Cerita Miris di Balik Tes Baca Quran

JARUM jam menunjukkan pukul 09.00 WIB. Matahari pagi baru saja beranjak naik. Namun, aula di Kompleks Asrama Haji Banda Aceh sudah ramai didatangi lelaki dan wanita paruh baya. Mereka menempati barisan kursi di dalam gedung di Jalan Teuku Nyak Arief, Banda Aceh itu. Hampir semua mereka berpakaian rapi. "Ada perasaan deg-degan juga. Soalnya sudah lama tak latihan lagi," kata seorang lelaki di ruangan itu. Wajahnya tampak sedikit tegang. Ia kenakan peci hitam, kemeja putih dipadu celana kain krem. Dari sorot matanya lelaki berkulit bersih berusia sekitar 45 tahun ini tampak gelisah. Tangannya memegang sebuah Alquran dalam kondisi terbuka. "Sudah baca-baca juga di rumah. Tapi masih ada sedikit yang mengganjal," katanya saat menungggu dipanggil tim penilai. Lelaki dengan postur tubuh sekitar 170 cm ini adalah salah satu calon wakil rakyat yang tengah berjuang ikut tes baca Quran yang dilaksanakan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sejak 27-29 April lalu. "Dibandingkan dengan Pemilu 2009, calon anggota dewan yang tak lulus baca Alquran tahun ini sedikit. Pada Pemilu 2009, yang tak bisa mengaji 300 orang. Tapi tesnya dulu dilakukan di kompleks Kantor KIP Aceh, jadi tak begitu terbuka seperti pemilu kali ini," kata Ketua Pokja Uji Baca Alquran tingkat DPRA KIP Aceh, Tgk Akmal Abzal. Meskipun sudah berakhir, rangkaian tes baca Quran ini menyisakan banyak cerita miris. Kisah ini setidaknya dialami 42 calon wakil rakyat di tingkat DPRA yang oleh KIP Aceh dinyatakan gugur, karena tak mampu mengaji. Mereka 39 orang berasal dari 12 partai berbasis nasional dan tiga dari partai politik lokal. Jumlah ini di luar dari mereka yang tak hadir tanpa alasan jelas. *** Tak banyak yang mengetahui apa sebenarnya yang terjadi pada saat proses tes baca Quran terhadap 1.200 lebih calon anggota DPR Aceh di Asrama Haji, akhir April lalu. Namun, dari beberapa fakta terungkap banyak cerita miris mewarnai pelaksanaan tes. Misalnya, ada calon wakil rakyat yang datang membawa Quran berbahasa Indonesia, bukan huruf Arab. Pemandangan ini jelas tak biasa, karena Quran yang dipakai penilai yang berjumlah sepuluh tim (tiga orang satu tim) umumnya berbahasa Arab. Awalnya biasa saja. Tak ada yang aneh. Keanehan baru muncul setelah calon bersangkutan membuka halaman Quran yang dibawanya, ternyata berbahasa Indonesia. Spontan saja tim penilai menolak. Selidik punya selidik ternyata calon wakil rakyat dari partai nasional ini mengaku tak terbiasa membaca Quran dalam bahasa Arab. "Akhirnya tim penilai menolak, sehingga tes urung dilaksanakan," tutur Akmal. Sepanjang tes berlangsung tiga hari, ada saja kasus caleg yang anehaneh. Bahkan ada yang minta kepada KIP Aceh agar diizinkan mengahafal ayat Alquran, tanpa harus membaca secara tertulis. Alasan caleg tersebut, ia sudah jadi imam 15 tahun di desanya dan kurang bisa membaca Alquran tertulis. Untuk meyakinkan kemampuannya, ia menelepon komisioner KIP agar memberi izin. Tapi, peraturan tidak membolehkan caleg menghafal, melainkan harus membaca. "Di telepon caleg bersangkutan memelas, sampai menangis-nangis agar dizinkan untuk menghafal. Tapi karena peraturan tidak membolehkan, tetap saja tidak bisa," kata Akmal. Ada pemandangan yang lebih miris lagi. Seorang caleg hanya mampu membaca satu ayat. Ia tak bisa melanjutkan ke ayat berikutnya. Sepertinya ia hanya bisa menghafal satu ayat itu saja. Padahal umumnya, bacaan yang diuji adalah Surah Albaqarah. Alhasil, tes dihentikan atas permintaan caleg bersangkutan. Cerita miris lainnya, ada caleg yang meminta panitia agar ia dipanggil belakangan. Alasanya tidak siap mental. Sampai akhirnya, setelah semua peserta selesai, baru caleg bersangkutan dipanggil dewan juri setelah suasana sudah sepi. Kisah di atas hanya sekelumit cerita miris yang terungkap di balik tes baca Quran untuk calon wakil rakyat di Aceh. Hampir rata-rata caleg yang menjalani tes kualitas bacaannya hanya bernilai 50. Angka ini standar kelulusan paling rendah yang diterapkan KIP Aceh dengan tiga kategori penilaian, yaitu tajwid, fasahah, dan adab. "Ke depan qanun tentang ini harus diperbaiki, sehingga standar kelulusan caleg bisa menjadi tolak ukur mereka yang dites benar-benar bisa mengaji dengan baik. Bukan seremonial belaka," tegas Akmal. Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk H Faisal Ali mengatakan fenomena dalam tes baca Quran caleg itu menjadi cerminan kondisi sosial dan pendidikan agama di Aceh. Tingginya jumlah angka mereka yang tak bisa mengaji dan nilai kelulusan yang rendah dinilai sesuatu yang sangat ironis. "Bagaimana kita bisa berharap munculnya gagasan tentang penerapan syariat Islam di Aceh kalau pemahaman mereka tentang Alquran saja masih rendah," ujarnya. Nah! (ansari hasyim)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku