Jalan Panjang Menuju 120 (1)
Inilah suasana detik-detik anggota komisioner KIP Aceh mematangkan naskah rancangan keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Nomor 05 Tahun 2013 sebelum diteken. Keputusan KIP ini berisikan tentang pengajuan bakal calon anggota DPRA dan DPRK dari partai politik dan partai politik lokal maksimal 120 persen dari alokasi kursi untuk setiap daerah pemilihan.
"SK KIP ini tidak lahir serta merta, tapi sudah melalui proses panjang dan lama," ujar anggota KIP Aceh Robby Syah Putra dalam konfresni pers kepada wartawan, Rabu (12/6).
Keputusan KIP menerbitkan SK Nomor 05 tersebut adalah tindakan "nekat" dalam memecahkan persoalan regulasi Pemilu Aceh yang selama ini terus bergulir ke publik dan seolah tak menemui titik terang. SK Nomor 05 ini pula yang kemudian mengubah wajah pemilu di Aceh semakin kontras berbeda dengan pelaksanaan pemilu di provinsi lain. Bila di provinsi lain setiap partai hanya dapat mendaftarkan calegnya 100 persen dari jumlah kursi di setiap daerah pemilihan. Tapi berbeda di Aceh. Partai politik di Provinsi Serambi Mekkah ini dapat mengusulkan daftar caleg 120 persen dari jumlah kursi di setiap dapil.
Polemik regulasi
Kelahiran SK Nomor 05 ini tidak terlepas dari berbagai rentetan konflik regulasi dan dualisme aturan pemilu di Aceh. Dualisme regulasi ini terjadi antara Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang partai politik lokal peserta pemilu anggota DPRA dan DPRK dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 7 Tahun 2013.
Dalam Pasal 17 Qanun Nomor 3/2008 disebutkan, daftar bakal calon yang diajukan partai politik peserta pemilu memuat paling banyak 120 persen dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Aturan ini khusus berlaku untuk partai politik lokal peserta pemilu tingkat Aceh dan partai politik lokal peserta pemilu tingkat kabupaten/kota.
Sedangkan pada Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 yang merupakan turunan dari UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, pada Pasal 11 disebutkan dalam pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, parpol wajib memperhatikan daftar bakal calon maksimal 100 persen dari jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan.
"SK KIP 05 Tahun 2013 ini memberi ruang yang sama kepada semua partai sesuai dengan azas keadilan dan kesetaraan," kata Ketua Pokja Pencalonan KIP Junaidi.
Pada awal masa pencalonan anggota DPRA/DPRK dibuka, KPU juga mengeluarkan surat keputusan Nomor 324 Tanggal 7 Mei 2013. Surat ini menjelaskan kuota caleg di Aceh 100 persen mengacu pada UU Nomor 8 tahun 2012. Surat KPU ini lahir di tengah desakan DPR Aceh, dan Pemerintah Aceh yang meminta agar Aceh diberlakukan kuota caleg 120 persen. Alasannya, permintaan tersebut didasarkan pada Qanun Nomor 3 Tahun 2008 dan UUPA. Permintaan ini juga diajukan sebagai pertimbangan Aceh sebagai daerah yang bersifat khusus (lex specialis). Namun KPU tidak merespon.
Berbagai lobi politik pun dilakukan DPRA dan Pemerintah Aceh. Sampai akhirnya terjadi pertemuan di Jakarta antara Pemerintah Aceh, DPRA, KIP Aceh dan KPU. Pertemuan ini difasilitasi Dirjen Otda Depdagri Djohermansyah Mei lalu. Lelaki yang kerap sapa Pak Djo ini dianggap sangat mengerti soal Aceh. Hasilnya; KPU menyetujui Aceh dapat memberlakukan kuota 120 persen. Tapi ironisnya, janji KPU itu hanya sebentuk ucapan lisan. KPU tidak pernah menuangkannya secara tertulis 'hitam di atas putih'. Sikap KPU ini membuat komisioner KIP yang baru saja dilantik gusar. (bersambung)
Komentar
Posting Komentar