Imam Hidayat, Spesialis ‘Bongkar Pasang Otak’

MATA pisau di tangannya berlahan mengiris satu demi satu bagian kepala remaja itu. Butuh ketelitian tinggi menyatukan kembali jaringan selaput otak yang sudah remuk, dan menutupnya dengan sempurna. Dalam waktu bersamaan ia juga membedah jaringan lunak tulang belakang yang kelihatan sudah hancur. Detik-detik operasi itu berlangsung menegangkan.

“Tapi alhamudlillah, anak itu selamat meski sempat koma,” kenang dr Imam Hidayat Sp BS MKes saat menceritakan pengalamannya kepada Serambi, Selasa 25 Februari 2014.

Di antara banyak pengalaman membedah pasien, kisah remaja itu paling membekas dibenaknya. Operasi itu termasuk paling rumit yang pernah dilakukannya. Tim dokter butuh empat kali operasi lanjutan untuk merekonstruksi jaringan lunak penutup kepala remaja berusia 14 tahun itu, yang menjadi korban insiden pemukulan. “Sekarang anak itu sudah bisa bersekolah kembali,” katanya terharu.

Imam Hidayat merupakan satu dari tiga ahli bedah saraf yang dimiliki Aceh. Lewat tangan dinginnya, banyak pasien yang kembali menemukan ‘hidupnya’.

Lahir di Klibeut, Kabupaten Pidie, 45 tahun silam. Imam menghabiskan masa remajanya di Lhokseumawe. Di Kota Petro Dollar itu ia memulai pendidikan di SD Panggoi, SMP Cunda, dan SMAN 1 Lhokseumawe. Pada 1989, Imam melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran Unsyiah, dan meraih spesialis bedah saraf di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.

Saat ditemui Serambi di rumahnya kawasan Lamlagang, Banda Aceh, Imam banyak bercerita tentang seluk beluk dunia bedah saraf yang digelutinya. Ramah dan bersahaja, adalah sisi lain dari sosok pria penyuka kopi luwak ini.

Imam menuturkan pilihannya mendalami spesialis bedah saraf terinspirasi dari minimnya ahli bedah saraf di Aceh. “Rata-rata ada 50 sampai 60 pasien yang menjalani pembedahan setiap bulan,” ujarnya. Fakta ini menunjukkan tingkat morbiditas (kesakitan) pasien yang membutuhkan bedah saraf cukup tinggi. Sementara angka mortalitasnya (kematian) akibat tak tertangani operasi juga tinggi. “Saya pernah melakukan operasi 24 pasien dalam seminggu,” tuturnya.

Keahliannya dalam bidang bedah saraf semakin teruji setelah sukses mengangkat tumor seorang anak berusia 3,5 tahun, berukuran setengah dari besar kepala pasien. Kasus ini tergolong langka di dunia. Namun Imam berhasil mengangkatnya lewat sebuah operasi. “Sekarang anak itu sudah bersekolah. Ada kasus serupa di Amerika, tapi pasiennya meninggal setelah dioperasi,” ujarnya.

Imam menjadikan success story itu dalam presentasi di forum tingkat internasional, dan akan diterbitkan dalam jurnal ilmiah kedokteran.

Tak hanya itu, nama Imam Hidayat semakin diakui rumah sakit luar negeri. Beberapa kali ia pernah ‘diundang’ untuk terlibat dalam tindakan medis bedah saraf. “Biasanya diundang saat ada presentasi keluar negeri. Sifatnya berkolaborasi dengan tim dokter di sana,” ujar ayah tiga anak ini tanpa merinci.

Ia hanya menyebut beberapa negara saja saat ia menghadiri presentasi internasional seperti India, Taiwan, Korea, Jepang, dan sejumlah negara di Timur Tengah.              

Seolah tak ingin jumawa, Imam mengatakan keterlibatannya dalam operasi bersama dokter di rumah sakit berkelas internasional semata untuk menambah pengetahuan. “Minimal bisa tukar pengalaman,” kata suami dr Silmi Adriman Sp An MKes ini.

Keahliannya di bidang ‘bongkar pasang otak’ ini ternyata juga dipakai beberapa rumah sakit nasional di Indonesia. Kerap cerita lucu terjadi kala ia bertemu calon pasien yang ternyata sama-sama berasal dari Aceh.

“Pasiennya jadi kaget saja. Ternyata dokternya kok orang Aceh,” Imam dapat memahami, bila ada warga Aceh yang memilih berobat keluar negeri atau ke rumah sakit luar Aceh.

“Kalau di luar negeri tak ada antrean dan dijamin pelayanannya. Tapi persoalannya tidak semua orang kita punya duit. Seperti di RSUZA, itu kan rumah sakit publik, pelayanan juga harus mengikuti aturan yang ada,” sebutnya.

Menurutnya, dari sisi tenaga ahli dan alat medis yang dimiliki RSUZA sebetulnya sudah cukup canggih untuk mendeteksi penyakit. Kualitasnya bahkan jauh lebih lengkap dibandingkan rumah sakit luar negeri. Hanya saja, khusus untuk bedah saraf fasilitas yang ada di RSUZA masin minim. Misalkan untuk ruang operasi saraf terkadang harus numpang di kamar operasi lain. “Perlu juga ada ruang khusus untuk pasien bedah saraf. Rata-rata pasien bedah saraf itu membutuhkan waktu lama untuk penyembuhan,” ujar Imam.

Menurut Imam, menjadi dokter ahli bedah saraf tidak mudah. Selain dibutuhkan ketelitian, tingkat stress juga tinggi. Misalkan, sehabis operasi, pikiran seorang dokter bedah saraf sering tak tenang karena teringat pasien. “Terkadang dalam hati saya berdoa, ya Allah sadarkan dia, bangunkan dia...Setelah sadar, baru ada perasaan lega,” katanya.

Pengalaman yang mengharukan juga pernah dialaminya. Ketika itu seorang ABK kapal tanker mengalami kecelakaan dalam perjalanan di perairan Aceh. Lelaki asal London itu kritis dirujuk ke RSUZA. Setelah menjalani bedah saraf, beberapa hari kemudian lelaki itu membaik.

Tak disangka, ternyata ia masih mengingat sosok dokter yang menyelamatkannya. Sampai akhirnya pria asing itu datang ke Aceh mencari Imam. “Katanya mau mengucapkan terima kasih. Saya ajak dia sekaliam ke rumah,” kenang Imam. Ia juga sering mendapat kiriman oleh-oleh dari mantan pasiennya sebagai tanda terima kasih. Salah satunya kopi luwak organik yang disuguhkan untuk Serambi, sore itu di rumahnya. “Kalau sudah habis saya sering dapat kiriman lagi,” kata Imam yang saat ini tengah mengambil program S3 di Unpad Bandung.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku