Prita oh Prita



Prita Mulia Sari. Nama yang belakangan ini sering menghiasi surat kabar. Bagai seorang selebriti, prita tenar mendadak. Ini bukan karena nasibnya mujur atau karena ia anak seorang tokoh terkenal. Tapi kemunculannya di lembaran suarat kabar dan layar televisi karena kasus yang menimpanya. Prita didakwa telah mencermarkan nama baik Rumah Sakti Omni Internasional.



Jaksa menilai Prita bersalah karena menulis surat elektronik atau e-mail dengan sengaja yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaraan nama baik. Pada 4 Desember 2009 Pengadilan Tinggi Banten mengeluarkan putusan perdata terhadapnya. Dia diwajibkan membayar denda sebesar Rp204 juta.

Putusan ini jelas membuat ibu dua anak ini kembali kecewa dan terpaksa lelah berurusan dengan hukum sejak pertengahan tahun ini. Surat elektronik tentang keluhannya atas pelayanan buruk RS Omni Internasional yang membuatnya ditahan 21 hari, dan kini harus duduk di kursi terdakwa.

Prita memang dijerat dengan pasal perdata dan pidana oleh pihak rumah sakit. Prita pun kini tengah menjalani persidangan pidananya dengan ancaman enam bulan penjara. Atas tuntutan itu, Pria mengaku kecewa. Ibu dua anak ini tidak menyangka jaksa akan menuntutnya sedemikian rupa. Pada sidang sebelumnya, Prita menyatakan e-mail yang ia tulis bersifat curahan hati kepada teman, tanpa ada maksud merugikan pihak lain. Potret Prita adalah adalah sosok rakyat kecil yang menjadi tumbal dari sebuah kebebasan berekpresi.

Banyak sudah suara-suara didengnungkan sebagai perlawanan terhadap kepogahan hukum di negeri ini terhadap 'orang-orang kecil' seperti Prita. Memang sistem adalah suatu kekejaman terhadap rakyat kecil. Sistem menjadi bagian dari kekuasaan dan mereka kamu oportunis dan konlometra berkantong tajir. Saat ini dukungan bagi Prita dilakukan melalui 'Posko Koin Peduli Prita'. Salah satu posko berada di Komplek PWR, Jalan Taman Margasatwa No 60, Jatipadang, Jakarta Selatan.

Disana, masyarakat bisa menyumbangkan bantuannya berbentuk uang koin untuk meringankan beban Prita membayar denda. Prita ternyata bukanlah satu contoh. Nek minah adalah potret lain sisi penegakan hukum di negeri ini. Hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah (Jateng) memvonis nenek 55 tahun itu dengan hukuman 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Hakim pun mengangis saat membacakan vonis.

Nek Minah dihukum hanya gara gara tuduhan mencuri 3 biji kakao, padahal niat awalnya nek minah hanya menjadikan biji kakao menjadi bibit sehingga nantinya nek minah bisa berkebun kakao kecil-kecilan. Walau akhirnya penahanan Nek Minah ditangguhkan, tapi kasus tersebut menjadi sebuah keprihatinan bagi penegakan hukum di negeri ini.

Hukum hanya ditegakkan kepada mereka yang lemah, dan hukum menjadi barang komoditi bagi mereka yang punya kekuasaan dan uang. Lihatlah kasus lainnya soal kriminalisasi pimpinan KPK, Bibit dan Chandra.

Sampai saat ini tidak ada satu proses hukum yang tegas kepada mereka yang pernah disebut-sebut dalam rekaman pembicaraan Anghodo, adik bos PT Masaro, Anggoro yang saat ini menjadi buron korupsi. Mungkinkah hukum telah dibeli orang mereka-mereka yang berkantong tajir? atau hukum memang beringas hanya kepada mereka yang lemah...entahlah....yang jelas kasus Prita dan Nek Minah adalah potret kecil para rakyat jelata yang mencari keadilan di negeri ini.....Prita oh Prita, Nek Minah oh Nek Minah (*)



Inilah isi lengkap email Prita Mulyasari yang dimuat di surat pembaca detik pada Sabtu, 30/08/2008 11:17 WIB dengan judul RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif:


Jakarta - Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.

dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan