المشاركات

عرض المشاركات من ديسمبر, ٢٠٠٨

Sang Penyuka Cola dari Tanjong Bungong

MATANYA menatap nanar. Sesekali ia melihat ke arah jendela pesawat. Di kabin pesawat, ia menempati seat (kursi) 1A. Di sebelahnya, duduk seorang pria setengah baya. Suara mesin pesawat yang membawa mereka terus menderu. Burung besi itu membelah awan di tengah cuaca cerah. Di atas ketinggian ribuan kaki, pesawat Firefly ATR 72-500 buatan Perancis itu mulai melintasi hamparan laut luas. Sekali lagi ia memalingkan wajahnya ke jendela pesawat. "Peu katrok u Aceh. (Apa sudah sampai di Aceh?)" ia bertanya kepada Malik Mahmud, pria yang duduk di sebelahnya. Lelaki yang bertanya itu adalah Dr Tgk Hasan Mumammad Ditiro, satu dari penumpang pesawat Firefly yang sedang dalam pernerbangan menuju Aceh. Tiro melemparkan pertanyaan itu kepada Malik Mahmud, ketika pesawat yang mereka tumpangi melintasi Selat Malaka. Dalam likur sejarah Aceh, Selat Malaka dikenal sebagai kawasan perairan yang sangat strategis. Ini karena, lokasi pelabuhan (bandar) Kerajaan Aceh dulunya tidak jauh dari Selat M

Mereka Bertemu di Ujung Penantian

PERAWAKANNYA kecil, berkulit hitam, dan terlihat masih energik di usianya yang mencapai 59 tahun. Sore itu, Abdul Gani Ahmad, nama lelaki itu, datang dengan wajah berbinar. Mengenakan kemeja putih, jas coklat, celana kain hitam, dan bersandal jepit kulit, ia berada di antara sejumlah orang penting di Pendapa Bupati Pidie. Tepat di depannya seorang lelaki yang kelihatan lebih tua darinya duduk dengan mulut mengunyah sesuatu. Dia adalah Dr Tgk Hasan Muhammad Ditiro yang sedang begitu menikmati sirih. Hasan Tiro, lelaki yang duduk persis di sebuah pelaminan khas Aceh itu baru saja di-peusijuek oleh Khadi Wilayah Pidie, Muhmmad Husein, dan sejumlah tetua adat lainnya. Di depannya tampak Malik Mahmud, dr Zaini Abdullah, dan sejumlah orang dekat Hasan Tiro. Namun, Abdul Gani memilih berdiri di sisi kanan sang Deklarator GAM itu. Jaraknya kira-kira delapan meter. Selain Abdul Gani, juga ada dua lelaki lainnya yang juga berdiri di sebalahnya, yaitu Harun Puteh dan Ishak Mahmud. Harun kira-kira

Ketika Perundingan Nyaris Deadlock

Jumat, pukul 05.00 sore waktu Helsinki, Finlandia. Shadia Marhaban duduk terpekur. Di sampingnya, ada tiga lelaki. Munawar Liza Zainal, Teuku Hadi, dan seorang warga asing yang menjadi penasihat bagi negosiator GAM, Damien Kingsbury. Raut wajah mereka cemas. Sementara, udara di luar gedung Koningsted, tempat Crisis Management Inisiative (CMI) --lembaga yang memediasi perundingan RI-GAM di Helsinki-- berkantor, terasa begitu panas. Tapi Shadia dan tiga rekannya tetap berada dalam kamar. Di sudut kamar itu, beberapa kali Munawar Liza tampak sibuk berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Tak tahu entah apa yang dibicarakan. Beberapa komputer di kamar itu juga masih menyala. Praktis, tak banyak yang bisa mereka lakukan saat itu, selain hanya menunggu diliputi perasaan gundah. Tak berapa lama, kamar yang mereka tempati didatangi lima pria. Mereka adalah Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Bakhtiar Abdullah, Muhammad Nur Djuli, dan Nurdin Abdul Rahman. "Perundingan sudah selesai," ka

Hasan Tiro Muda yang Nasionalis

TIDAK seperti biasanya, dua hari belakangan ini rumah itu terlihat ramai. Di sebelah kirinya terlihat sebuah layar terpal dengan sejumlah kursi. Ada pula sajian nasi, gulai daging, dan sejumlah menu lainnya. Sejumlah wanita paruh baya dan lelaki tua tampak duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari papan. Tak jauh dari situ mengalir sebuah sungai yang di atasnya terdapat jembatan gantung. "Di sinilah dulu Hasan Tiro bermain waktu kecil," kata Sayed Manysur. Lelaki 62 tahun itu adalah salah satu eks pejuang GAM pada era Hasan Tiro memimpin pemberontakan di Aceh usai mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunung Tjokkan (Halimon), 4 Desember 1976. Mansyur tidak sendiri. Rabu (15/10) lalu, ia bersama beberapa karib seusianya berkumpul di rumah Pocut Aisyah, adik Hasan Tiro berlainan ibu. Rumah itu, tempat Hasan Tiro dibesarkan, terletak di Tanjong Bungong, Kecamatan Sakti, Pidie. "Hari ini kami mendengar dia pulang ke kampung. Jadi kami ingin melihat. Sudah lama sekali tidak

Di Ujung Senja

Meretas jalan di ujung senja/waktu yang mengiris pilu/sampai di titik jenuh/terpekur/terpukul/di sudut lorong/di tengah kesunyian/di antara puing-piung masa/kita rebah/meninggalkan jejak/jauh tak bertepi/tak juga berakhir Banda Aceh, 6 Desember ' 08