Ruang Tunggu
"Sudah tujuh kali bapak ke sini," kata wanita itu.
Raut wajahnya tampak lesu. Lelah. Sesekali matanya menerawang. Memandangi langit-langit ruangan itu. Ruang yang pengab. Hanya ada satu kursi panjang. Cukup ditempati delapan orang. Ia duduk di barisan ketiga. Ia meremas jari tangan kanannya. Sebuah dompet warna pink, sedikit kumal, digenggamnya erat-erat.
Sejak tiga puluh menit tadi, sudah tiga orang melewati jalan di depan ruang itu. Satu perempuan. Dua lelaki. Mereka disorong menggunakan kursi roda menuju sebuah ruangan khusus. Hemodialisis, nama ruangan itu.
Sepintas tubuh mereka kelihatan lemah dengan selang infus melilit lengan. Jari, tangan dan kaki tampak bengkak. Kadang juga kelihatan parut luka di lengan dan kaki. Bisa dua, tiga, enam dan bahkan tak terhitung. Dari celah pintu itu seorang laki-laki turun. Ia dipapah seorang gadis. Tubuhnya kurus, tinggal kulit berbalut tulang, berusia 60 tahun.
"Itu bapak saya dan itu adik," katanya seraya mengarahkan telunjuk kepada kedua orang itu.
Aku melihatnya. Lelaki tua itu memang sulit untuk berjalan. Ia harus dipapah setelah turun dari kursi roda. Kendatipun hanya untuk naik ke atas bangsal. Aku melihat juga gadis itu. Tanganya begitu lembut menuntunya dengan penuh perasaan.
"Dia sangat sayang pada bapak," katanya lagi.
Dia yang dia maksud adalah gadis yang bersama lelaki itu. Usianya sekitar dua puluh tahun. Kulitnya lumer. Pakai jilbab. Mata sipit dan bertubuh semampai, tinggi 160 cm. Sebuah tas jinjing diletakan di sisi lelaki itu. Dia membukanya sebentar. Ada obat dan beberapa resep dokter di dalamnya.
"Kalau ini yang baru tadi. Baru dikasi sama dokter," kata gadis itu kepada seorang perawat.
"Namanya Novita. Masih kuliah di Unsyiah. Sekarang semester delapan. Tapi hari ini dia tidak masuk. Karena kami sudah berada di Banda Aceh membawa bapak kemari,"
Janggal rasanya kami bicara tanpa saling mengenal. Ia bahkan banyak diam daripada bicara.
“Boleh tau siapa namanya?, tanyaku.
"O...begitu. Kenapa baru tanya sekarang," jawabnya enteng.
Sedikit malu juga mendengar jawaban itu. Tapi tidak apa kupikr, ia sangat terbuka setelah aku lebih awal memperkenalkan diri.
"Saya wartawan," Ia sempat kaget.
Ia semakin terbuka dan kutahu kalau wanita itu bernama Sulastina. Usianya baru 25 tahun. Tidak beda jauh dengan adiknya. Kulitnya juga lumer. Matanya sipit. Hanya saja badanya sedikit kurus.
"Ini yang ketujuh kali kami kemari," katanya.
Ya, Sulastina memang bukan warga Banda Aceh yang bisa dengan mudah menjangkau Rumah Sakit Umum Zainal Abidin. Ia penduduk Desa Air Dingin, Meukek, Kabupaten Aceh Selatan.
"Terakhir kali kami kemari dua pekan lalu," katanya lirih.
Sejak ia membuka diri, semakin kurasa ada beban berat yang dipikulnya. Makin dia banyak bicara makin jelas kutahu beban seperti apa yang sedang melilit hidupnya.
Bukan hanya dia, tapi juga lelaki tua tadi, lelaki yang amat disayanginya. Sejak dua tahun lalu, dokter memvonisnya mengalami gagal ginjal. Kenyataan itu pukulan berat bagi Sulistina dan Novita, sang adik. Tidak terbilang berapa biaya telah dikeluarkan. Tapi sedikit membantu, Amiruddin (60), tercatat sebagai pasien Askeskin.
Ia harus menjalani cuci darah reguler dua sampai tiga kali dalam satu bulan. Ini semata untuk mempertahankan hidup. Ada sebuah mesin khusus (Hemodialyzer) yang selalu digunakan pasien untuk menggantikan darah mereka dalam jangka waktu yang teratur. Proses ini dilakukan melalui jarum yang dilekatkan di lengan dan dikaitkan pada mesin pencuci darah.
Dari mesin inilah pasien gagal ginjal menggantungkan hidupnya. Antara hidup dan mati. Dan itu hanya ada di RSU Zainal Abidin Banda Aceh. Kedua gadis itu menjadi tumpuan sang ayah menghabiskan masa tuanya.
"Kalau ibu sudah meninggal, sebulan lalu,"
"Jadi sekarang hanya berdua?
"Ya,"
"Apakah tidak ada keluarga lainya yang menjenguk?
"Ada juga tapi ini sudah rutin. Kadang-kadang mereka membantu juga. Tapi kan tidak selalu harus begitu," Jarum jam menunjukan pukul 13.00.WIB. Lelaki tua itu masih berbaring dengan jarum melekat di lengan kanannya. Cairan darah merembet masuk ke dalam tubuhnya, berlahan.
