AIDS Serang Aceh
PENYEBARAN virus HIV/AIDS di Aceh semakin mengkhawatirkan. Seperti tidak mengenal batasan umur, virus mematikan ini menyasar berbagai lapisan masyarakat dan strata sosial. Mulai anak-anak, remaja, mahasiswa, lelaki dan perempuan dewasa, sampai ibu rumah tangga masuk dalam daftar panjang para penderita.
Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Provinsi Aceh menyebutkan, sampai September 2014 tercatat ada 297 kasus HIV/AIDS di Aceh, tersebar di 23 kabupaten/kota. Sebanyak 97 penderita di antaranya dilaporkan meninggal dunia. Fenomena memiriskan ini diulas Serambi untuk laporan eksklusif edisi ini.
Umar, sebut saja namanya demikian, terbaring lemas. Dia tergolek kaku di ranjang. Tubuhnya tinggal tulang-belulang dibungkus kulit. Matanya membelalak. Sesekali Umar mengerang kesakitan. “Aduh mama, sakit kali,” ucapnya saat dijenguk Serambi, pekan lalu. Sang mama yang berdiri di samping Umar terlihat mengelus-elus punggung putranya itu. Sang istri juga setia menemani.
Pria yang beralamat di sebuah kompleks perumahan Kota Banda Aceh itu kini dirawat di sebuah ruang isolasi RSU Zainoel Abidin Banda Aceh. Virus HIV sudah menyerang berbagai organ tubuhnya, termasuk sistem pernafasan.
Sal khusus penyakit-penyakit infeksi itu tak cuma merawat Umar. Ada beberapa penderita HIV/AIDS lainnya yang berasal dari berbagai kabupaten/kota di Aceh. Indro, misalnya, seorang penderita AIDS yang sebelumnya bekerja di sebuah salon di Banda Aceh, juga dirawat di sal yang sama. Ada pula yang berasal dari Bireuen. Pria yang mengaku sebelumnya berprofesi sebagai sopir ini juga tergolek lemas. “Rata-rata kami menerima sekitar tujuh pasien HIV/AIDS per bulan,” ungkap seorang petugas kepada Serambi di ruang khusus Bagian Penyakit Dalam, pekan lalu.
Hasil analisis data KPA Provinsi juga menunjukkan, ada kencenderungan jumlah penderita dan wilayah sebaran virus HIV/AIDS meningkat 100 persen dari tahun ke tahun. Aceh Utara, misalnya, menempati urutan teratas dari segi jumlah penderita yang mencapai 30 kasus.
“Kasus HIV/AIDS ini ibarat fenomena gunung es. Hanya sebagian kecil yang terdeteksi,” kata staf KPA Provinsi Aceh, Dewi Fachrina kepada Serambi, Kamis 16 Oktober 2014.
Menurut estimasi (perkiraan) Asean Epidemologi Model (AEM) Aceh 2004, jumlah infeksi baru (penderita) HIV/AIDS di Aceh pada 2014 mencapai 2.583 kasus.
Analisa ini menunjukkan grafik penularan HIV/AIDS makin mengkhawatirkan, karena terjadi penambahan drastis penderita setiap tahun. Namun sejauh ini, KPA Provinsi hanya menemukan 297 kasus HIV/AIDS. Pasien yang positif HIV/AIDS ini rutin menjalani pengobatan dengan mengonsumsi obat antiretroviral (ART), untuk memperlambat perkembangan virus. Sementara perkiraan terhadap ribuan penderita infeksi baru (belum terdeteksi), seperti yang dirilis AEM Aceh 2004 masih sulit diungkap karena keterbatasan anggaran dan lumpuhnya operasional beberapa KPA kabupaten/kota. Selain itu, penemuan kasus infeksi baru HIV/AIDS juga masih terkendala karena penderita enggan memeriksa kesehatan di rumah sakit. Baik untuk tindak lanjut pengobatan maupun antisipasi penyebaran virus.
Dewi mengilustrasikan, penyebaran HIV/AIDS begitu mengerikan jika tidak ada kesadaran mereka yang masuk dalam populasi berisiko terjangkit virus memeriksakan diri ke rumah sakit.
Misalkan seorang lelaki yang positif HIV/AIDS berhubungan seks dengan wanita baik-baik, maka wanita tersebut berisiko tertular. Apabila mereka menikah, maka virus juga berisiko untuk diturunkan kepada anak-anak yang lahir dari ibunya.
“Jadi bayangkan saja kalau ada 297 lelaki dewasa positif HIV/AIDS menikah dengan 297 wanita baik-baik dan melakukan hubungan seksual, maka akan ada 297 orang baru yang terinfeksi virus. Kemudian setelah mereka punya anak, maka anak-anak itu juga berisiko untuk terjangkit virus dari orang tuanya,” ujar Dewi.
Namun bukan persoalan sepele untuk mengetahui berapa jumlah riil penderita HIV/AIDS di Aceh karena banyak penderita yang enggan memeriksakan diri ke rumah sakit. Malu dan merasa mendapat perlakuan diskriminatif masyarakat merupakan dua alasan paling dominan yang mendorong mereka enggan memeriksakan diri ke rumah sakit. Padahal, kata Dewi, hal yang paling ditakutkan adalah keberadaan para penderita HIV/AIDS yang tidak terdeteksi ini jauh lebih berbahaya dibandingkan mereka yang sudah terdeteksi dan menjalani masa pengobatan.
Penderita positif HIV/AIDS yang tidak tahu dirinya terjangkit virus, akan terus menularkan HIV/AIDS kepada orang lain. Bahkan mungkin kepada pasangan dan keturunannya.
“Mereka menganggap dirinya baik-baik saja, padahal di dalam tubuhnya sudah terjangkit virus. Tapi mereka tidak sadar, dan tidak pula berusaha memeriksa kesehatan ke rumah sakit. Keberadaan mereka yang berisiko ini jauh lebih berbahaya dari mereka yang sudah terdeteksi positif HIV/AIDS. Jumlahnya bisa mencapai ribuan,” jelasnya.
Menurut Dewi, ada beberapa kelompok yang dikategorikan sebagai populasi kunci, atau mereka yang berisiko tertular HIV/AIDS. Misalkan, sopir yang bepergian jauh yang sering ‘jajan’ di sembarang tempat, pekerja seks komersial (PSK), suami yang kerap gonta-ganti pasangan serta pengguna narkoba melalui jarum suntik.
“Mereka positif HIV masih dapat beraktivitas normal dengan rutin berobat untuk memperlambat perkembangan virus. Tapi bagi mereka yang sudah stadium empat terjangkit AIDS, sudah sulit untuk diobati,” ujarnya.
Menurut Dewi, virus HIV/AIDS baru terlihat menyerang kekebalan tubuh dalam retang waktu lima sampai 10 tahun sejak virus ditularkan. Meskipun demikian, katanya, mereka yang dengan HIV/AIDS perlu mendapat dukungan masyarakat untuk menjalani hidup yang lebih baik, dengan tidak membuat stigma dan perlakuan diskrimintif kepada penderita.
Fenomena penanggulangan HIV/AIDS merupakan program pemerintah yang dituangkan dalam Instruksi Presiden. Wakil Gubernur setiap provinsi menjadi ketua pelaksana KPA Provinsi. Demikian pula dengan Wakil Bupati/Wali Kota menjadi Ketua Pelaksana KPA kabupaten/kota. Namun ironisnya keberadaan KPA sebagai lembaga koordinasi penanggulangan HIV/AIDS di Aceh dalam beberapa tahun terakhir seperti mati suri, bahkan tidak memiliki program konkret. Sementara penyebaran HIV/AIDS dari tahun ke tahun terus meningkat, tidak diimbangi dengan upaya serius pemerintah menanggulangi penyebarannya.
Dewi Fachrina menyebutkan, pada 2014 KPA Provinsi sama sekali tidak mendapat dukungan dana dari Pemerintah. Kondisi ini membuat gerak langkah KPA provinsi pincang.
“Selama ini kita hanya melakukan pertemuan, monitoring dan evaluasi dengan beberapa KPA kabupaten/kota melalui bantuan dana dari Dinas Kesehatan,” ujarnya.
Menurut Dewi, akibat tidak adanya dana ini, membuat KPA terkendala melakukan penelusuran terhadap kasus-kasus infeksi baru HIV/AIDS di Aceh. Bahkan target KPA Provinsi menemukan 477 kasus infeksi baru HIV/AIDS pada 2014, dan mengetahui jelas penderitanya tidak dapat terwujud karena terkendala dana.
“Kita hanya mampu menemukan 297 kasus saja, jauh dari target yang kita perkirakan pada 2014 sebanyak 477 kasus,” ungkap Dewi. Menurutnya, hal ini dinilai suatu kondisi memiriskan.
Sebab, penanggulangan HIV/AIDS di Aceh melibatkan seluruh SKPA baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
“KPA hanya memiliki fungsi koordinasi dengan semua lintas sektoral dan melakukan monitoring serta evaluasi. Tapi peran ini sulit dilakukan jika tidak didukung pemerintah,” demikian Dewi. (ansari)
تعليقات
إرسال تعليق