Cerita 80 Santri Al-'Athiyah Terjebak di KMP BRR
Cerita 80 Santri Al-'Athiyah Terjebak di KMP BRR
* Satu Jam Kedinginan, Sempat Histeris dan Hafal Quran
BURITAN kapal KMP BRR terus memacu mengarungi laut. Sekuat tenaga mesin kapal membelah ombak. Sampai lima belas menit perjalanan kapal masih berjalan normal. Di geladak (lantai) kapal paling atas, Ratna Chairani Ulfa bersama sekitar 80 siswa hanya bisa duduk lesehan. Tiket yang sudah dipesan tak membuat para santri ini kebagian kursi di dek tengah. Dek tengah adalah tempat sebagian besar penumpang. Para penumpang di dek tengah bisa lebih santai karena dilengkapi kursi. Pagi itu, dek tengah kapal hanya diisi oleh para penumpang dewasa.
"Tidak ada pilihan lain. Penumpang padat sekali. Hanya di atas yang masih tersisa. Semua siswa lalu menuju ke atas melewati tangga," ujarnya. Ratna adalah adalah guru pendamping rombongan santri SMP Plus Dayah Al-'Athiyah Tahfizh Alquran, Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar. Mereka adalah rombongan santri yang baru saja liburan sekolah naik kelas dua di Sabang. Namun naas, dalam perjalanan pulang kapal terjebak cuaca buruk. Sempat terjadi suasana genting ketika kapal terombang ambing akibat dihantam ombak. Delapan siswa dilaporkan jatuh lemas, kram, muntah-muntah karena kedingingan. Satu di antaranya pingsan. Sebagian korban dievakuasi ke Rumah Sakit Permata Hati, Ulee Lheue. Namun drama saat-saat kapal dihempas ombak itu tak bisa dilupakan para santri yang rata-rata baru pertama kali melakukan perjalanan laut.
Ratna Chairani Ulfa, guru matematika yang ditemui Serambi Senin (10/6) kemarin menuturkan ia tak menyangka peristiwa itu terjadi. Soalnya, cuaca di Balohan cerah sampai kapal berangkat sekitar pukul 08.30 wib. Ratna mengakui ia sempat dihinggapi rasa cemas ketika melihat ruangan kapal berbobot mati sekitar 1.100 ton itu sudah dipadati penumpang dewasa saat seluruh santri masuk ke dalam. Para santri yang usianya rata-rata 14-15 tahun tak kebagian tempat duduk. Hanya ada satu-satunya tempat yang masih tersisa. Geladak kapal bagian atas.
Para guru pendamping dan santri pasrah. Sampai akhirnya sebuah kekhawatiran mulai terjadi. Lebih lima belas menit kapal mengarungi laut, cuaca berubah. Mendung menggelayuti langit tiba-tiba. Angin berhembus kencang. Ombak mulai menghempas badan kapal. Sesekali kapal seperti menukik. Jalannya tak stabil. Hujan turun. Sebanyak 80 santri di geladak kapal atas cemas. Satu-satunya pilihan adalah kembali turun ke dek bagian tengah kapal. Tapi sia-sia.
"Kami tidak bisa turun. Orang-orang dewasa di tangga kapal tidak memberi jalan," ujar Ratna mengisahkan.
Para santri tidak bisa berbuat banyak. Sebagiannya pasrah. Antara panik dan histeris. Mulut mereka berulang-ulang menyebut nama Allah swt. Kalimat takbir dan zikir pun terus mengalir di tengah situasi genting itu. Bahkan dengan inisiatif sendiri, masing-masing mereka menghafal ayat Alquran. Para santri Dayah Al-'Athiyah memang terkenal mampu menghafal alquran (hafiz). Bahkan ada yang mampu 30 juz sampai menyelesaikan sekolahnya.
''Mereka sudah ditanamkan nilai agama yang kuat di sekolah. Saat menghadapi suasana seperti itu, mereka mengulang hafalannya masingmasing," tutur Ratna.
Satu jam berjalan, para santri hanya bisa bertahan di atas geladak. Mereka terjebak di bawah guyuran hujan. Seluruh baju di badan dan tas seisinya basah. Terpal dan tikar yang mereka gunakan tak banyak menolong. Rasa dingin berlahan mulai menusuk kulit. Menggigil kedinginan, kram dan lemas. .
"Ada juga yang bertanya 'bu kapan sampainya'," kata Ratna.
Di ruang bawah, kapten kapal masih terus berjuang menstabilkan jalannya kapal di tengah hempasan ombak bertubi-tubi. Kapal dengan panjang 50 meter dan mampu memuat 375 penumpang serta 22 unit kendaraan itu terperangkap dalam cuaca buruk. Sebelumnya BMG telah mengumumkan laut Aceh bakal dilanda cuaca buruk. Beberapa santri kemudian mulai mengeluh, ada yang muntah-muntah. Tasha (14) adalah santri yang pertama kali ditemukan pingsan di atas geladak kapal. Tak hanya Tasha, beberapa santri lainnya juga ditemukan lemas. Mereka harus dipapah. Sementara hujan terus mengguyur, kapal berjalan tak stabil.
"Saat ada santri yang mulai pingsan, baru awak kapal tahu. Mereka segera memberi pertolongan," ujar Ratna yang ikut mengevakuasi anak didiknya. Para santri dievakuasi ke ruang kapten kapal. Mereka mendapat perawatan. Selimut, seprai, sajadah dan apa saja yang ada, dipakai untuk menghangatkan tubuh santri. Menurut penurutan Ratna awak kapal tak tahu apabila ada puluhan santri yang terperangkap hujan di geladak atas kapal. Mereka baru kaget ketika ada korban pingsan butuh pertolongan. Awak kapal lalu menghubungi tim SAR. Drama terperangkapnya kapal Ferry BRR dalam cuaca buruh ini akhirnya usai setelah mencapai Pelabuhan Ulee Lheu. Tim SAR yang sudah bersiaga segera mengevakuasi sebagian para korban ke rumah sakit Permata Hati, Ulee Lheu. Setidaknya ada delapan santri yang dirawat hingga pukul 13.00 wib kemarin. Mereka adalah Shakir (14), Putri (15), Anis (15), Murul Khaila (14), Tasha (14), Akrona (14), Riska (14) dan Fathia (14). Petugas medis Rumah Sakit Permata Hati, dr Teuku Romi mengatakan para korban mengalami hipotermia, keadaan dimana tubuh merasa teramat sangat kedinginan. Kondisi ini bisa menyebabkan tubuh beku, pembuluh darah mengerut dan memutus aliran darah yang menuju ke hidung, telinga, jari tangan dan jari kaki.
"Tapi umumnya mereka sudah membaik setelah kita menghangatkan, dengan mengganti pakaian dan menyelimuti," ujarnya saat ditemui Serambi.
Hendrianis Syafira (14), salah satu korban mengaku ini adalah pengalaman pertamanya naik kapal laut.
"Pertama kali dan takut...," ucap Anis. Ia masih lemas didampingi Cut Heni Silvia, wali kelasnya. (ansari hasyim)
تعليقات
إرسال تعليق