Sisi Gelap ABG Aceh

PERILAKU menyimpang di kalangan anak baru gede atau ABG dan mahasiswa kian mengkhawatirkan. Sebagian di antara mereka kini terjebak dalam pusaran pergaulan bebas, free sex, dan ancaman pornografi masiv yang mampu memusnahkan sendi-sendi budaya dan moral. Seperti apakah sisi gelap kehidupan ABG dan mahasiswa di Aceh kini? Serambi mengungkapnya dalam liputan eksklusif edisi ini.
------------------------

PERILAKU menyimpang di kalangan remaja saat ini cenderung menuju titik mengkhawatirkan. Hasil survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Aceh merilis sebuah fakta mengejutkan. Dari 40 siswa yang disurvei, ditemukan 90 persen di antaranya pernah mengakses film dan foto porno. Sebanyak 40 persen lainnya mengaku pernah petting atau menyentuh organ intim pasangannya.

Fakta lebih mengagetkan, sebanyak lima dari 40 siswa mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah bersama pacar. Penelitian ini dilakukan di satu pesantren dan tiga SMU di Banda Aceh dan Aceh Besar. “Setiap sekolah kita ambil sepuluh siswa diacak dari kelas satu, dua dan tiga, masing-masing responden punya perberbedaan karakter,” kata Agus Agandi, staf PKBI Aceh kepada Serambi di Banda Aceh, Rabu 19 Maret 2014. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan perilaku remaja di Aceh yang kian mengkhawatirkan, baik pola pergaulan maupun pergeseran moral.

Menurut pengakuan siswa, akses film porno mereka peroleh dari perangkat teknologi komunikasi seperti handpone dan sejenisnya, media internet maupun tukaran flashdisk sesama teman sebaya.

Agus menyebutkan, kondisi yang lebih memiriskan justru terjadi pada siswa yang sudah punya pengalaman hubungan seks di usia sekolah. Korban kebanyakannya wanita. Beberapa sekolah melaporkan ada siswi yang drop out menjelang ujian nasional (UN) karena ketahuan hamil. Setidaknya, kata Agus, pengalaman ini menjadi kekhawatiran sejumlah guru.

“Setiap akan menjelang ujian nasional banyak siswi yang keluar dari sekolah karena ketahuan hamil. Ini terjadi di Banda Aceh dan Aceh Besar, dan menjadi kekhawatiran para guru,” ujarnya.

Merujuk pada hasil penelitian PKBI tersebut, Agus memandang kondisi pergaulan remaja saat ini kian memimiriskan, dan mengarah pada titik kritis.

Penelusuran Serambi di sebuah hotel berkelas di Banda Aceh, banyak remaja usia ABG dengan mudah mendapat akses masuk ke tempat-tempat khusus orang dewasa, seperti bar dan diskotik yang dekat dengan narkoba dan free sex.

Agus menyebutkan, meski ada fakta demikian, namun bukan sebuah tindakan bijak menyalahkan perilaku menyimpang remaja tersebut akibat kesalahan mereka. Keluarga, lingkungan dan institusi pendidikan, menjadi faktor paling dominan membentuk perilaku mereka. Misalkan, di kalangan keluarga tertentu, ada anak yang memiliki televisi pribadi di kamarnya dan fasilitas internet. Parahnya, orang tua cenderung apatis, tidak mengawasi apa yang dilakukan anaknya di kamar.

“Siapa yang bisa menjamin kalau mereka tidak mengakses kontain porno saat sendiri di kamar,” ujar Agus. Menurutnya, usia remaja merupakan masa transisi menuju kedewasaan. Pada masa ini remaja tengah mencari jati dirinya. Di masa ini pula, kata dia, remaja mengalami apa yang disebut pubertas, dan munculnya rasa ingin tahu. Termasuk dalam hal mengeksploitasi dirinya secara seksual.

Bagi wanita yang dalam masa transisi menuju dewasa ini persoalannya  semakin kompleks. Hal ini terkait dengan mulai berkembangnya bagian-bagian tubuh yang sensitif, hingga terjadi perubahan pada sistem reproduksi. Sebab itu, PKBI Aceh kerap melakukan penyuluhan agar siswa mendapat informasi yang benar tentang kesehatan alat reproduksi remaja. “Pada masa transisi ini mereka perlu didampingi agar mendapat informasi yang benar. Seperti halnya mengenalkan mereka fungsi alat-alat reproduksi, agar mereka tidak salah memahaminya,” ujar dia.

“Kasus hamil di luar nikah juga kerap menimpa wanita remaja di kampung-kampung. Sebagian besar mereka tertutup akses informasi. Sementara kalau mereka yang di kota sudah mengetahui cara yang aman berhubungan seks karena terbukanya akses informasi,” ujarnya.

Selain kasus remaja, PKBI Aceh juga menangani kasus yang dilaporkan mahasiswi. Agus menceritakan pengalaman seorang mahasiswi sebuah universitas di Banda Aceh yang ingin mengaborsi janinnya akibat kehamilan tak diinginkan yang dilakukan bersama pacarnya. Namun secara medis Agus menjelaskan usia janin tiga bulan berisiko diaborsi karena sudah menyatu dalam rahim.

“Pada saat itu disarankan si pacarnya tetap bertanggung jawab. Tapi ceweknya tetap ingin menggugurkan kandungannya karena dia mau skripsi,” ujarnya.

“Menurut pengakuan dia, beberapa temannya juga sudah biasa melakukan itu (hubungan seks diluar nikah),” tambah Agus.

Dunia gelap remaja dan mahasiswa di Aceh ibarat fenomena gunung es. Hanya sedikit kasus yang terungkap ke publik. Ketua lembaga Selamatkan Anak Emas Indonesia (SEMAI) Banda Aceh, Qudus Husein mengatakan remaja Aceh saat ini berada di pintu darurat pornografi dan dekadensi moral. Menjamurnya layanan internet tanpa kabel menggunakan teknologi wi-fi (hotspot) di tempat publik menjadi faktor paling dominan mengarahkan remaja berperilaku menyimpang.

Qudus menyebutkan banyak kasus ditemukan ABG terjerumus dalam perilaku seks bebas berawal dari mudahnya mereka mendapat akses internet berbau porno.

SEMAI menemukan satu kasus memiriskan. Seorang siswi SMA di Banda Aceh kedapatan berhubungan intim di rumahnya bersama seorang lelaki, saat orang tuanya pergi. Setelah ditelusuri, ternyata siswi tersebut sudah sering melakukannya dengan banyak lelaki sejak ia tidak perawan lagi pada usia 13 tahun.

“Kalau dia lagi kepingin tidak peduli lagi siapa yang menjadi teman kencannya. Artinya ia melakukannya sudah menjadi sebuah kebutuhan,” kata Qudus. Ironisnya, orang tua remaja itu, tidak pernah tahu kalau anaknya sudah tidak perawan lagi sejak usia kelas 1 SMP. Menurut pengakuan remaja tersebut, ia sudah begitu akrab dengan film porno sejak kelas V SD yang ia tonton bersama temannya.

“Ini baru satu kasus ditemukan sekitar dua bulan lalu. Kita mencoba melakukan pendekatan dan memberi penanganan secara psikologis kepada remaja itu,” kata lelaki yang beristrikan seorang psikolog ini.

Menurut Qudus, kasus pergaulan bebas di kalangan remaja tidak dapat dibendung di tengah era globalisasi dan teknologi jika semua pihak menutup mata dengan kondisi ini. Semakin maraknya kasus free sex dan pergaulan bebas di kalangan remaja harus menjadi perhatian serius orang tua dan pemerintah.

“Kalau ini tidak dilakukan, maka potensi kasus hamil pranikah bagi remaja usia sekolah di Aceh akan terus meningkat. Kerusakan otak karena kecanduan pornografi itu tiga kali lebih berbahaya dari narkoba,” ujarnya.

Data yang diperoleh Serambi dari BKKBN Provinsi Aceh menyebutkan 10 dari 39 Pusat Informasi dan Konseling (PIK) remaja yang diteliti di  sekolah tingkat SMA di Pidie menunjukkan angka di bawah 50 persen siswa mengetahui informasi tentang pendidikan seks, pergaulan bebas, bahaya narkoba dan penyakit menular seksual (PMS). Misalkan untuk kategori PIK tahap Tumbuh (baru berdiri) remaja yang mengerti berada di angka 40,7 persen, PIK Tegak (sudah berjalan) 14,1 persen dan PIK Tegar (sudah lama eksis) 29,3 persen.

“Sebanyak 48 persen siswa yang disurvei mereka sudah tahu bahaya dan risiko untuk menghindarinya,” kata Kasubbid Program Kerja Sama BKKBN Aceh Nurismi.(*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku