Hutan Aceh Dirambah
SEJUMLAH lelaki hilir mudik mengangkut batangan pohon. Beberapa di antaranya berusaha memasukkan kayu gelondongan itu ke dalam truk yang parkir di pinggiran hutan. Sekilas, kayu-kayu bulat itu berdiameter 50-100 cm dan masih segar.
“Sepertinya batang kayu gelondongan ini sudah lebih dulu dipotong di dalam hutan sebelum diangkut ke truk. Ini salah satu bukti aktivitas illegal logging hasil temuan Walhi di Krueng Simpo, Kecamatan Juli, Bireuen pada Juni lalu,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, M Nur kepada Serambi, Sabtu (8/11) lalu.
M Nur lalu memperlihatkan sejumlah foto lainnya yang juga menunjukkan sejumlah bukti aktivitas perambahan hutan lindung di Aceh. Dari sejumlah foto itu, terekam jelas kondisi hutan Aceh kini. “Kalau dilihat dari atas memang masih hijau, tapi kondisinya akan terlihat lebih parah jika ditelusuri masuk ke dalam. Banyak lokasi hutan lindung sekarang yang sudah rusak, tandus akibat terjadinya perambahan,” ujarnya.
Walhi Aceh merekam banyak fakta tentang berbagai lokasi hutan lindung yang menjadi sasaran perambahan secara sistematis dan masif. Walhi mensinyalir perambahan hutan ini diduga melibatkan perusahaan dan intervensi pemerintah. Fakta ini bukan isapan jempol.
Walhi mencatat, per Maret 2014 terdapat 159 perusahan yang beroperasi di Aceh. Sebanyak 76 perusahaan tersebut beroperasi di dalam kawasan hutan dan tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), 26 perusahaan tidak memiliki izin usaha produksi (IUP). Sementara 7 perusahaan lainnya yang beroperasi dalam kawasan hutan dan 19 perusahaan beroperasi di luar kawasan hutan masih dalam proses IUP.
Sepanjang satu dekade terakhir Walhi Aceh juga mencatat terdapat 236 izin hak guna usaha (HGU) yang diterbitkan BPN di Aceh sejak 1989-2010 dengan luas areal hutan lindung 20.821 Ha yang mengubah fungsi hutan menjadi lahan perkebunan sawit. Kondisi ini terjadi di Aceh Singkil, Abdya, Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Barat, Bireuen, Simeulue, Aceh Besar, Aceh Jaya dan Langsa.
“Aktivitas illegal logging yang dilakukan perusahaan dampaknya lebih besar dibandingkan dengan aktivitas illegal logging murni yang dilakukan masyarakat. Sebuah perusahaan yang beroperasi di dalam hutan mampu menebang kayu seluas dua kali lapangan bola kali dalam satu hari,” ungkap M Nur.
Walhi mensiyilir bahwa tren perambahan hutan lindung di Aceh terjadi semakin sistematis dan masif. Beberapa bukti yang dan fakta terungkap, perambahan hutan Aceh terjadi dalam tiga bentuk aktivitas, berupa pembukaan lahan perkebunanan sawit, aktivitas pertambangan, dan pembukaan ruas jalan baru yang membelah hutan lindung.
“Asumsi bahwa illegal logging itu dilakukan penduduk yang hanya memotong satu dua batang kayu di hutan, itu suatu kekeliruan. Tren yang terjadi sekarang justru perambahan hutan di Aceh dilakukan secara sistematis dengan melibatkan perusahaan,” ujarnya.
Berbagai temuan kasus yang dikantongi Walhi semakin menguatkan dugaan tersebut. Modus yang kerap terjadi saat pembukaan ruas jalan, yang pertama dilakukan perusahaan adalah menebang pohon sebagai bukaan lintasan jalan. Perusahaan yang memenangi tender kerap diuntungkan berkali lipat dari hasil ‘penjarahan kayu’ ini.
Tidak hanya itu, M Nur menduga, aktivitas penebangan kayu untuk membuka ruas jalan tersebut dilakukan perusahaan sebelum mengantongi izin pakai hutan. Bahkan pemerintah ditengarai juga turut andil mendorong kerusakan hutan Aceh dengan mengeluarkan kebijakan membangun 42 ruas jalan yang membelah hutan lindung.
Menurut catatan Walhi, 60 persen lebih pembangunan jalan ini membelah hutan lindung dan hutan konservasi di 14 kabupaten/kota meliputi; Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subulussalam, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Abdya, Aceh Barat, Aceh Utara dan Bener Meriah.
“Fakta yang lebih memiriskan lagi, setelah jalan dibuka, maka sudah dapat dipastikan popoh-pohon di kawasan bukaan jalan baru tersebut akan habis ditebang, karena akses melakukan penjarahan semakin mudah dengan adanya pembukaan jalan,” ujarnya.
Tidak hanya pembukaan ruas jalan. Aktivitas pertambangan dan perkebunan juga memberi andil bagi kerusakan hutan lindung di Aceh. Walhi mencatat, saat ini ada ratusan ribu hektare area hutan lindung Aceh yang beralih fungsi menjadi kawasan bukan hutan.
Pada 2013, pemerintah melalui SK Menhut 941/2013 kembali menyetujui 80 ribu Ha hutan Aceh dialihfungsikan menjadi kawasan bukan hutan dari luas hutan lindung Aceh 3,5 juta Ha. Sementara itu 643 ribu Ha lainnya beralihfungsi untuk pembangunan ruas jalan dan perkebunan dan 259 ribu Ha beralih fungsi menjadi area pertambangan, dan 1.741 Ha dirambah penduduk dalam aktivitas illegal logging.
Dengan demikian, setidaknya kini seluas 983.1751 Ha hutan lindung Aceh sudah beralih fungsi menjadi kawasan bukan hutan. “Saat ini pemerintah Aceh juga mulai mewacanakan akan melakukan reklamasi rawa Singkil (Trumon, Aceh Selatan). Kebijakan ini suatu hal yang keliru, karena bisa berdampak mempercepat terjadinya banjir di kawasan itu,” ungkapnya.
Menurut M Nur, perambahan hutan yang sistematis dan masif ini diperkirakan akan membuat Aceh berada di ambang ancaman bencana ekologi. “Bisa dikatakan saat ini banyak kawasan hutan yang dulunya lebat, kini hanya tinggal hutan semak belukar. Pohon-pohon yang mampu menyerap air sudah habis ditebang, sehingga membuat struktur tanah menjadi labil, dan terjadilah longsor maupun bencana banjir bandang di mana-mana,” tegasnya. (sar)
Komentar
Posting Komentar