Duh, November Datang Banjir Mengancam
November. Riwatnya mengingatkan aku pada satu pengamalan masa lalu. Ketika di sekolah dasar dulu, sebutan November sering kali dikaitkan dengan perubahan cuaca dari musim kemarau ke musim hujan. Bulan kedua terakhir dalam perlintasan tahun ini selalu saja membawa pengalaman tersendiri. Terutama bagi warga di Indonesia, dimana letak geografinya berada pada garis khatulistiwa, yang rentan dengan perubahan musim.
Jika sesorang menyebut November, maka sering kali membayangkan turunnya hujan. Bahkan kesan Novemver sebagai bulan hujan, begitu membekas di benak ketika aku masih duduk di sekolah dasar. Dalam pelajaran georgrafi juga disebutkan, jika November termasuk salah satu bulan yang memandai perubahan musim dari kemarau ke musim hujan. Selain November, juga ada dua bulan lainnya yang punya riwayat sama yaitu Oktober dan Desember.
Tapi khusus Oktober yang sudah terlewatkan, curah intensitas curuh hujannya tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan awal November yang baru hanya empat hari. Bayangkan, sepanjang hari ini saja, curah hujan turun demikian lebat dari pagi sampai tengah malam ini. Sampai aku pulang kantor pukul 01.30 tadi, hujan juga masih mengguyur. Tapi khusus Desember, belum ada prediksi yang pasti, apakah curah hujannya bakal meningkat atau malah menurun. Lantas apa pentingnya kehadiran November atau Desember yang akan datang dengan tingkat curah hujan yang tinggi ini?
Hmm...Tentu saja ada. Yang sudah pasti, banyak rumah penduduk terancam genangan air, jalan-jalan kebanjiran, warga juga tak bisa beraktivitas leluasa. Yang paling parah, jika sampai curah hujan yang meningkat dalam beberapa hari ini, bakal mengancam aktivitas kantor-kantor pemerintah sebagai pusat pelayanan publik. Termasuk juga anak-anak sekaloh bakal diliburkan guru karena ruangan mereka kebanjiran. Tentang rumah penduduk yang terancam genangan air, tentu saja ini adalah persoalan klasik. Wajar saja itu terjadi jika masyarakat tidak sadar lingkungan sekitar.
Misalkan, saluran drainase yang tersumbat juga dapat menyebabkan aliran air hujan tidak dapat mengalir maksimal. Di sana-sini terjadi penyumbatan. Belum lagi penyebab tersumbatnya saluran pembuangan itu dikarenakan ulah warga yang membuang sampah sembarangan. Akibatnya, yang paling terasa adalah ketika saat-saat begini. Dimana-mana saluran mampet. Maka sibuklah ketua RT menyerukan warga untuk bergotong royong membersihkan saluran.
Huff....jika terus begini, bukanlah sebuah cara menyelesaikan masalah. Semestinya kesadaran lingkungan sekitar tidaklah muncul di saat ketika hujan turun dan terjadi genangan di sana-sini. Kesadaran itu seharusnya telah ada sejak sebelum kepanikan warga karena rumah-rumah mereka yang mulai terancam kebanjiran tatkala memasuki bulan November.
Nah lantas bagaimana pemerintah kota bersikap? Tidaklah jauh berbeda dengan apa yang kita lihat. Pemerintah hanya sibuk ketika hujan turun dan menggenangi pemukiman. Selama ini belum ada satu upaya kongret pemerintah Kota Banda Aceh untuk mengatasi genangan air di wilayah dalam perkotaan. Misalkan melakukan pemeliharaan terhadap saluran-saluran pembuangan vital, malah justru banyak saluran di perlintasan kota menuju Kureng Aceh mampet, terjadi penyumbatan karena sampah sehingga menghambat air mengalir ke sungai.
Atau cara lainnya dengan meninggikan jalan yang sudah aus di makan usia. Lihat saja jalan-jalan di depan Masjid Raya Baiturrahman. Tiap kali hujan turun, setiap kali pula terjadi genangan air karena tipografi jalannya yang memang sudah aus yang membentuk kemiringan seperti "kolam ikan". Padahal kawasan itu adalah ikon dari kemegahan Kota Banda Aceh. Belum lagi bila dilihat kawasan lain yang menjadi langganan banjir. Seperti di Peuniti, Lampriet, Lingke, Lampineung.
Padahal semua daerah itu berada dalam kawasan pusat kota. Bisa jadi, pemeritah juga setali dua uang, pola pikirnya sama dengan warga kota, yang hanya bisa panik ketika genangan banjir terjadi dimana-mana. Masih ada 27 hari lagi di bulan November ini peluang curah hujan. Kita lihat saja.
Sepertinya masalah seperti ini terjadi di semua kota di Indonesia. Diperlukan kesadaran dan kerja sama dari individu maupun instansi untuk bisa mencegah (seharusnya) dan mengatasi (jika sudah terjadi).
BalasHapusSalam kenal, terima kasih sudah berkunjung ke rumah bunga saya..
hmm,,,iaya benar sekali tu. Cuma itulah budaya masyarakt kita yang selalu salah kapareh. Masyarakat kita identik dengan masyarakat yang selalu reaktif ketika sesuatu kejadian telah terja. Ya termasuk juga soal menangano banjir. Padahal kalau dari dulu warga bisa menjaga lingkunganya dengan tidak membuang sampah sembarangan mungkin genangan air akibat curah hujan yang tinggi tak sampai terlalu parah....jadi kesadarn itu yang perlu untuk dibangun...terima ajeng...
BalasHapus