Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2007

Ruang Tunggu

"Sudah tujuh kali bapak ke sini," kata wanita itu. Raut wajahnya tampak lesu. Lelah. Sesekali matanya menerawang. Memandangi langit-langit ruangan itu. Ruang yang pengab. Hanya ada satu kursi panjang. Cukup ditempati delapan orang. Ia duduk di barisan ketiga. Ia meremas jari tangan kanannya. Sebuah dompet warna pink, sedikit kumal, digenggamnya erat-erat. Sejak tiga puluh menit tadi, sudah tiga orang melewati jalan di depan ruang itu. Satu perempuan. Dua lelaki. Mereka disorong menggunakan kursi roda menuju sebuah ruangan khusus. Hemodialisis, nama ruangan itu. Sepintas tubuh mereka kelihatan lemah dengan selang infus melilit lengan. Jari, tangan dan kaki tampak bengkak. Kadang juga kelihatan parut luka di lengan dan kaki. Bisa dua, tiga, enam dan bahkan tak terhitung. Dari celah pintu itu seorang laki-laki turun. Ia dipapah seorang gadis. Tubuhnya kurus, tinggal kulit berbalut tulang, berusia 60 tahun. "Itu bapak saya dan itu adik," katanya seraya mengarahkan telun

Hong Tia

KATERin terdiam. Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Segelas teh botol masih utuh di atas meja. Ia belum menyentuhnya sejak tadi. Padahal hari sangat panas siang itu. Di seberang sana jalan-jalan terlihat padat. Asap mengepul. Debu berterbangan hinggap di dinding ruko yang berjejal. Kawasan ini memang super sibuk. Orang-orang menyebutnya kawasan pacinan. Karena memang banyak dihuni oleh warga Tiong Hoa. Pacinan atau Peunayong juga terkenal sebagai pusat perbelanjaan. Berbagai aktifitas ekonomi menggeliat di sana. Ada ruko, bengkel, show room, pasar ikan dan entah apa lagi. Di antara banyak tempat, satu yang paling kuingat nama warung itu, Hong Tia. Siang itu banyak murid sekolah sedang menunggu jemputan orang tuanya. Mereka anak-anak warga keterunan yang baru saja usai belajar di sekolah Methodist. "Lihat anak-anak itu. Mereka sangat bersemangat!," ujarnya. Ucapan itu membuat aku tersentak. Padahal kulihat tadi matanya berbinar. Aku tahu, aku tak ingin membuatnya terlalu b

Tsunami di Atas Kanvas

Bercerita Tsunami Diatas Kanvas SAMpai kapankah Round Kelana akan berehenti melukis? Ini pertayaan yang amat sulit dijawabnya. Soalnya, dunia melukis bagi pria berusia 65 tahun ini tidak pernah akan padam dalam jiwanya. Bahkan usai musibah tsunami melanda sebagian wilayah Aceh 26 Desember lalu sempat-sempatnya ia menyelesaikan 12 lukisan. "Semua lukisan yang saya buat ini bercerita tentang peristiwa tsunmi," kata Round yang kerap tampil dengan topi baret hitam dipadu rompi bewarna krem. Panampilan yang sedikit tampak muda ini membuat Roun Kelana punya banyak kenalan dikalangan anak muda, terutama para pelukis muda di Aceh. Bagi Round pengalaman tsunami 26 Desember lalu punya kesan tersendiri yang tidak akan pernah dilupakannya. Sebab, pelukis yan kerap mengangkat realiats sosial rakyat kecil sebagai temam karyanya adalah satu korban dalam musibah itu. Ia sempat berjuang melawan derasnya arus gelombang yang menggulung tubuhnya hingga 2 km ke kawasan desa Lambaro Skep Kecamatan

Jederal Itu Ikut Tewas

Melihat Dari Dekat Kuburan 2.200 Serdadu Belanda di Aceh Dihargai Sebagai Aset Kerajaan Karena Empat Jenderal Ikut Tewas "O God, Ik ben getroffen" (Ya Tuhan, aku kena). Ucapan terakhir itu keluar dari mulut Jenderal Kohler ketika sebutir peluru menembus dadanya. Sang jenderal itu pun terkapar dan tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman. Pemerintah Belanda menyadari kekeliruan Mayor Jenderal JHR Kohler yang menyerbu dan membakar masjid termegah kebanggaan rakyat Aceh. Serangan ke Masjid Raya itu adalah bumerang bagi Belanda. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1876 itu meninggalkan bukti banyaknya korban Perang Aceh di pihak Belanda, di antaranya dapat disaksikan di Kerkhof, Peucut, Banda Aceh, sekitar satu kilometer di selatan Masjid Raya. Di sana terkubur 2.200 serdadu Belanda, termasuk Kohler, sang jenderal itu sendiri. Saat wartawan koran ini mengunjungi area makam seluas hampir lima hektar itu kemarin, sejumlah pekerja tampak tengah melakukan upaya renovasi di beberapa bagi

Namanya Irwandi

Reaksi GAM Terhadap Kemenangan Sementara Kandidat Irwandi-Nazar. Sosok Lagendaris, Tapi Tetap Tidak Terduga SEBUAH foto terpajang di dinding yang dicat putih itu. Seorang lelaki berusia sekitar 80 tahun terlihat tersenyum sumringah membelakangi sebuah bendera dengan warna dasar merah menyala dengan dua garis hitam. Lelaki berkacamata itu adalah Tgk Muhammad Hasan Di Tiro yang dikenal sebagai Wali Neugara Aceh Merdeka.. Tiro adalah tokoh yang mendeklarasikan gerakan Aceh Merdeka (AM) di Gunung Halimun, Tiro, Kabupaten Pidie, 30 tahun silam. Di ruangan berukuran sekira 4x5 meter itu juga terdapat dua foto lainnya mendampingi foto tokoh GAM yang kini bermukim di Swedia itu. Foto Malik Mahmud Al Haytar yang dikenal sebagai mantan Perdana Menteri GAM dan alm Tgk Abdullah Syafi'i. Syafi'i adalah mantan Panglima GAM yang tewas dalam suatu pertempuran dengan pasukan TNI dari Bataliyon 330 Kostrad di Desa Jiem Jiem, Bandar Baru, Pidie, Januari 2002 silam. Kemarin, foto-foto tokoh GAM it

Si Rambut Pirang

Kesan-Kesan Staff Aceh Monitoring Mission (AMM) Tentang Aceh Berbagi Cerita Dengan Kombatan GAM, Berharap Tidak Ada Lagi Konflik WANITA berambut pirang itu tidak mampu menahan haru ketika seorang perempuan memeluk tubuhnya. Faye Belnis, namanya. Ia dikenal sebagai jurubicara AMM. Pagi kemarin, wanita asal Manado yang berusia 28 tahun itu harus meninggalkan Aceh menyusul berakhirnya mandat AMM di Aceh15 Desember kemarin. "Aku masih pakek nomor telepon yang sama kok. Nelpon-nelpon ya," kata Faye kepada seorang gadis Aceh yang selama ini bertugas di AMM. K eduanya lantas saling berpelukan. Rasa haru pun membiru diantara mereka. Bukan hanya Faye. Ada puluhan staf AMM lain yang merasakan hal serupa. Ungkapan rasa haru itu menjadi klimaksnya ketika enam bendera yang tergabung dalam negara ASEAN, bendera AMM dan satu bendera Uni Eropa diturunkan di halaman markas besar AMM di Jl Tgk Abdul Rauf, Kampus Usyiah Darussalam kemarin. Upacara yang berlangsung sederhana itu turut disaksikan

WH Dicerca

Melihat Kasus-Kasus Pelanggaran Syariat Islam di Aceh WH Dicerca, Operasi Jalan Terus SETElah eksekusi cambuk di Bireuen, rentetan pelaksanaan hukuman cambuk terus terjadi di Aceh. Petugas Wilayatul Hisbah (WH) terus melakukan sosialisasi empat qanun syariat Islam dan operasai penertiban. Seolah tidak pandang bulu, siapa saja yang dinilai melanggar akan kena sanksinya. WH kini menjadi momok baru bagi pelanggar syariat. Mereka yang kerap kongkow-kongkow di café atau tempat keramaian lainnya, alamat diangkut petugas berseragam hijau lumut itu bila kedapatan tidak memakai jilbab. Malah, dalam setiap operasai tersebut ada saja yang terjaring. Mereka yang ditangkap ada yang langsung mendapat pembinaan di tempat, ada pula diangkut ke kantor WH untuk diberikan nasehat, dan bahkan ada yang kasusnya dilanjutkan ke Mahkamah Syariyah. Kasus pelanggaran mulai dari khalwat (mesum), maisir (judi) hingga khamar (minuman keras). "WH berkewajiban menasehati dan memperingati mereka yang melanggar.

Polisi Itu Tewas

Hari-Hari Terakhir Alm Bripda Rama Estrada, Korban Penembakan Markas Dirlantas Polda Aceh. Bertingkah Aneh dan Kirim Uang Beli Sepatu Baru Si Bungsu HUJAN turun rintik-rintik sekira pukul 09.30 wib pagi kemarin. Suasana di sekitar makam alm Bripda Rama Arga Estrada, terasa begitu hening. Empat wanita dan dua lelaki terlihat berziarah. Satunya diantaranya adalah wanita bernama Ratna. Perempuan itu terlihat memendam rasa haru mendalam. Tatapan matanya nanar tertuju pada tiga buah karangan bunga yang tersusun rapi di atas pusara yang masih basah diguyur hujan. Diantara karangan bunga itu terselip ungkapan duka dari jajaran Bhayangkara Polda Aceh sebagai ucapan terakhir atas meninggalnya anggota Dirlantas Polda itu dalam satu insiden penembakan, Selasa (9/1). Perpisahan almarhum dengan keluarga selama delapan bulan ternyata membuat wanita berusia 47 tahun itu tidak mampu menahan tangis. "Ini adalah hari terakhir saya bertemu dengan dia. Tapi semuanya sudah berubah. Kami hanya bisa men

Potret 5 Tahun Syariat Islam

WARrdiah barangkali tidak pernah terpikir kalau hubungan cintanya dengan Gueseppe akan berakhir tragis. Remaja asal Kabupaten Pidie, itu kini tinggal menunggu putusan Mahkamah Syar’iah Bireun. Dia dituduh telah melanggar Qanun Syariat Islam nomor 14/2003 tentang khalwat (mesum) yang dilakukanya bersama Gueseppe yang tidak lain adalah pacarnya di sebuah rumah, akhir Juli 2006 lalu. Bila terbutkti, Wardiah akan dijatuhi hukuman lima kali cambuk di depan umum. Sedangkan Gueseppe asal Italia, bebas dari jeratan hukuman cambuk. Karena hukum syariat Islam hanya bisa menghukum mereka yang muslim. Hanya saja lelaki itu dijerat dengan Undang-Undang Anti Narkotika nomor 22 tahun 1997 atas bukti kepemilikan daun ganja dan minuman beralkohol yang ditemukan petugas Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat) di kamar mereka berkencan. Kasus cinta terlarang Wardiah dengan Gueseppe yang berakhir di Meja Mahkamah Syar’iah ini bukan pertama kali terjadi di Aceh sejak Provinsi Serambi Mekah itu resmi menerapkan h

Potret Pengungsi Aceh

PULuhan rumah itu dibangun lumayan apik. Tata ruangnya terlihat sistematis. Letaknya saling berdampingan dan berhadap-hadapan. Bentuknya juga sangat khas dengan lumuran cat warna merah jambu. Sebuah beranda terlihat menjorok ke luar membuat desain komplek perumahan itu tampak seragam. Siang itu hujan baru saja mengguyur Kota Banda Aceh saat wartawan koran ini menjambangi kawasan itu. Beberapa ruas jalan menuju ke komplek itu masih tergenang air. Dusun Payung, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar adalah nama kawasan itu. Kini di sana berdiri 83 unit rumah permanen tipe 36. Berbeda kontras dua tahun lalu ketika tsunami melanda Aceh. Tidak satupun rumah tersisa di sana. Ribuan warga setempat meninggal dan hilang ditelan ganasnya gelombang. Namun, pemandangan itu kini berubah. Sejak tiga bulan lalu, warga dusun Payung mulai kembali menata hidupnya. Di sanalah M Jamal Yahya bersama puluhan kepala keluarga yang tersisa dusun itu memulai kembali hidup mereka pasca dua tahun bencana tsunami. &quo