Kisah Petani Lamteuba, dari Ganja ke Palawija
Ingin Menghampus Imej Buruk, Lelah Kucing-Kucingan dengan Aparat
Lamteuba identik dengan daerah penghasil ganja. Polisi kerap menyisir wilayah bergunung itu dalam setiap operasi pemberantasan narkoba. Tapi kini anggapan itu perlahan mulai sirna. Warga yang dulu menanam ganja, kini telah beralih menjadi petani palawija. Bagaimana itu bisa terjadi?
ANSARI HASYIM, Lamteuba
PAKET daun ganja itu semestinya harus dia loloskan ke luar Aceh. Namun naas, aksi Abdul Wahab keburu tercium aparat. Mobil yang ditumpangi lelaki berusia 30 tahun itu terjebak razia di kawasan Simpang Surabaya, Banda Aceh. Dalam bagasi mobil itu, polisi menemukan dua ton daun ganja kering.
Wahab kaget bukan kepalang. Ayah dua anak itu pun ditangkap. Lelaki itu dituduh menyelundupkan ganja ke luar Aceh. “Saya sempat dihukum 4, 5 tahun penjara. Padahal saya hanya di suruh sama orang,” ujar Wahab.
Peristiwa itu terjadi pada 2001 silam. Namun pengalaman pahit itu hingga kini masih membekas di pikiran lelaki asal Lamteuba, Kecamatan Selimum, Aceh Besar itu. Hari-hari pahit yang dia jalani dalam bui telah membuatnya jera. Wahab tidak hanya pernah menjadi kurir ganja, tapi juga pernah menjadi petani ganja di desanya.
Bekerja sebagai kurir ganja ia bisa mendapat uang hingga Rp 10 juta. Penghasilan itu juga diperoleh dari menanam ganja di ladang yang pernah digelutinya sejak tahun 2000. "Kalau sekarang saya tidak tanam lagi. Tepatnya setelah saya ditangkap," katanya.
Setelah bebas dari hukuman, Abdul Wahab kembali ke desa. Bukan lagi sebagai petani ganja, tapi telah beralih menjadi petani kedelai (palawija) di tempat tinggalnya, Desa Mandah, Lamteuba, Kecamatan Seulimum Aceh Besar. Sangat istimewa, Kamis kemarin tanaman kedelai milik Wahab dipanen perdana.
Selain Wahab, ada pula lahan kedelai milik petani setempat di hamparan seluas 20 hektar yang siap panen itu. Mereka tergabung dalam kelompok tani Hudep Beusare yang beranggotakan 110 orang dan mengelola seluas 55 hektar lahan. Di antara lahan 20 hektar itu, terdapat lahan kedelai milik Abdul Wahab seluas 1, 5 hektar.
Saat para wartawan datang ke lokasi tampak puluhan lelaki tengah bekerja di bawah sinar matahari yang menyengat. Mereka memotong batang kedelai yang kelihatan sudah menguning dan siap untuk dipanen. Sebagian batang kedelai itu direbus dalam sebuah bejana yang telah disiapkan.
Siapa saja dapat mencicipinya, termasuk wartawan dan beberapa staf BRR Aceh-Nias yang datang siang itu."Rasanya enak," celetuk seorang wartawan. Siapa menyangka biji kedelai yang di Jakarta harganya sempat melambung tinggi ini hasil dari garapan Wahab dan teman-temannya yang tergabung dalam kelompok tani Hudep Beusare.
Kegiatan penanaman kedelai ini merupakan program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui metode tumpang sari didanai BRR Aceh-Nias. Di lahan 20 hektar itu juga ditanami bibit pohon durian. Tapi dari kondisinya, bibit durian ini belum begitu lama ditanam. Rata-rata tingginya mencapai 30 cm setiap batang.
Selain memberdayakan petani setempat, program senilai Rp 5 miliar ini juga bertujuan untuk mengalihkan kebiasaan warga di Lamteuba menanam ganja kepada tanaman alternatif yang lebih bernilai guna. “Setelah ada program ini saya sadar ternyata menanam ganja itu tidak baik dan banyak susah dari pada untungnya,” kata Wahab.
Kembali soal ganja, biasanya, para petani di desa itu hanya bertindak sebagai penanam, hingga barang haram itu siap untuk dipanen. Lokasi tempat tanaman ganja itu terbilang jauh dari pemukiman penduduk, 3 sampai 10 kilo dari lokasi pemukiman. Umumnya, tanaman ganja siap panen bila sudah memasuki empat bulan.
Para petani mencabut dan mengeringkan daunnya. Proses penjualannya tidak langsung dari petani kepada pembeli. Justru proses negosiasinya dilakukan melalui agen atau mafia ganja. Dari proses itu, harga dipatok sesuai dengan berat ganja. Melalui para agen, daun ganja itu dijual kepada pembeli atau dikirim ke luar Aceh melalui kurir.
Lika-liku penjualan ganja ke luar Aceh ini tidak selalu berjalan mulus. Terkadang kurir sering ada yang ditangkap ketika tengah dalam perjalanan. Bila ini terjadi para petani bisa kena imbasnya. Hasil jerih payah mereka sejak menanam dan menjaga tanaman ganja bisa berkurang atau hilang sama sekali.
Itu masih belum seberapa. Ada petani yang mengaku ditipu agen. “Mereka bilang orang yang membawa ganja sudah ditangkap di jalan. Padahal itu hanya ditipu sama toke,” kata Abdussalam (38) bekas petani ganja lainnya.
Dia mengatakan, permainan mafia ganja kerap membuat petani selalu menjadi pesakitan. Mereka sering ditipu agen. Misalkan, ada petani yang memiliki ganja hasil dari kebun seharga Rp 15 juta. Tapi setelah diserahkan kepada toke atau agen, mereka hanya mendapatkan sekitar Rp 2 juta. Selebihnya para petani tidak tahu.
“Hanya segitu yang kami dapat. Selebihnya kami tidak tahu dan mungkin sudah ditipu sama toke,” katanya.
Para petani kerap main kucing-kucingan dengan aparat yang kerap memburu ladang ganja di Lamteuba. Tak jarang kadang ada ladang ganja ditemukan polisi tanpa ada pemiliknya. Abdussalam mengaku mulai aktif terlibat dalam penanaman ganja pada 1995 sampai 1996. Ia mengelola hampir tiga hektar dan mengaku baru satu kali panen.
Pada 1997 Abdussalam berhenti dari kegiatan itu dan kemudian beralih menggarap sawah. Kini Abdusalam telah bagian dari 110 anggota kelompok tani Hudep Beusare. Sama halnya dengan Wahab, lelaki ini juga memiliki 1, 5 hektar lahan kedelai yang sudah siap dipanen.
“Saya sekarang mau buka kebun satu lagi. Tapi ini masih dalam rencana,” katanya dengan raut wajah cerah.
Keputusan itu diambil setelah ia merasa tidak banyak manfaat buat dirinya dan keluarga untuk terus bertahan menjadi petani ganja. Selain sering ditipu agen, polisi juga kerap masuk ke Lamteuba untuk mencari ladang ganja.
“Sekarang banyak orang bilang kalau ganja itu haram. Dunia juga sudah tahu kalau di Lamteuba ini sering ditemukan ladang ganja. Jadi saya sekarang sudah berhenti, tidak tanam lagi,” kata ayah dua anak itu.
Tidak dapat dipungkiri memang, citra Lamteuba sebagai penghasil ganja sudah dikenal luas. Kawasan dengan jarak tempuh hampir dua jam dari Banda Aceh itu kerap menjadi target polisi memburu ladang ganja.
Pada 6 Februari lalu, aparat kepolisian resort Aceh Besar menemukan 10 hektare ladang ganja di Desa Pulo, Kemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar. Saat ditemukan ladang ganja itu tidak bertuan.
“Sepuluh tahun mendatang image Lamteuba sebagai penghasil ganja harus dihilangkan. Ini tidak boleh lagi terjadi,” kata Kepala Mukim Lamteuba, Muhammad Hasyim Ibrahim, 64.
Lelaki ini mengaku Lamteuba sudah terlanjur dicap publik sebagai daerah penghasil ganja. Ia ikut prihatin dengan kondisi ini. Tapi ia tidak menyalahkan sepenuhnya penduduk di Lamteuba. Sebab, ada beberapa faktor yang menyebabkan, warga di mukim itu terjun sebagai petani ganja.
“Penyebab utamanya adalah mereka tidak memilik pekerjaan. Malah beberapa di antaranya sulit sekali untuk dimintai agar tidak menanam lagi ganja. Kata mereka, ‘ kalau kami tidak tanam ganja, apa pemerintah sudah memberi kami pekerjaan lain’,” uajr Muhammad.
Dia mengatakan, sejak lama, Lamteuba terisolir dari program pembangunan pemerintah. Kehidupan masyarakat setempat juga banyak yang miskin. Mayoritas mereka bekerja sebagai petani dan berkebun. “Kalau pemerintah mau bantu, harus dengan serius tidak boleh setengah-setengah,” kata kepala mukim Lamteuba itu.
Keinginan untuk hidup bebas dari tanaman ganja juga diungkapkan Tgk Muslim, Pimpinan Pesantren Darul Nahli. Lelaki yang kerap disapa Abi ini sangat disegani di Lamteuba. Ia juga menjabat sebagai ketua kelompok tani Hudep Beusare.
Muslim punya tekad kuat untuk membersihkan Lamteuba sebagai daerah penghasil ganja. “Dunia sudah tahu kalau Lamteuba ini daerah penghasil ganja. Dan ini tidak boleh lagi terjadi. 10 tahun ke depan seperti yang dikatakan pak gubernur harus terwujud. Tidak ada lagi tanaman ganja di Lamteuba,” tutur Muslim dengan nada serius.
Melalui kelompok tani Hudep Beusare ia menggantungkan harapan dan tekad. “Kalau program ini berhasil maka akan ada banyak lagi petani di sini yang bisa kita rekrut,” jelasnya.
Dia mengatakan, tidak semua petani di disana mendapat kesempatan masuk dalam kelompok tani. Namun dengan mekanisme sistem pemberian modal bergulir memungkinkan usaha tersebut berkembang dan menambah jumlah anggota. “Kuncinya pemerintah jangan setengah hati. Kalau ingin bantu, bantulah dengan serius,” tukasnya.
Banyak apresiasi positif dilontarkan atas program metode tumpang sari didanai BRR Aceh-Nias di Lamteuba ini. Kepala Dinas Kehutanan Aceh Besar, Muhammad Adil menuturkan, bila dikelola dengan serius, maka program ini akan menuai hasil penting untuk mengubah sejarah Lamteuba dari daerah ganja kepada daerah pertanian potensial.
“Bayangkan saja, satu hektar bisa menghasilkan 900 kg sampai 1 ton kedelai. Kalau saat ini ada 55 hektar yang sudah siap dipanen, maka berapa ton yang kedelai yang bisa kita hasilkan,” katanya memberi gambaran.
Selain dijual dengan cara direbus kepada pembeli, kedelai hasil petani di Lamteuba ini juga bisa di jual ke pasar bebas untuk bahan pembuatan tempe dan tahu. Untuk satu kilogram harga mencapai Rp 2000. Namun panen kedelai ini bukan satu tujuan utama program pemberdayaan masyarakat pinggiran hutan ini.
Tujuannya ada pada tanaman durian yang diperkirakan akan menuai hasil pada empat atau lima tahun mendatang. Namun sayangnya, para petani belum memiliki sebuah wadah koperasi. “Ini baru permulaan saja. Untuk selanjutnya kita akan pikirkan lebih bagaimana cara memasarkan,” kata Adil.
Semestinya impian itu bukan sebatas pemanis bibir. Dan ini pula yang diharapkan oleh Abdul Wahab dan Abdussalam, bekas petani ganja di Lamteuba.
“Bila tidak banyak petani di sini akan kembali menanam ganja. Karena apa yang dijanjikan pemerintah itu tidak pernah ada,” kata Wahab. (*)
Lamteuba identik dengan daerah penghasil ganja. Polisi kerap menyisir wilayah bergunung itu dalam setiap operasi pemberantasan narkoba. Tapi kini anggapan itu perlahan mulai sirna. Warga yang dulu menanam ganja, kini telah beralih menjadi petani palawija. Bagaimana itu bisa terjadi?
ANSARI HASYIM, Lamteuba
PAKET daun ganja itu semestinya harus dia loloskan ke luar Aceh. Namun naas, aksi Abdul Wahab keburu tercium aparat. Mobil yang ditumpangi lelaki berusia 30 tahun itu terjebak razia di kawasan Simpang Surabaya, Banda Aceh. Dalam bagasi mobil itu, polisi menemukan dua ton daun ganja kering.
Wahab kaget bukan kepalang. Ayah dua anak itu pun ditangkap. Lelaki itu dituduh menyelundupkan ganja ke luar Aceh. “Saya sempat dihukum 4, 5 tahun penjara. Padahal saya hanya di suruh sama orang,” ujar Wahab.
Peristiwa itu terjadi pada 2001 silam. Namun pengalaman pahit itu hingga kini masih membekas di pikiran lelaki asal Lamteuba, Kecamatan Selimum, Aceh Besar itu. Hari-hari pahit yang dia jalani dalam bui telah membuatnya jera. Wahab tidak hanya pernah menjadi kurir ganja, tapi juga pernah menjadi petani ganja di desanya.
Bekerja sebagai kurir ganja ia bisa mendapat uang hingga Rp 10 juta. Penghasilan itu juga diperoleh dari menanam ganja di ladang yang pernah digelutinya sejak tahun 2000. "Kalau sekarang saya tidak tanam lagi. Tepatnya setelah saya ditangkap," katanya.
Setelah bebas dari hukuman, Abdul Wahab kembali ke desa. Bukan lagi sebagai petani ganja, tapi telah beralih menjadi petani kedelai (palawija) di tempat tinggalnya, Desa Mandah, Lamteuba, Kecamatan Seulimum Aceh Besar. Sangat istimewa, Kamis kemarin tanaman kedelai milik Wahab dipanen perdana.
Selain Wahab, ada pula lahan kedelai milik petani setempat di hamparan seluas 20 hektar yang siap panen itu. Mereka tergabung dalam kelompok tani Hudep Beusare yang beranggotakan 110 orang dan mengelola seluas 55 hektar lahan. Di antara lahan 20 hektar itu, terdapat lahan kedelai milik Abdul Wahab seluas 1, 5 hektar.
Saat para wartawan datang ke lokasi tampak puluhan lelaki tengah bekerja di bawah sinar matahari yang menyengat. Mereka memotong batang kedelai yang kelihatan sudah menguning dan siap untuk dipanen. Sebagian batang kedelai itu direbus dalam sebuah bejana yang telah disiapkan.
Siapa saja dapat mencicipinya, termasuk wartawan dan beberapa staf BRR Aceh-Nias yang datang siang itu."Rasanya enak," celetuk seorang wartawan. Siapa menyangka biji kedelai yang di Jakarta harganya sempat melambung tinggi ini hasil dari garapan Wahab dan teman-temannya yang tergabung dalam kelompok tani Hudep Beusare.
Kegiatan penanaman kedelai ini merupakan program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui metode tumpang sari didanai BRR Aceh-Nias. Di lahan 20 hektar itu juga ditanami bibit pohon durian. Tapi dari kondisinya, bibit durian ini belum begitu lama ditanam. Rata-rata tingginya mencapai 30 cm setiap batang.
Selain memberdayakan petani setempat, program senilai Rp 5 miliar ini juga bertujuan untuk mengalihkan kebiasaan warga di Lamteuba menanam ganja kepada tanaman alternatif yang lebih bernilai guna. “Setelah ada program ini saya sadar ternyata menanam ganja itu tidak baik dan banyak susah dari pada untungnya,” kata Wahab.
Kembali soal ganja, biasanya, para petani di desa itu hanya bertindak sebagai penanam, hingga barang haram itu siap untuk dipanen. Lokasi tempat tanaman ganja itu terbilang jauh dari pemukiman penduduk, 3 sampai 10 kilo dari lokasi pemukiman. Umumnya, tanaman ganja siap panen bila sudah memasuki empat bulan.
Para petani mencabut dan mengeringkan daunnya. Proses penjualannya tidak langsung dari petani kepada pembeli. Justru proses negosiasinya dilakukan melalui agen atau mafia ganja. Dari proses itu, harga dipatok sesuai dengan berat ganja. Melalui para agen, daun ganja itu dijual kepada pembeli atau dikirim ke luar Aceh melalui kurir.
Lika-liku penjualan ganja ke luar Aceh ini tidak selalu berjalan mulus. Terkadang kurir sering ada yang ditangkap ketika tengah dalam perjalanan. Bila ini terjadi para petani bisa kena imbasnya. Hasil jerih payah mereka sejak menanam dan menjaga tanaman ganja bisa berkurang atau hilang sama sekali.
Itu masih belum seberapa. Ada petani yang mengaku ditipu agen. “Mereka bilang orang yang membawa ganja sudah ditangkap di jalan. Padahal itu hanya ditipu sama toke,” kata Abdussalam (38) bekas petani ganja lainnya.
Dia mengatakan, permainan mafia ganja kerap membuat petani selalu menjadi pesakitan. Mereka sering ditipu agen. Misalkan, ada petani yang memiliki ganja hasil dari kebun seharga Rp 15 juta. Tapi setelah diserahkan kepada toke atau agen, mereka hanya mendapatkan sekitar Rp 2 juta. Selebihnya para petani tidak tahu.
“Hanya segitu yang kami dapat. Selebihnya kami tidak tahu dan mungkin sudah ditipu sama toke,” katanya.
Para petani kerap main kucing-kucingan dengan aparat yang kerap memburu ladang ganja di Lamteuba. Tak jarang kadang ada ladang ganja ditemukan polisi tanpa ada pemiliknya. Abdussalam mengaku mulai aktif terlibat dalam penanaman ganja pada 1995 sampai 1996. Ia mengelola hampir tiga hektar dan mengaku baru satu kali panen.
Pada 1997 Abdussalam berhenti dari kegiatan itu dan kemudian beralih menggarap sawah. Kini Abdusalam telah bagian dari 110 anggota kelompok tani Hudep Beusare. Sama halnya dengan Wahab, lelaki ini juga memiliki 1, 5 hektar lahan kedelai yang sudah siap dipanen.
“Saya sekarang mau buka kebun satu lagi. Tapi ini masih dalam rencana,” katanya dengan raut wajah cerah.
Keputusan itu diambil setelah ia merasa tidak banyak manfaat buat dirinya dan keluarga untuk terus bertahan menjadi petani ganja. Selain sering ditipu agen, polisi juga kerap masuk ke Lamteuba untuk mencari ladang ganja.
“Sekarang banyak orang bilang kalau ganja itu haram. Dunia juga sudah tahu kalau di Lamteuba ini sering ditemukan ladang ganja. Jadi saya sekarang sudah berhenti, tidak tanam lagi,” kata ayah dua anak itu.
Tidak dapat dipungkiri memang, citra Lamteuba sebagai penghasil ganja sudah dikenal luas. Kawasan dengan jarak tempuh hampir dua jam dari Banda Aceh itu kerap menjadi target polisi memburu ladang ganja.
Pada 6 Februari lalu, aparat kepolisian resort Aceh Besar menemukan 10 hektare ladang ganja di Desa Pulo, Kemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar. Saat ditemukan ladang ganja itu tidak bertuan.
“Sepuluh tahun mendatang image Lamteuba sebagai penghasil ganja harus dihilangkan. Ini tidak boleh lagi terjadi,” kata Kepala Mukim Lamteuba, Muhammad Hasyim Ibrahim, 64.
Lelaki ini mengaku Lamteuba sudah terlanjur dicap publik sebagai daerah penghasil ganja. Ia ikut prihatin dengan kondisi ini. Tapi ia tidak menyalahkan sepenuhnya penduduk di Lamteuba. Sebab, ada beberapa faktor yang menyebabkan, warga di mukim itu terjun sebagai petani ganja.
“Penyebab utamanya adalah mereka tidak memilik pekerjaan. Malah beberapa di antaranya sulit sekali untuk dimintai agar tidak menanam lagi ganja. Kata mereka, ‘ kalau kami tidak tanam ganja, apa pemerintah sudah memberi kami pekerjaan lain’,” uajr Muhammad.
Dia mengatakan, sejak lama, Lamteuba terisolir dari program pembangunan pemerintah. Kehidupan masyarakat setempat juga banyak yang miskin. Mayoritas mereka bekerja sebagai petani dan berkebun. “Kalau pemerintah mau bantu, harus dengan serius tidak boleh setengah-setengah,” kata kepala mukim Lamteuba itu.
Keinginan untuk hidup bebas dari tanaman ganja juga diungkapkan Tgk Muslim, Pimpinan Pesantren Darul Nahli. Lelaki yang kerap disapa Abi ini sangat disegani di Lamteuba. Ia juga menjabat sebagai ketua kelompok tani Hudep Beusare.
Muslim punya tekad kuat untuk membersihkan Lamteuba sebagai daerah penghasil ganja. “Dunia sudah tahu kalau Lamteuba ini daerah penghasil ganja. Dan ini tidak boleh lagi terjadi. 10 tahun ke depan seperti yang dikatakan pak gubernur harus terwujud. Tidak ada lagi tanaman ganja di Lamteuba,” tutur Muslim dengan nada serius.
Melalui kelompok tani Hudep Beusare ia menggantungkan harapan dan tekad. “Kalau program ini berhasil maka akan ada banyak lagi petani di sini yang bisa kita rekrut,” jelasnya.
Dia mengatakan, tidak semua petani di disana mendapat kesempatan masuk dalam kelompok tani. Namun dengan mekanisme sistem pemberian modal bergulir memungkinkan usaha tersebut berkembang dan menambah jumlah anggota. “Kuncinya pemerintah jangan setengah hati. Kalau ingin bantu, bantulah dengan serius,” tukasnya.
Banyak apresiasi positif dilontarkan atas program metode tumpang sari didanai BRR Aceh-Nias di Lamteuba ini. Kepala Dinas Kehutanan Aceh Besar, Muhammad Adil menuturkan, bila dikelola dengan serius, maka program ini akan menuai hasil penting untuk mengubah sejarah Lamteuba dari daerah ganja kepada daerah pertanian potensial.
“Bayangkan saja, satu hektar bisa menghasilkan 900 kg sampai 1 ton kedelai. Kalau saat ini ada 55 hektar yang sudah siap dipanen, maka berapa ton yang kedelai yang bisa kita hasilkan,” katanya memberi gambaran.
Selain dijual dengan cara direbus kepada pembeli, kedelai hasil petani di Lamteuba ini juga bisa di jual ke pasar bebas untuk bahan pembuatan tempe dan tahu. Untuk satu kilogram harga mencapai Rp 2000. Namun panen kedelai ini bukan satu tujuan utama program pemberdayaan masyarakat pinggiran hutan ini.
Tujuannya ada pada tanaman durian yang diperkirakan akan menuai hasil pada empat atau lima tahun mendatang. Namun sayangnya, para petani belum memiliki sebuah wadah koperasi. “Ini baru permulaan saja. Untuk selanjutnya kita akan pikirkan lebih bagaimana cara memasarkan,” kata Adil.
Semestinya impian itu bukan sebatas pemanis bibir. Dan ini pula yang diharapkan oleh Abdul Wahab dan Abdussalam, bekas petani ganja di Lamteuba.
“Bila tidak banyak petani di sini akan kembali menanam ganja. Karena apa yang dijanjikan pemerintah itu tidak pernah ada,” kata Wahab. (*)
تعليقات
إرسال تعليق