yang ramai digarap warga saat ini. “Pada 2010 dulu saya pernah ke Aceh Jaya, ya...di Gunong Ujeun juga pernah. Kita juga sering kirim (merkuri) ke Geumpang, Pidie, dan Sawang, di Aceh Selatan. Ini saya lagi kirim (merkuri) ke Sulawesi Tengah, Kabupaten Banggai pakai kapal laut. Kalau di Medan, saya sering kirim ke Mandailing Natal,” bebernya.

Melalui pria itu Serambi dapat mengetahui jalur pengiriman merkuri hingga sampai ke tangan penambang. Ia jelaskan, penambang yang membutuhkan merkuri lebih dulu harus menghubungi pemasok di nomor telepon yang tertera di website perusahaan. Setelah terjadi kesepakatan harga, konsumen diminta mengirimkan alamat, dan mentransfer uang sejumlah harga merkuri yang dibutuhkan ke rekening bank. Setelah terjadi kesepakatan harga, merkuri akan dikirim dari Jakarta melalui bus. Bus akan berhenti di Sigli, Pidie, setelah menempuh perjalanan selama empat hari.

“Nanti setelah di Sigli ada orang kita yang tunggu dan akan mengantarkannya ke alamat Bapak,” kata pria itu.  Selain lewat bus, pengiriman juga dapat dilakukan lewat ekspedisi truk dengan waktu yang lebih lama. “Kalau mau pesan minimalnya harus 20 kilogram,” ujarnya.

Serambi juga memperoleh harga merkuri yang dikenakan lewat jasa pengiriman seperti diakui pria ini. Untuk air raksa/merkuri merek Germany 1 kg dijual Rp 1, 7 juta. Sedang untuk merkuri ukuran tabung bersegel pabrik seberat 34,5 kg harganya bisa mencapai lebih Rp 50 juta. Ada juga Power Gold yang berfungsi untuk mendapatkan emas, maksimal dihargai Rp 400 ribu per 500 gram. Jumlah tersebut belum termasuk ongkos kirim. Pemasok mengenakan biaya pengiriman Rp 300 ribu dan biaya paket barang Rp 100 ribu.

“Botol (merkuri) harus dipaking pakai kayu, kita kenakan Rp 100 ribu, dan ongkos kirim Rp 300 ribu, itu di luar harga barang,” katanya. Diduga penjualan merkuri di pasar gelap ini juga terjadi secara eceran di lokasi tambang emas melalui agen yang dimiliki pemasok besar, maupun pemodal yang beroperasi di lokasi tambang.

Seperti diketahui merkuri tidak diproduksi dalam negeri. Bahan berbahaya itu harus diimpor. Jerman, Spanyol, dan Amerika adalah beberapa negara yang dikenal di dunia sebagai produsen merkuri. Namun, tanpa disadari banyak orang, pasar gelap merkuri telah merambah ke Aceh seiring banyaknya tambang emas ilegal. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan