Ketika Rakyat Menuntut Perubahan
Matahari barus saja beranjak naik. Jalan-jalan dalam Kota Banda Aceh tampak lengang. Hanya satu dua kendaraan lalu lalang. Tidak ada geliat aktivitas menyolok.
Bahkan di kawasan Bundaran Simpang Lima. Pusat kota yang paling padat lalu lintas. Padahal jam baru menunjukkan pukul 09.00 WIB.
Pada hari-hari biasanya, inilah waktu paling sibuk dengan berbagai aktivitas bagi warga ibu kota. Tapi kondisi ini tidak terlihat pada Rabu pagi (8/7) kemarin. Sebagian besar masyarakat lebih memilih berada di rumah.
Bagi mereka yang sudah dewasa dan punya hak pilih, 8 Juli adalah hari paling istimewa. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetepkan 8 Juli sebagai hari pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sejak pagi masyarakat sudah terlihat mendatangi TPS-TPS tempat mereka terdaftar. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar petugas KPPS mengimbau masyarakat melalui pengeras suara agar datang ke TPS.
Suara bernada pengumuman ini terdengar di hampir tiap desa dalam wilayah kota Banda Aceh
“Semoga saja pilihan saya nanti benar. Semoga juga kehidupun bisa berubah lah. Jangan begini terus,” kata Nurdin Yusuf, warga Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala ketika ditemui Kontras di kawasan Bantaran Krueng Lamyong kemarin.
Saat ditemui lelaki paruh baya ini tengah bersiap-siap menuju TPS. Yusuf adalah satu di antara warga desa setempat yang menggantungkan harapan besar pada Pilpres 2009.
Sejak pukul 09.00 WIB, Yusuf bersama warga Desa Alue Naga lainnya bersiap-siap mendatangi TPS. Dari raut wajahnya tampak tergambar, ada sebuah harapan besar yang dia harapkan pada calon pilihanya.
“Tapi ndak tau juga lah. Karena sudah ada undangan, ya saya datang saja,” kata bapak dua anak ini.
Meskipun punya optimisme besar, tapi Yusuf masih menyimpan keraguan. Apakah pascapilpres ini janji-janji para calon yang diucapkan pada saat kampanye dulu mampu ditepati atau tidak. Atau itu hanya sekedar mimpi saja setelah mereka terpilih.
Pada Pilpres 2009 ini diikuti tiga pasangan capres dan cawapres. Mereka adalah Megawati-Prabowo, SYB-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Mereka akan berebut simpati jutaan pemilih di Indonesia. Khusus Aceh, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menetapkan 3.008.235 pemilih yang tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Namun jumlah pemilih di Aceh diperkirakan akan bertambah menyusul keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang melegalkan KTP boleh digunakan sebagai identitas untuk memilih.
Namun bagi masyarakat kecil bagi Yusuf, pesta demokrasi lima tahunan ini hanya sebuah seremonial belaka. Rasa optimis dan pesimisme muncul bercampur aduk. Optimis muncul bila melihat banyak janji-janji yang diucapkan para kandidat yang seolah akan memberi perubahan nyata dan berpihak pada nasib mereka.
Namun di sisi lain rasa pesimisme juga muncul karena pengalaman-pegalaman pahit masa lalu.
“Sudah empat kali ganti presiden. Tapi kehidupan sama juga seperti dulu. Seperti saya tetap saja harus pergi ke laut untuk membiaya anak sekolah dan kebutuhan rumah,” tutur Yusuf.
Perubahan adalah kata kunci yang selalu disuarakan masyarakat. Setiap kali pemilu, kata perubahan selalu didengung-dengungkan. Tapi selalu saja keinginan itu kandas setelah ada calon presiden yang terilih dalam pemilu.
Pengalaman miris ini pula menggelayuti pikiran Abdul Hadi (34). Lelaki yang berpropesi sebagai tukang becak motor ini selalu merasa di hadapkan pada dua pilihan ketika pemilu tiba. Antara memilih atau tidak.
Tapi untuk Pilpres kali ini bapak satu anak yang hanya tamatan SMA ini merasa optimis. Sebab, Abdul ternyata jauh-jauh hari sudah mengenal siapa calon yang menjadi pilihan.
Menurut Abdul satu di antara tiga calon yang bertanding adalah pilihan yang tepat buatnya.
“Sudah ada. Tapi ini kan rahasia,” katanya saat dijumpai Kontras di kawasan Masjid Raya beberapa hari sebelum pemungutan suara.
Menurut Abdul, ia sudah mengenal calon pilihannya dari pemberitaan media massa. Salah satu yang membuat dia simpati terhadap capres plihanya adalah komit dalam penegakakan hukum
“Dari berita yang kita baca ada beberapa pejabat yang ditangkap karena korupsi. Kalau bisa ini harus terus dipertahankan,” kata lelaki ini.
Namun menurut Abdul Hadi, tidak cukup itu saja. Pasangan capres yang menjadi pilihannya kelak diharapkan juga bisa membawa perubahan berarti buat kehidupan masyarakt kecil seperti dirinya.
Diakuinya kehidupan para tukang becak seperti dirinya makin sulit saj akhir-akhir ini. Pendapatanya tidaklah seberapa. Cukup makan buat sehari. Itu pun juga bila kondisi menguntungkan.
“Sehari bisa Rp 50 ribu. Belum lagi untuk biaya pendidikan. Sekarang anak saya sudah sekolah kelas 4 SD, tentu ini tidak mencukupi,” ujarnya.
Lain lagi dengan Munawarah. Wanita berusia 50 tahun ini sehari-hari berpropesi sebagai penjual sayur di pasar Aceh. Sejak subuh ia sudah berangkat dari rumahnya di Tungkop, Darussalam menumpang angkot (labi-labi).
Pekerjaan itu dia lakoni sejak belasan tahun lalu. Munawarah saat ditemui Kontras Minggu (5/7) mengaku belum menerima surat
undangan dari KPPS.
Karena itu wanita ini tidak mengetahui apakah dirinya bisa memilih atau tidak. Tapi sedandainya saja dia punya kesempatan memilih, maka dia akan datang TPS.
“Walaun pun saya tidak kenal siapa calonnya, saya tetap akan pilih,” kata ibu yang sudah punya lima orang cucu ini.
Munawarah mengaku tidak mengetahui siapa capres dan capres. “Saya hanya tahu SBY,” katanya.
“Sedangkan yang lain saya tidak kenal,” ujarnya.
Sama halnya dengan masyarakat Aceh lain, Munawarah juga berharap siapa pun presiden terpilih, harus memberi perhatian kepada rakyat dan membuat perubahan bagi kehidupan masyarakat kecil sepertinya dirinya.
“Paleng han na tempat yang lebeh get bak tamita raseki (paling tidak ada tempat yang lebih baik untuk mencari rezeki-red),” ujarnya.
Riska Rahmadani (16) juga mengungkapkan hal harapan yang sama. Siswi SMU Negeri 2 Banda Aceh ini mengharapkan siapa pun presiden terpilih, punya perhatian kepada pendidikan. Sekarang, kata dia, meskipun ada kampanye pendidikan gratis, tapi tetap saja para siswa harus membayar SPP.
“Kalau bisa biar gratis semua. Kalau sekolah gratis, pasti banyak siswa dan anak tidak mampu bisa mendapat pendidikan yang cukup,” tuturnya.
Suara-saura perubahan juga didengungkan oleh masyarakat Aceh lainnya. Misalkan saja ketika Kontras mengunjungi Gampong Luthu Deyah Krueng, Kecamatan Kuta Makmur, Sibreh Aceh Besar Sabtu lalu (4/7) dalam rangka simulasi Pilpres pertama di Aceh.
Saat Aceh berkonflik, Desa Luthu Dayah Kreung merupakan kawasan ‘hitam’. Pemukiman di kaki gunung ini sering terjadi kontak tembak antara TNI dan GAM.
"Saya datang atas kesadaran sendiri. Harapannya agar bisa memilih yang terbaik," kata Munazil kepada Kontras usai mengikuti simulasi.
Ia menjadi peserta nomor urut pertama yang dipanggil petugas KPPS untuk memberikan suaranya di TPS, bersama istrinya, Sajidah (20).
Kegiatan simulasi kerjasama antaara KIP Aceh Besar dan IFES ini bagi warga setempat menjadi momen langka. Karena ini sumulasi pertama digelar di Aceh.
"Bagi saya siapa saya yang memimpin tidak masalah, yang penting ada kemajuan bagi agama dan umat," kata Munazil yang tinggal Pesantren Al-Imdad, tak jauh dari lokasi TPS.
Suara-suara bernada harapan di pundak pemimpin negeri ini sebetulnya sudah sering diteriakkan. Namun terkadang suara itu terhalang oleh tebalnya dinding kekuasaan.
Rakyat sebenarnya butuh pemimpin yang mau mendengar.
"Sekarang banyak janji yang diucapkan, tapi sering tidak ditepati. Kalau saya bilang harus seiya sekata. Kalau waktu kampanye bilang begini, saat jadi presiden juga harus sama," kata Anwar (39), warga Desa Luthu lainya.
Anwar adalah seorang petani di desanya. Meski demikian ia mengenal ketiga pasangan kandidat. Bahkan ia sangat hafal dengan nama dan nomor urut capres dan cawapres.
Pada pemilu kali ini ia berharap akan ada sebuah perubahan bagi bangsa Indonesa. Tidaklah muluk jika ia menghendaki kehidupan masyrakakat Aceh bisa lebih baik pascapemilu.
Ia juga menginginkan capres cawapres memegang teguh janji yang telah mereka ucapkan saat berkampanye.
“Kampanye itu janji kepada rakyat. Mereka harus bertanggung jawab untuk memenuhinya,” tutur lelaki tamatan MAN Samahani ini.
Soal pilihan Anwar mengaku sudah punya. Tapi ia enggan untuk mengunggkapnya.
Menurut warga, Desa Luthu dulu merupakan salah satu kawasan rawan konflik. Di desa yang masuk dalam Kecamatan Kuta Makmur ini kerap terjadi kontak tembak antara pasukan TNI dan GAM. Bahkan warga desa sempat mengungsi untuk mengindari jatuhnya korban.
Selama beberapa tahun lalu, warga hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Namun perdamaian Aceh MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, telah mengubah segala.
Warga setempat mulai hidup normal dan dapat menjalankan aktivitas tanpa rasa takut dan cemas. Perdamaian itu kini mulai terasa begitu berharga.
“Kami ingin pemimpin yang terpilih nanti, adalah pemimpin yang bisa menjaga perdamaian. Kami tidak ingin lagi ada konflik,” kata Katrina (40), warga Desa Luthu lainnya.
Lantas apakah harapan-harapan rakyat ini dapat menjadi kenyataan?
Bahkan di kawasan Bundaran Simpang Lima. Pusat kota yang paling padat lalu lintas. Padahal jam baru menunjukkan pukul 09.00 WIB.
Pada hari-hari biasanya, inilah waktu paling sibuk dengan berbagai aktivitas bagi warga ibu kota. Tapi kondisi ini tidak terlihat pada Rabu pagi (8/7) kemarin. Sebagian besar masyarakat lebih memilih berada di rumah.
Bagi mereka yang sudah dewasa dan punya hak pilih, 8 Juli adalah hari paling istimewa. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetepkan 8 Juli sebagai hari pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sejak pagi masyarakat sudah terlihat mendatangi TPS-TPS tempat mereka terdaftar. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar petugas KPPS mengimbau masyarakat melalui pengeras suara agar datang ke TPS.
Suara bernada pengumuman ini terdengar di hampir tiap desa dalam wilayah kota Banda Aceh
“Semoga saja pilihan saya nanti benar. Semoga juga kehidupun bisa berubah lah. Jangan begini terus,” kata Nurdin Yusuf, warga Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala ketika ditemui Kontras di kawasan Bantaran Krueng Lamyong kemarin.
Saat ditemui lelaki paruh baya ini tengah bersiap-siap menuju TPS. Yusuf adalah satu di antara warga desa setempat yang menggantungkan harapan besar pada Pilpres 2009.
Sejak pukul 09.00 WIB, Yusuf bersama warga Desa Alue Naga lainnya bersiap-siap mendatangi TPS. Dari raut wajahnya tampak tergambar, ada sebuah harapan besar yang dia harapkan pada calon pilihanya.
“Tapi ndak tau juga lah. Karena sudah ada undangan, ya saya datang saja,” kata bapak dua anak ini.
Meskipun punya optimisme besar, tapi Yusuf masih menyimpan keraguan. Apakah pascapilpres ini janji-janji para calon yang diucapkan pada saat kampanye dulu mampu ditepati atau tidak. Atau itu hanya sekedar mimpi saja setelah mereka terpilih.
Pada Pilpres 2009 ini diikuti tiga pasangan capres dan cawapres. Mereka adalah Megawati-Prabowo, SYB-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Mereka akan berebut simpati jutaan pemilih di Indonesia. Khusus Aceh, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menetapkan 3.008.235 pemilih yang tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Namun jumlah pemilih di Aceh diperkirakan akan bertambah menyusul keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang melegalkan KTP boleh digunakan sebagai identitas untuk memilih.
Namun bagi masyarakat kecil bagi Yusuf, pesta demokrasi lima tahunan ini hanya sebuah seremonial belaka. Rasa optimis dan pesimisme muncul bercampur aduk. Optimis muncul bila melihat banyak janji-janji yang diucapkan para kandidat yang seolah akan memberi perubahan nyata dan berpihak pada nasib mereka.
Namun di sisi lain rasa pesimisme juga muncul karena pengalaman-pegalaman pahit masa lalu.
“Sudah empat kali ganti presiden. Tapi kehidupan sama juga seperti dulu. Seperti saya tetap saja harus pergi ke laut untuk membiaya anak sekolah dan kebutuhan rumah,” tutur Yusuf.
Perubahan adalah kata kunci yang selalu disuarakan masyarakat. Setiap kali pemilu, kata perubahan selalu didengung-dengungkan. Tapi selalu saja keinginan itu kandas setelah ada calon presiden yang terilih dalam pemilu.
Pengalaman miris ini pula menggelayuti pikiran Abdul Hadi (34). Lelaki yang berpropesi sebagai tukang becak motor ini selalu merasa di hadapkan pada dua pilihan ketika pemilu tiba. Antara memilih atau tidak.
Tapi untuk Pilpres kali ini bapak satu anak yang hanya tamatan SMA ini merasa optimis. Sebab, Abdul ternyata jauh-jauh hari sudah mengenal siapa calon yang menjadi pilihan.
Menurut Abdul satu di antara tiga calon yang bertanding adalah pilihan yang tepat buatnya.
“Sudah ada. Tapi ini kan rahasia,” katanya saat dijumpai Kontras di kawasan Masjid Raya beberapa hari sebelum pemungutan suara.
Menurut Abdul, ia sudah mengenal calon pilihannya dari pemberitaan media massa. Salah satu yang membuat dia simpati terhadap capres plihanya adalah komit dalam penegakakan hukum
“Dari berita yang kita baca ada beberapa pejabat yang ditangkap karena korupsi. Kalau bisa ini harus terus dipertahankan,” kata lelaki ini.
Namun menurut Abdul Hadi, tidak cukup itu saja. Pasangan capres yang menjadi pilihannya kelak diharapkan juga bisa membawa perubahan berarti buat kehidupan masyarakt kecil seperti dirinya.
Diakuinya kehidupan para tukang becak seperti dirinya makin sulit saj akhir-akhir ini. Pendapatanya tidaklah seberapa. Cukup makan buat sehari. Itu pun juga bila kondisi menguntungkan.
“Sehari bisa Rp 50 ribu. Belum lagi untuk biaya pendidikan. Sekarang anak saya sudah sekolah kelas 4 SD, tentu ini tidak mencukupi,” ujarnya.
Lain lagi dengan Munawarah. Wanita berusia 50 tahun ini sehari-hari berpropesi sebagai penjual sayur di pasar Aceh. Sejak subuh ia sudah berangkat dari rumahnya di Tungkop, Darussalam menumpang angkot (labi-labi).
Pekerjaan itu dia lakoni sejak belasan tahun lalu. Munawarah saat ditemui Kontras Minggu (5/7) mengaku belum menerima surat
undangan dari KPPS.
Karena itu wanita ini tidak mengetahui apakah dirinya bisa memilih atau tidak. Tapi sedandainya saja dia punya kesempatan memilih, maka dia akan datang TPS.
“Walaun pun saya tidak kenal siapa calonnya, saya tetap akan pilih,” kata ibu yang sudah punya lima orang cucu ini.
Munawarah mengaku tidak mengetahui siapa capres dan capres. “Saya hanya tahu SBY,” katanya.
“Sedangkan yang lain saya tidak kenal,” ujarnya.
Sama halnya dengan masyarakat Aceh lain, Munawarah juga berharap siapa pun presiden terpilih, harus memberi perhatian kepada rakyat dan membuat perubahan bagi kehidupan masyarakat kecil sepertinya dirinya.
“Paleng han na tempat yang lebeh get bak tamita raseki (paling tidak ada tempat yang lebih baik untuk mencari rezeki-red),” ujarnya.
Riska Rahmadani (16) juga mengungkapkan hal harapan yang sama. Siswi SMU Negeri 2 Banda Aceh ini mengharapkan siapa pun presiden terpilih, punya perhatian kepada pendidikan. Sekarang, kata dia, meskipun ada kampanye pendidikan gratis, tapi tetap saja para siswa harus membayar SPP.
“Kalau bisa biar gratis semua. Kalau sekolah gratis, pasti banyak siswa dan anak tidak mampu bisa mendapat pendidikan yang cukup,” tuturnya.
Suara-saura perubahan juga didengungkan oleh masyarakat Aceh lainnya. Misalkan saja ketika Kontras mengunjungi Gampong Luthu Deyah Krueng, Kecamatan Kuta Makmur, Sibreh Aceh Besar Sabtu lalu (4/7) dalam rangka simulasi Pilpres pertama di Aceh.
Saat Aceh berkonflik, Desa Luthu Dayah Kreung merupakan kawasan ‘hitam’. Pemukiman di kaki gunung ini sering terjadi kontak tembak antara TNI dan GAM.
"Saya datang atas kesadaran sendiri. Harapannya agar bisa memilih yang terbaik," kata Munazil kepada Kontras usai mengikuti simulasi.
Ia menjadi peserta nomor urut pertama yang dipanggil petugas KPPS untuk memberikan suaranya di TPS, bersama istrinya, Sajidah (20).
Kegiatan simulasi kerjasama antaara KIP Aceh Besar dan IFES ini bagi warga setempat menjadi momen langka. Karena ini sumulasi pertama digelar di Aceh.
"Bagi saya siapa saya yang memimpin tidak masalah, yang penting ada kemajuan bagi agama dan umat," kata Munazil yang tinggal Pesantren Al-Imdad, tak jauh dari lokasi TPS.
Suara-suara bernada harapan di pundak pemimpin negeri ini sebetulnya sudah sering diteriakkan. Namun terkadang suara itu terhalang oleh tebalnya dinding kekuasaan.
Rakyat sebenarnya butuh pemimpin yang mau mendengar.
"Sekarang banyak janji yang diucapkan, tapi sering tidak ditepati. Kalau saya bilang harus seiya sekata. Kalau waktu kampanye bilang begini, saat jadi presiden juga harus sama," kata Anwar (39), warga Desa Luthu lainya.
Anwar adalah seorang petani di desanya. Meski demikian ia mengenal ketiga pasangan kandidat. Bahkan ia sangat hafal dengan nama dan nomor urut capres dan cawapres.
Pada pemilu kali ini ia berharap akan ada sebuah perubahan bagi bangsa Indonesa. Tidaklah muluk jika ia menghendaki kehidupan masyrakakat Aceh bisa lebih baik pascapemilu.
Ia juga menginginkan capres cawapres memegang teguh janji yang telah mereka ucapkan saat berkampanye.
“Kampanye itu janji kepada rakyat. Mereka harus bertanggung jawab untuk memenuhinya,” tutur lelaki tamatan MAN Samahani ini.
Soal pilihan Anwar mengaku sudah punya. Tapi ia enggan untuk mengunggkapnya.
Menurut warga, Desa Luthu dulu merupakan salah satu kawasan rawan konflik. Di desa yang masuk dalam Kecamatan Kuta Makmur ini kerap terjadi kontak tembak antara pasukan TNI dan GAM. Bahkan warga desa sempat mengungsi untuk mengindari jatuhnya korban.
Selama beberapa tahun lalu, warga hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Namun perdamaian Aceh MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, telah mengubah segala.
Warga setempat mulai hidup normal dan dapat menjalankan aktivitas tanpa rasa takut dan cemas. Perdamaian itu kini mulai terasa begitu berharga.
“Kami ingin pemimpin yang terpilih nanti, adalah pemimpin yang bisa menjaga perdamaian. Kami tidak ingin lagi ada konflik,” kata Katrina (40), warga Desa Luthu lainnya.
Lantas apakah harapan-harapan rakyat ini dapat menjadi kenyataan?
Komentar
Posting Komentar