Ribuan Anak Drop Out Kembali Bersekolah
PENGANTAR: Pemkab Polewali Mandar di Sulawesi Barat, sukses menggiring ribuan anak yang drop out dari sekolah untuk kembali bersekolah, setelah nama mereka terjaring dalam pendataan Program Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM) 2012. Kadis Pendidikan Aceh ingin belajar langsung dari kisah sukses Pemkab Polewali Mandar ini untuk diterapkan di Aceh kelak. Studi banding dilakukan 14-18 Januari lalu. Wartawan Serambi, Anshari yang ikut dalam studi banding itu, menuliskan reportasenya untuk Anda mulai hari ini dan besok.
SUASANA SMP Negeri 1 Campalagian pagi itu berbeda dari biasanya. Sekolah yang berdiri sejak tahun 1969 itu terlihat ramai. Terletak di Jalan Poros Majene, Desa Bonde, Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat (Polman Sulbar), sekolah ini memiliki 700 siswa dengan 22 ruang.
Pagi itu SMPN 1 Campalagian menjadi salah satu tempat yang dikunjungi tim studi banding dari Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh yang diketuai Drs Anas M Adam MPd.
“Di sekolah ini ditampung enam anak putus sekolah. Awalnya ada delapan orang. Tapi dua lagi melanjutkan ke PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dan MTsN,” kata Kepala Sekolah SMPN 1 Cempalagian, Mustafa Said.
SMPN Cempalagian merupakan satu di antara sejumlah sekolah di Polman yang menampung anak putus sekolah (drop out) hasil pendataan Program Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM) 2012.
Melalui data SIPBM 2012, Pemkab Polman berhasil mendata 3.600 anak putus sekolah (usia 7-18 tahun) dan 2.316 anak di antaranya berhasil dikembalikan ke sekolah formal dan nonformal. Sebanyak 515 anak melanjutkan pendidikan di sekolah reguler (formal). Sedangkan 1.801 anak masuk pendidikan informal yang tersebar di sejumlah pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sistem paket dengan jenjang pendidikan SD dan SMP sederajat.
Polman juga menjadi ikon Gerakan Kembali Bersekolah (GKB) yang dicanangkan Wakil Presiden Budiono 24 November 2012. Pencanangan GKB ini dihadiri enam orang anak tidak sekolah dari Polman hasil SIPMB 2012 mewakili anak Indonesia yang putus sekolah. Keberhasilan Polman dalam pengembalian anak putus sekolah juga masuk dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).
Kiprah sukses Polman dalam mengembalikan anak putus sekolah ini menginspirasi Disdik Aceh melakukan studi banding ke kabupaten penghasil kain tenun itu.
Tim diketuai Kadisdik Aceh, Anas M Adam ini turut memboyong unsur dari Disdik Aceh Timur, Aceh Besar, Aceh Jaya, DPRA, DPRK, Bappeda, Kemenag Provinsi dan perwakilan Unicef di Aceh. Kini 15 kabupaten di Indonesia, termasuk Situbondo dan Brebes, mulai menerapakan pola SIPBM yang dikembangkan di Polman. Aceh pun bakal menerapkan program serupa.
Keberadaan anak putus sekolah yang kembali ke sekolah ini mendapat sambutan positif para guru. “Dalam ruang belajar, mereka selalu ditanamkan bahwa kamu ini bersaudara, ibu dan bapakmu adalah guru. Setelah nanti pulang baru ibu dan bapakmu di rumah,” kata Mustafa.
Tidak hanya itu. Pihak sekolah juga terus melakukan pemantauan tentang kondisi anak dan kesulitan apa yang mereka hadapi dalam proses belajar.
“Kami upayakan mereka tidak risih. Kita beri seragam sekolah, kita kunjungi rumah mereka. Ada juga rencana memberi sepeda, setelah mereka tamat nanti sepeda itu dikembalikan, untuk dipakai siswa lain,” tutur Mustafa.
“Kami berharap mereka terus dapat belajar di sini, sampai tamat,” ujarnya. Ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak di Polman putus sekolah. Sebagian besarnya mereka berasal dari keluarga miskin. Meski uang sekolah gratis, tetapi mereka tidak bisa beli seragam, dan tidak memiliki biaya transportasi.
Seperti dialami Jalaluddin (13) asal Desa Penyampa, Kecamatan Campalagian. Ia sudah dua tahun menganggur sejak tamat sekolah dasar. Tapi kini ia merasa senang bisa kembali bersekolah. Jalaluddin kini duduk di kelas VII SMPN 1 Campalagian.
“Orang tua saya tak ada biaya, makanya tidak sekolah lagi. Awalnya malu. Tapi sekarang sudah tidak lagi,” ujar Jalaluddin yang ingin jadi polisi.
Namun, atas intervensi program SIPBM, Jalaluddin kini kembali dapat mengenyam pendidikan. Hal yang sama dialami dua siswa lainnya, Rahabiah (13) dan adiknya Ibrahim (11). Keduanya kini kembali bersekolah di SMPN 1 Cempalagian, setelah masuk dalam data SIPBM.
“Kalau saya tamat nanti ingin jadi guru,” ujar Rahabiah. Tidak hanya di sekolah formal. Pemerintah Kabupaten Polman juga membuka pendidikan informal untuk menampung anak putus sekolah. Umumnya mereka memilih pendidikan informal karena usianya sudah melebihi dari anak sekolah formal atau telah menganggur beberapa tahun tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Pendidikan informal paket A, B dan C ini dipilih siswa karena proses belajarnya lebih fleksibel, di mana hanya tiga kali dalam seminggu mulai pukul 14.00 sampai 17.00 WITA. Di luar hari itu, mereka dapat membantu orang tuanyha mencari nafkah. Seperti halnya Irmawati (15) yang sudah dua tahun menganggur sejak tamat SD.
“Saya lebih suka di sini karena bisa bantu orang tua di rumah,” ujarnya. Di waktu luang setelah sekolah Irma membantu orang tua sebagai pengrajin tenun. Hal yang sama juga dialami Derita (17).
“Saya masuk PKBM karena bisa punya waktu banyak buat bantu orang tua di rumah. Tapi senang, kami bisa berkumpul di sini dan belajar bersama,” ujarnya. Baik Irmawati dan Derita kini mengenyam pendidikan informal di PKMB Wahyuri, di Kecamatan Cempalagia yang juga sempat didatangi tim studi banding Disdik Aceh.
Mastura, guru PKBM Wahyuri menyebutkan anak-anak yang ditampung di PKBM juga mendapat pelajaran selayaknya anak sekolah reguler. Namun jam pelajarannya terbatas. Seperti pelajaran IPA, IPS dan Agama (Mulok). Selain itu mereka juga mendapat latihan menjahit.
“Makanya anak-anak lebih suka di sini. Kalau di formal mereka terikat. Tapi saya bilang pada mereka tidak usah berkecil hati, sebab ijazah yang mereka dapat nanti juga sama sederajat dengan sekolah formal,” ujar alumnus Universitas Al-Asyariah Mandar ini.
Proses pengembalian anak ke sekolah ini diakui tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak pihak yang terlibat dalam proses ini. Mulai dari orang tua siswa, aparat desa, camat, komite sekolah dan Dinas Pendidikan.
“Bahkan ada orang tua yang marah-marah saat anak mereka didata. Tapi berbagai upaya terus kita lakukan sampai anak tersebut terdata dan bisa kembali bersekolah,” ujar Camat Campalagian, Aswar Jasyim.
Pemkab Polman juga memberi apresiasi penuh atas peningkatan mutu pendidikan di kabupaten itu. Kebijakan ini dilakukan dengan mengeluarkan payung hukum berupa Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Peningkatan Mutu dan Akses Pendidikan. Perda tersebut menegaskan semua warga harus mengikuti pendidikan 12 tahun. Penjabaran dari Perda ini juga mewajibkan setiap desa harus memplotkan anggaran Alokasi Dana Desa (ADD) untuk membiaya dua anak putus sekolah.
“Baik pemerintah desa, camat, wajib bertanya apakah dalam anggaran desa itu ada alokasi biaya pendidikan minimal untuk dua orang anak. Kalau tidak, tim asistensi tak akan menyetujui usulan anggaran dari pemerintah desa,” ujar Kadisdik Polman, Arifuddin Toppo. (bersambung)
Komentar
Posting Komentar