Ribuan Anak Drop Out Kembali Bersekolah

Hawa sejuk wilayah pegunungan segera menyambut rombongan studi banding Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh sesaat bus berhenti di sebuah lokasi wisata Rawamangun, Polman, Sulawesi Barat (Sulbar). Langit yang sejak tadi tampak mendung mulai pecah, menjatuhkan rintik hujan tipis. Ada rasa dingin yang datang tiba-tiba membuat lokasi wisata dengan berbagai jenis tanaman anggrek ini begitu adem. Di lokasi ini, Yohanis Piterson bersama para relawan SIPBM kerap melakukan pertemuan. Ada dua unit balai beratap rumbia yang dijadikan tempat diskusi dan sering dipakai sebagai ‘markas’ para relawan pendata dan fasilitator Program SIPBM. Pertemuan di Balai Rawamangun semakin terasa lebih santai karena tim dijamu dengan berbagai makanan. Salah satuanya durian khas Polman. “Buahnya kecil-kecil, masih besar durian kita di Lhoong, Aceh Besar,” celetuk Kamaruzzaman, staf Disdik Aceh yang ikut dalam rombongan. Meski kecil tapi hampir semua durian yang dihidangkan ludes. Ada juga rambutan, gorengan, dan kopi melengkapi suasana pertemuan sore itu. Tim diajak ke Rawamangun untuk mendengarkan presentasi terkait seluk- beluk Program SIPBM yang diterapkan di Polman. Piter, merupakan salah satu ‘tokoh kunci’ dalam Pogram SIPBM di Polman menjelaskan secara detail berbagai hal terkait dengan perjalanan program di SIPBM di Polman. Dari pemaparannya tergambar bahwa keberhasilan Program SIPBM di kabupaten itu membutuhkan waktu sebelas tahun. Dalam pelaksanaannya banyak hal yang terjadi dan sempat pasang surut. Mulai dari perekrutan relawan pendata hingga fasilitator. Menurut Piter, salah faktor kunci keberhasilan program SIPBM di Polman terletak pada kesolidan tim pendata dan fasilitator. Ada relawan yang mendaftar lalu ke luar karena merasa tidak betah. Kini, relawan yang tinggal sekarang adalah mereka yang hasil seleksi alam. “Sekarang kami punya 2.000 orang pendata dan fasilitator yang kami bina dalam kurun waktu delapan sampai sembilan tahun terakhir. Sekarang kalau ada pedataan, kami tinggal berkomunikasi lewat pesan singkat, mereka langsung bergerak. Karenanya kami punya banyak teman kalau datang ke desa-desa. Kami tidak pernah melupakan mereka,” kata Piter, bekas guru SD di Kecamatan Tapango. Pada 2005 Piter dimutasi ke Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Polman sebagai Kabid Pendidikan Luar Sekolah (PLS) merangkap Penanggung Jawab Program SIPBM. Pertama sekali Progam SIPBM diterapkan di 18 desa dalam dua kecamatan, yaitu Kecamatan Tinambung delapan desa dan Kecamatan Tapango sepuluh desa. Kedua kecamatan ini menjadi desa pilot project 2004-2005 kerja sama antara Polman dengan Unicef. “Pendidikan adalah hak asasi manusia. Setiap anak harus mendapat haknya, hak untuk pendidikan,” kata Bupati Polman, Ali Baal Masdar. Untuk memastikan semua anak usia sekolah bersekolah, pada setiap desa/kelurahan, kantor camat Pemkab Polman membentuk posko pengaduan. Pada beberapa sekolah juga diterapkan kebijakan yang tidak mewajibkan pakaian seragam bagi siswa/murid. “Pakaian seragam menjadi beban tersendiri bagi orang tua siswa yang tidak mampu. Bayangkan saja, kalau mereka punya empat anak sekolah, maka harus ada empat pakaian seragam. Karena itu fokus kita, mereka harus sekolah dulu. Itu yang terpenting. Terkadang saya juga turun langsung menemui anak-anak ini, mengapa mereka tidak sekolah? Apa alasannya? Kita coba memfasilitasi, kita dorong agar mereka bisa kembali bersekolah,” kata Bupati. Sederhananya, SIPBM mempunyai prosedur pengumpulan data anak usia 0-18 tahun dari masyarakat yang dilaksanakan masyarakat dan untuk masyarakat agar mengetahui permasalahan pendidikan dan mencari cara untuk mengatasinya. Hasil dari pendataan itulah yang ditindaklanjuti dengan melakukan diskusi terarah (FGD) di tiap wilayah pendataan untuk memastikan anak yang bersangkutan mau sekolah atau tidak. “SIPBM mampu mengidentifikasi secara detail dari rumah ke rumah dengan menggunakan sistem sensus. Siapa saja anak yang tidak sekolah dan di mana mereka tinggal kita bisa tahu melalui pendataan SIPBM,” ujar Suheini Kudus, Education Specialist Unicef di Polman. Munurut Suheini, selama ini pemerintah mengetahui ada banyak anak Indonesia yang putus sekolah, tapi tidak mengetahui siapa dan di mana saja mereka tinggal. “Maka data SIPBM bisa menjawab persoalan ini karena pendataan langsung dilakukan pendata yang berasal dari dusun di mana mereka tinggal,” ujarnya. Untuk menjalankan program SIPBM ini pada tahun 2012 Pemkab Polman menggelontorkan Rp 1,6 miliar. Biaya ini ditanggung pemkab setempat bekerja sama dengan Unicef. Bila dikalkulasikan untuk Aceh yang memiliki 23 kabupaten/kota, maka dibutuhkan anggaran sekitar Rp 25 miliar lebih. Namun, Kadisdik Aceh Anas M Adam bertekad mengadopsi Program SIPBM ini untuk diterapkan di Aceh. Menurut Anas, program ini penting karena sampai sejauh ini pemerintah masih kesulitan mengetahui siapa saja anak di Aceh yang putus sekolah, untuk kemudian dilakukan upaya transisi agar mereka dapat kembali bersekolah. “Mungkin tidak sekaligus di semua kabupaten/kota,” ujar Anas. Setidaknya, program SIPBM ini berpeluang diterapkan di tiga kabupaten sebagai pilot project yakni Aceh Timur, Aceh Jaya, dan Aceh Besar. Wacana ini mendapat sambutan hangat dari pihak Unicef di Aceh. Kata sepakat pun diputuskan. Dalam waktu dekat tim akan duduk kembali untuk membicara rencana aksi selanjutnya. Kita tunggu saja... (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan