Mereka Bertemu di Ujung Penantian
PERAWAKANNYA kecil, berkulit hitam, dan terlihat masih energik di usianya yang mencapai 59 tahun. Sore itu, Abdul Gani Ahmad, nama lelaki itu, datang dengan wajah berbinar. Mengenakan kemeja putih, jas coklat, celana kain hitam, dan bersandal jepit kulit, ia berada di antara sejumlah orang penting di Pendapa Bupati Pidie. Tepat di depannya seorang lelaki yang kelihatan lebih tua darinya duduk dengan mulut mengunyah sesuatu. Dia adalah Dr Tgk Hasan Muhammad Ditiro yang sedang begitu menikmati sirih.
Hasan Tiro, lelaki yang duduk persis di sebuah pelaminan khas Aceh itu baru saja di-peusijuek oleh Khadi Wilayah Pidie, Muhmmad Husein, dan sejumlah tetua adat lainnya. Di depannya tampak Malik Mahmud, dr Zaini Abdullah, dan sejumlah orang dekat Hasan Tiro. Namun, Abdul Gani memilih berdiri di sisi kanan sang Deklarator GAM itu. Jaraknya kira-kira delapan meter. Selain Abdul Gani, juga ada dua lelaki lainnya yang juga berdiri di sebalahnya, yaitu Harun Puteh dan Ishak Mahmud. Harun kira-kira berusia sekitar 69 tahun. Sedangakan Ishak berusia lebih muda, sekitar 58 tahun. "Metuah that mantong na umu gata (Beruntung sekali Anda masih diberi umur panjang)," kata Hasan Tiro.
Kalimat itu diucapkan Hasan Tiro saat ia menyalami Abdul Gani. Bagai sebuah kerinduan yang terpendam lama, tatapan Hasan Tiro seolah mengisyarakatkan bahwa inilah pertemuan mereka untuk pertama kalinya sejak tokoh GAM itu memutuskan ke luar dari Aceh pada 29 Maret 1979, tiga tahun setelah dia mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunung Tjokkan (Halimon), Pidie pada 4 Desember 1976.
Mendengar itu Abdul Gani pun terharu. Namun, dia tak sampai meneteskan air mata. Hasan Tiro sepertinya masih ingat dengan sosok Abdul Gani dan dua temannya yang lain, Harun Puteh dan Ishak Mahmud. Ketiganya adalah pejuang pasukan GAM pada era 1976. Mereka juga ikut serta ketika Hasan Tiro mendeklarasikan organisasi yang kemudian ditumpas Pemerintah RI itu. "Waktu naik gunung kami berjalan pada malam hari. Saat itu lampu senter saja tidak bisa menyala. Kalau tidak bisa kena tembak," kata Gani mengisahkan sejarah awal mulanya Hasan Tiro mendeklarasikan GAM di Gunung Halimon, Pidie. Dia berbicara dalam bahasa Aceh.
Gani bersama Harun dan Ishak adalah tiga pejuang GAM yang pertama kali mendukung ide Hasan Tiro mendirikan GAM. Mereka termasuk dalam anggota 8, pada era 1976. Angka delapan berarti ada sekitar delapan orang pejuang GAM pada awalnya yang seide dengan Hasan Tiro. Setiap satu orang kemudian harus merekrut sepuluh anggota lainnya. "Dari anggota yang sepuluh itu kemudian satu orang juga harus mencari sepuluh orang lainnya," kata Gani mengenang rekrutmen pola amuba itu. Namun Gani dan beberapa teman lainnya hanya mampu mencari 20 orang. Dengan kekuatan yang ada mereka naik gunung dan mendeklarasikan GAM pada masa itu. "Sekarang dari dua puluh orang itu, hanya tinggal tiga orang. Saya, Harun Puteh dan Ishak Mahmud. Yang lainya ada yang meninggal dan syahid," tuturnya.
Tak hanya itu, pada 29 Maret 1979, Gani bersama dua orang temannya juga turut mengantar Hasan Tiro berlayar melalui Jeunieb (sekarang wilayah Bireuen). Saat itu Hasan Tiro dicari Pemerintahan Soeharto karena memimpin pemberontakan. Setelah meninggalkan Aceh, Hasan Tiro kembali ke Amerika Serikat, berlanjut ke Libya, sebelum akhirnya menetap di Stockhlom, Swedia.
"Waktu itu dia (Hasan Tiro -red) pergi sekitar tahun 79 atau 80. Saya sempat mengantarnya. Ia pergi menggunakan boat ikan," tutur Gani sambil mengingat kembali sejarah kebersamaannya bersama Hasan Tiro.
Seorang pejuang GAM lainnya yang juga turut mengantarkan Hasan Tiro meninggalkan Aceh adalah Harun Puteh. Pria berusia sekitar 69 tahun itu mengatakan, setelah mengantar Hasan Tiro, ia bersama beberapa teman lainnya kembali ke gunung melanjutkan perjuangan. Namun kini, seperti tidak pernah terbayangkan, penantian selama 30 tahun itu akhirnya tercapai juga. Ketiga sejawat Hasan Tiro itu kembali bertemu di masa damai. Tapi tidak lagi di hutan atau saat sedang menenteng senjata. Mereka kini justru bertemu di tempat yang sangat indah dan terhormat, di Meuligoe Bupati Pidie. Cita-cita untuk merdeka yang dulu diperjuangkan Hasan Tiro juga sudah berganti dengan kata damai, setelah MoU Helsinki diteken.
"Saya senang sekali. Biarlah Aceh ini damai," kata Harun. Ia mengaku bangga bisa kembali bertemu Hasan Tiro di usia mereka yang sudah renta. Tidak hanya dia, dua sahabatnya, Abdul Gani dan Ishak Mahmud juga berharap hal yang sama. "Sekarang damai sudah ada. Ke depan saya tidak tahu. Dulu bermusuhan, sekarang dengan lawan sudah bisa berjabat tangan," kata Harun bernada lirih. "Seperti dulu ketika dia pergi, kami juga berharap dia bisa kembali, dan bertemu lagi," katanya yang diamini Ishak Mahmud. (anshari)
Hasan Tiro, lelaki yang duduk persis di sebuah pelaminan khas Aceh itu baru saja di-peusijuek oleh Khadi Wilayah Pidie, Muhmmad Husein, dan sejumlah tetua adat lainnya. Di depannya tampak Malik Mahmud, dr Zaini Abdullah, dan sejumlah orang dekat Hasan Tiro. Namun, Abdul Gani memilih berdiri di sisi kanan sang Deklarator GAM itu. Jaraknya kira-kira delapan meter. Selain Abdul Gani, juga ada dua lelaki lainnya yang juga berdiri di sebalahnya, yaitu Harun Puteh dan Ishak Mahmud. Harun kira-kira berusia sekitar 69 tahun. Sedangakan Ishak berusia lebih muda, sekitar 58 tahun. "Metuah that mantong na umu gata (Beruntung sekali Anda masih diberi umur panjang)," kata Hasan Tiro.
Kalimat itu diucapkan Hasan Tiro saat ia menyalami Abdul Gani. Bagai sebuah kerinduan yang terpendam lama, tatapan Hasan Tiro seolah mengisyarakatkan bahwa inilah pertemuan mereka untuk pertama kalinya sejak tokoh GAM itu memutuskan ke luar dari Aceh pada 29 Maret 1979, tiga tahun setelah dia mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunung Tjokkan (Halimon), Pidie pada 4 Desember 1976.
Mendengar itu Abdul Gani pun terharu. Namun, dia tak sampai meneteskan air mata. Hasan Tiro sepertinya masih ingat dengan sosok Abdul Gani dan dua temannya yang lain, Harun Puteh dan Ishak Mahmud. Ketiganya adalah pejuang pasukan GAM pada era 1976. Mereka juga ikut serta ketika Hasan Tiro mendeklarasikan organisasi yang kemudian ditumpas Pemerintah RI itu. "Waktu naik gunung kami berjalan pada malam hari. Saat itu lampu senter saja tidak bisa menyala. Kalau tidak bisa kena tembak," kata Gani mengisahkan sejarah awal mulanya Hasan Tiro mendeklarasikan GAM di Gunung Halimon, Pidie. Dia berbicara dalam bahasa Aceh.
Gani bersama Harun dan Ishak adalah tiga pejuang GAM yang pertama kali mendukung ide Hasan Tiro mendirikan GAM. Mereka termasuk dalam anggota 8, pada era 1976. Angka delapan berarti ada sekitar delapan orang pejuang GAM pada awalnya yang seide dengan Hasan Tiro. Setiap satu orang kemudian harus merekrut sepuluh anggota lainnya. "Dari anggota yang sepuluh itu kemudian satu orang juga harus mencari sepuluh orang lainnya," kata Gani mengenang rekrutmen pola amuba itu. Namun Gani dan beberapa teman lainnya hanya mampu mencari 20 orang. Dengan kekuatan yang ada mereka naik gunung dan mendeklarasikan GAM pada masa itu. "Sekarang dari dua puluh orang itu, hanya tinggal tiga orang. Saya, Harun Puteh dan Ishak Mahmud. Yang lainya ada yang meninggal dan syahid," tuturnya.
Tak hanya itu, pada 29 Maret 1979, Gani bersama dua orang temannya juga turut mengantar Hasan Tiro berlayar melalui Jeunieb (sekarang wilayah Bireuen). Saat itu Hasan Tiro dicari Pemerintahan Soeharto karena memimpin pemberontakan. Setelah meninggalkan Aceh, Hasan Tiro kembali ke Amerika Serikat, berlanjut ke Libya, sebelum akhirnya menetap di Stockhlom, Swedia.
"Waktu itu dia (Hasan Tiro -red) pergi sekitar tahun 79 atau 80. Saya sempat mengantarnya. Ia pergi menggunakan boat ikan," tutur Gani sambil mengingat kembali sejarah kebersamaannya bersama Hasan Tiro.
Seorang pejuang GAM lainnya yang juga turut mengantarkan Hasan Tiro meninggalkan Aceh adalah Harun Puteh. Pria berusia sekitar 69 tahun itu mengatakan, setelah mengantar Hasan Tiro, ia bersama beberapa teman lainnya kembali ke gunung melanjutkan perjuangan. Namun kini, seperti tidak pernah terbayangkan, penantian selama 30 tahun itu akhirnya tercapai juga. Ketiga sejawat Hasan Tiro itu kembali bertemu di masa damai. Tapi tidak lagi di hutan atau saat sedang menenteng senjata. Mereka kini justru bertemu di tempat yang sangat indah dan terhormat, di Meuligoe Bupati Pidie. Cita-cita untuk merdeka yang dulu diperjuangkan Hasan Tiro juga sudah berganti dengan kata damai, setelah MoU Helsinki diteken.
"Saya senang sekali. Biarlah Aceh ini damai," kata Harun. Ia mengaku bangga bisa kembali bertemu Hasan Tiro di usia mereka yang sudah renta. Tidak hanya dia, dua sahabatnya, Abdul Gani dan Ishak Mahmud juga berharap hal yang sama. "Sekarang damai sudah ada. Ke depan saya tidak tahu. Dulu bermusuhan, sekarang dengan lawan sudah bisa berjabat tangan," kata Harun bernada lirih. "Seperti dulu ketika dia pergi, kami juga berharap dia bisa kembali, dan bertemu lagi," katanya yang diamini Ishak Mahmud. (anshari)
تعليقات
إرسال تعليق