Raut wajahnya tampak lesu. Lelah. Sesekali matanya menerawang. Memandangi langit-langit ruangan itu. Ruang yang pengab. Hanya ada satu kursi panjang. Cukup ditempati delapan orang. Ia duduk di barisan ketiga. Ia meremas jari tangan kanannya. Sebuah dompet warna pink, sedikit kumal, digenggamnya erat-erat.
Sejak tiga puluh menit tadi, sudah tiga orang melewati jalan di depan ruang itu. Satu perempuan. Dua lelaki. Mereka disorong menggunakan kursi roda menuju sebuah ruangan khusus. Hemodialisis, nama ruangan itu.
Sepintas tubuh mereka kelihatan lemah dengan selang infus melilit lengan. Jari, tangan dan kaki tampak bengkak. Kadang juga kelihatan parut luka di lengan dan kaki. Bisa dua, tiga, enam dan bahkan tak terhitung. Dari celah pintu itu seorang laki-laki turun. Ia dipapah seorang gadis. Tubuhnya kurus, tinggal kulit berbalut tulang, berusia 60 tahun.
"Itu bapak saya dan itu adik," katanya seraya mengarahkan telunjuk kepada kedua orang itu.
Aku melihatnya. Lelaki tua itu memang sulit untuk berjalan. Ia harus dipapah setelah turun dari kursi roda. Kendatipun hanya untuk naik ke atas bangsal. Aku melihat juga gadis itu. Tanganya begitu lembut menuntunya dengan penuh perasaan.
"Dia sangat sayang pada bapak," katanya lagi.
Dia yang dia maksud adalah gadis yang bersama lelaki itu. Usianya sekitar dua puluh tahun. Kulitnya lumer. Pakai jilbab. Mata sipit dan bertubuh semampai, tinggi 160 cm. Sebuah tas jinjing diletakan di sisi lelaki itu. Dia membukanya sebentar. Ada obat dan beberapa resep dokter di dalamnya.
"Kalau ini yang baru tadi. Baru dikasi sama dokter," kata gadis itu kepada seorang perawat.
"Namanya Novita. Masih kuliah di Unsyiah. Sekarang semester delapan. Tapi hari ini dia tidak masuk. Karena kami sudah berada di Banda Aceh membawa bapak kemari,"
Janggal rasanya kami bicara tanpa saling mengenal. Ia bahkan banyak diam daripada bicara.
“Boleh tau siapa namanya?, tanyaku.
"O...begitu. Kenapa baru tanya sekarang," jawabnya enteng.
Sedikit malu juga mendengar jawaban itu. Tapi tidak apa kupikr, ia sangat terbuka setelah aku lebih awal memperkenalkan diri.
"Saya wartawan," Ia sempat kaget.
Ia semakin terbuka dan kutahu kalau wanita itu bernama Sulastina. Usianya baru 25 tahun. Tidak beda jauh dengan adiknya. Kulitnya juga lumer. Matanya sipit. Hanya saja badanya sedikit kurus.
"Ini yang ketujuh kali kami kemari," katanya.
Ya, Sulastina memang bukan warga Banda Aceh yang bisa dengan mudah menjangkau Rumah Sakit Umum Zainal Abidin. Ia penduduk Desa Air Dingin, Meukek, Kabupaten Aceh Selatan.
"Terakhir kali kami kemari dua pekan lalu," katanya lirih.
Sejak ia membuka diri, semakin kurasa ada beban berat yang dipikulnya. Makin dia banyak bicara makin jelas kutahu beban seperti apa yang sedang melilit hidupnya.
Bukan hanya dia, tapi juga lelaki tua tadi, lelaki yang amat disayanginya. Sejak dua tahun lalu, dokter memvonisnya mengalami gagal ginjal. Kenyataan itu pukulan berat bagi Sulistina dan Novita, sang adik. Tidak terbilang berapa biaya telah dikeluarkan. Tapi sedikit membantu, Amiruddin (60), tercatat sebagai pasien Askeskin.
Ia harus menjalani cuci darah reguler dua sampai tiga kali dalam satu bulan. Ini semata untuk mempertahankan hidup. Ada sebuah mesin khusus (Hemodialyzer) yang selalu digunakan pasien untuk menggantikan darah mereka dalam jangka waktu yang teratur. Proses ini dilakukan melalui jarum yang dilekatkan di lengan dan dikaitkan pada mesin pencuci darah.
Dari mesin inilah pasien gagal ginjal menggantungkan hidupnya. Antara hidup dan mati. Dan itu hanya ada di RSU Zainal Abidin Banda Aceh. Kedua gadis itu menjadi tumpuan sang ayah menghabiskan masa tuanya.
"Kalau ibu sudah meninggal, sebulan lalu,"
"Jadi sekarang hanya berdua?
"Ya,"
"Apakah tidak ada keluarga lainya yang menjenguk?
"Ada juga tapi ini sudah rutin. Kadang-kadang mereka membantu juga. Tapi kan tidak selalu harus begitu," Jarum jam menunjukan pukul 13.00.WIB. Lelaki tua itu masih berbaring dengan jarum melekat di lengan kanannya. Cairan darah merembet masuk ke dalam tubuhnya, berlahan.
تعليقات
إرسال تعليق