Menanti Asa di Balik Panti


JO tak pernah membayangkan jika perkenalannya dengan seorang oknum TNI telah membawanya ke dunia kelam narkoba. Diawali dengan ingin coba-coba, akhirnya ia menjadi pecandu berat SS. Sampai di suatu hari, akibat ketergantungan pada sabu, Jo merasa sakau dan butuh uang segera untuk membeli barang haram itu. “Di saat saya butuh, dan tidak punya uang, saya menggadaikan apa saja. Mulai dari laptop, kendaraan dan barang berharga lainnya. Uang di tabungan saya juga tidak ada yang tersisa. Bagaimana caranya saya bisa ambil barangnya,” tutur Jo kepada Serambi menceritakan pengalaman pahitnya selama hidup dengan ketergantungan sabu.

Serambi menemui lelaki berusia 23 tahun itu di Panti Rehabilitasi Pecandu Narkoba milik Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh, Jumat 18 Juli 2014. Kini Jo menghabiskan hari-harinya di panti itu bersama sekitar delapan temannya yang masih dalam proses pemulihan dari ketergantungan narkoba. Atas inisiatif sendiri dan didukung keluarga, Jo sudah menjalani program rehabiltasi sejak tiga bulan lalu.

Saat Serambi menyambanginya Jumat lalu, tampak Jo bersama beberapa penguhuni panti (community therapy) tengah melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Pada malamnya, mereka menyibukkan diri dengan shalat tarawih dan berbagai kegiatan lainnya.

Panti Rehabilitasi BNNP Aceh mulai beroperasi sejak 2012. Berlokasi di bekas gedung Poli Klinik RSUZA Banda Aceh, panti rehabilitasi ini memiliki daya tampung sekitar 10 orang atas biaya Pemerintah Aceh.

 Saling berbagi
Para residen panti (pecandu narkoba yang menjalani pemulihan) mengikuti program terapi selama enam bulan. Pada satu minggu pertama masuk, setiap residen akan ditempatkan di ruang isolasi untuk proses detoksifikasi yaitu mengeluarkan racun dan zat narkoba dari dalam tubuh mereka. Setelah menjalani detoksifikasi pecandu mendapat terapi lainnya yang ditetapkan pengelola panti dan konselor yang mendampingi mereka.

Layaknya dalam sebuah keluarga mereka juga bisa saling berbagi cerita. Bahkan setiap pagi mereka diminta untuk menuliskan catatan (diari) tentang apa yang mereka rasakan dalam hidupnya (share feeling).

“Saya seperti berada di dunia baru yang tak pernah saya rasakan sebelumnya. Kalau dulu malam seperti siang, dan siang seperti malam. Hidup saya tidak teratur,” kata Jo. Lelaki tamatan diploma ini mengaku sudah mengonsumsi sabu 11 tahun lalu sejak kelas 1 SMU. “Kalau sudah kena, saya sanggup tidak tidur dua hari dua malam,” ujarnya.

Sampai satu hari di tahun 2014, Jo memutuskan untuk mengakhiri ketergantungannya dengan narkoba. Didukung penuh orang tuanya, ia memilih masuk panti rehab BNNP Aceh. “Alhamdulillah sekarang sudah jauh lebih baik. Saya bisa olahraga dan makan teratur di sini,” ujarnya. Ia berjanji untuk bisa lepas sepenuhnya dari ketergantungan narkoba setelah masa rehab berakhir.

Lain Jo, lain pula Fik. Lelaki berusia 32 tahun ini mengaku memilih masuk panti rehab karena sudah tak tahan lagi racun narkoba menggerogoti tubuhnya. Selama delapan tahun Fik hidup dalam ketergantungan sabu hingga memupuskan harapan hidupnya. Ia dikucilkan masyarakat. “Kalau boleh kita bilang kita ini seperti sampah masyarakat. Tidak ada harganya sama sekali,” ujarnya. Dengan tekad bulat dan didukung orang tua, akhirnya ia masuk ke Panti Rehabilitasi BNNP Aceh. Tiga bulan berada di panti, lelaki ini mengaku seolah dia menemui kembali hidupnya yang sebelumnya dalam kendali sabu.

“Saat saya butuh, harus bisa dapat meskipun dengan cara apa pun. Tapi sekarang saya tahu narkoba itu ternyata sangat berbahaya karena bisa mengendalikan hidup kita,” kata Fiks yang mengaku sudah mengonsumsi sabu sejak 2005 dari awalnya coba-coba dari teman. “Setelah dari sini, saya ingin kembali hidup normal,” ujarnya. Fiks juga punya cita-cita segera ingin menikah. (ansari)

تعليقات

المشاركات الشائعة من هذه المدونة

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku