Salah Pembinaan Minim Prestasi
PRESTASI olahraga Aceh terpuruk jauh sepanjang satu dekade terakhir. Tiga kali penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON), Aceh selalu berada di nomor urut buncit. Puluhan miliar rupiah dana telah dikucurkan. Namun hasilnya jauh panggang dari api.
PON XVIII 2012 di Pekanbaru, Riau menjadi bukti. ‘Macan Sumatera’ masih tertidur lelap. Seolah tak lagi bertaring, para atlet menyerah di arena tanding. Pulang hanya membawa nama dengan wajah tertunduk.
“Ada kekeliruan dalam pembinaan atlet olahraga di Aceh. Prestasinya boleh dikatakan stagnan bila dilihat dari raihan medali di PON 2012 di Riau,” kata pemerhati olahraga Aceh, Iswahyudi kepada Serambi, Rabu (19/2).
Prestasi di ajang PON menjadi satu indikator pembinaan olahraga di suatu daerah berjalan maksimal. Namun fakta sebaliknya, selama tiga kali penyelenggaraa PON, prestasi Aceh justeru terus melorot.
Pada PON XVI 2004 di Provinsi Sumatera Selatan, dengan anggaran Rp 5 miliar Aceh hanya meraih 6 medali emas, 2 perak dan 5 medali perunggu. Aceh terseok di peringkat ke-22 dari 30 provinsi.
Tak jauh beda dengan PON XVII-2008 di Kalimantan Timur. Aceh berada di peringkat 23 dengan raihan 4 medali emas, 4 perak dan 10 perunggu dengan 21 cabang olahraga yang diikutkan. Untuk mendapatkan 18 medali itu Pemerintah Aceh mengucurkan Rp 25,6 miliar.
Pada PON XVIII 2012 di Pekanbaru, Riau, anggaran pembinaan altet untuk PON melonjak drastis mencapai Rp 43,5 miliar. Dana yang besar itu hanya mampu menempatkan Aceh di peringkat 25 dari 33 provinsi peserta PON. Raihan medali pun tak kali sewot. Kontingen Aceh hanya mendapat 3 medali emas, 5 perak dan 18 perunggu.
Menurut Iswahyudi, ada yang keliru dengan sistem pembinaan olahraga Aceh melihat dari sisi raihan prestasi selama ini, terutama dari faktor manusianya. “Kalau dari segi anggaran bisa dikatakan sudah memadai. Sekarang yang perlu dibenahi adalah manusianya. Bisa atlet, pelatih, pembina maupun pengurus di setiap cabang olahraga,” ujarnya.
Iswahyudi menuturkan persoalan olahraga di Aceh sangat kompleks. Dulu, kata dia, atlet bisa ikut PON sudah luar biasa bangganya. Pengurus, atlet dan pelatih ikhlas berjuang untuk daerahnya. “Kalau sekarang paradigamanya berubah, berapa honornya? Nasionalisme kedaerahan sebagian atlet juga sudah luntur,” bandingnya.
Pelatih cabang olahraga anggar ini juga tidak menampik prestasi atlet yang melorot juga disebabkan karena atlet sudah mendapat fasilitas dari pemerintah, semisal diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Padahal, kata dia, fasilitas diberikan untuk memotivasi atlet meningkatkan prestasinya.
“Kalau sudah dapat kerja, kebanyakan atlet sudah fokus pada kerja. Padahal, bukan itu tujuannya. Pemerintah memberi kerja, agar mereka bisa lebih fokus latihan dan bisa meningkatkan prestasi,” ujar pria asal Magetan, Jawa Timur ini.
Iswahyudi bicara bukan tanpa data. Menurutnya kondisi ini pernah dialami 31 atlet dan pelatih. Setelah mendapat pekerjaan, hanya sekitar dua atlet yang bisa mempertahankan prestasinya. Selebihnya redup di arena tanding. “Jadi, tidak heran apabila prestasi setiap cabang olahraga prioritas di Aceh, seperti Karate misalnya, mengalami pasang surut,” katanya.
Menurutnya, prestasi Karate Aceh cenderung stagnan. Setiap PON Cabor Karate Aceh hanya mendapat perunggu. Sama halnya dengan Taekwondo, tidak pernah mendapat emas di PON. Demikian pula Cabor Anggar kehilangan regenerasi. Cabor Atletik, juga mengalami stagnan dalam raihan prestasi. Prestasi sedikit menggembirakan terjadi pada Cabor Kempo, Tinju dan Tarung Derajat. “Buktinya di PON 2012 di Riau Tarung Derajat bisa meraih emas,” ujarnya.
Seperti mengurai benang kusut. Persoalan demi persoalan juga melilit tubuh organisasi induknya, KONI. Mulai dari pola pembinaan atlet sampai ketidakjelasan pengurus provinsi (Pengprov). Di beberapa daerah Pengprov seolah seperti mati suri.
Padahal, keberadaan Pengprov menjadi basis pembinaan dan seleksi atlet potensial. “Kenyataannya Pengprov saat ini tidak jelas. Untuk sekretariat kantor saja tidak jelas, belum lagi di kabupaten kota,” kata anggota DPR Aceh Safwan Yusuf.
Mantan anggota Komisi E ini menilai pola pembinaan olahraga Aceh harus diredesain ulang. Di cabang olahraga tertentu, seperti Sepakbola misalnya. Pemeritah dapat menyewa pelatih asing. “Bukan sebaliknya mengirim pemain keluar negeri yang butuh biaya begitu besar,” ujarnya.
Safwan mencontohkan pengalaman pahit ini pernah dialami alumni Sepakbola Paraguay. Setelah berlatih di negeri Guarani itu atas biaya pemerintah, sesampai di Aceh nasib mereka terkatung-katung.
“Paradigma berpikir pengurus juga harus berubah. Jangan tunggu uang cair, baru melakukan pembinaan,” tegasnya.
Bercemin dari kegagalan PON 2012 akankah prestasi olahraga Aceh kembali berjaya di even nasional? Setidaknya, ‘macan sumatera’ tidak harus terlalu lama terlelap dalam tidurnya. Bangkit dan melejitlah! (*)
PON XVIII 2012 di Pekanbaru, Riau menjadi bukti. ‘Macan Sumatera’ masih tertidur lelap. Seolah tak lagi bertaring, para atlet menyerah di arena tanding. Pulang hanya membawa nama dengan wajah tertunduk.
“Ada kekeliruan dalam pembinaan atlet olahraga di Aceh. Prestasinya boleh dikatakan stagnan bila dilihat dari raihan medali di PON 2012 di Riau,” kata pemerhati olahraga Aceh, Iswahyudi kepada Serambi, Rabu (19/2).
Prestasi di ajang PON menjadi satu indikator pembinaan olahraga di suatu daerah berjalan maksimal. Namun fakta sebaliknya, selama tiga kali penyelenggaraa PON, prestasi Aceh justeru terus melorot.
Pada PON XVI 2004 di Provinsi Sumatera Selatan, dengan anggaran Rp 5 miliar Aceh hanya meraih 6 medali emas, 2 perak dan 5 medali perunggu. Aceh terseok di peringkat ke-22 dari 30 provinsi.
Tak jauh beda dengan PON XVII-2008 di Kalimantan Timur. Aceh berada di peringkat 23 dengan raihan 4 medali emas, 4 perak dan 10 perunggu dengan 21 cabang olahraga yang diikutkan. Untuk mendapatkan 18 medali itu Pemerintah Aceh mengucurkan Rp 25,6 miliar.
Pada PON XVIII 2012 di Pekanbaru, Riau, anggaran pembinaan altet untuk PON melonjak drastis mencapai Rp 43,5 miliar. Dana yang besar itu hanya mampu menempatkan Aceh di peringkat 25 dari 33 provinsi peserta PON. Raihan medali pun tak kali sewot. Kontingen Aceh hanya mendapat 3 medali emas, 5 perak dan 18 perunggu.
Menurut Iswahyudi, ada yang keliru dengan sistem pembinaan olahraga Aceh melihat dari sisi raihan prestasi selama ini, terutama dari faktor manusianya. “Kalau dari segi anggaran bisa dikatakan sudah memadai. Sekarang yang perlu dibenahi adalah manusianya. Bisa atlet, pelatih, pembina maupun pengurus di setiap cabang olahraga,” ujarnya.
Iswahyudi menuturkan persoalan olahraga di Aceh sangat kompleks. Dulu, kata dia, atlet bisa ikut PON sudah luar biasa bangganya. Pengurus, atlet dan pelatih ikhlas berjuang untuk daerahnya. “Kalau sekarang paradigamanya berubah, berapa honornya? Nasionalisme kedaerahan sebagian atlet juga sudah luntur,” bandingnya.
Pelatih cabang olahraga anggar ini juga tidak menampik prestasi atlet yang melorot juga disebabkan karena atlet sudah mendapat fasilitas dari pemerintah, semisal diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Padahal, kata dia, fasilitas diberikan untuk memotivasi atlet meningkatkan prestasinya.
“Kalau sudah dapat kerja, kebanyakan atlet sudah fokus pada kerja. Padahal, bukan itu tujuannya. Pemerintah memberi kerja, agar mereka bisa lebih fokus latihan dan bisa meningkatkan prestasi,” ujar pria asal Magetan, Jawa Timur ini.
Iswahyudi bicara bukan tanpa data. Menurutnya kondisi ini pernah dialami 31 atlet dan pelatih. Setelah mendapat pekerjaan, hanya sekitar dua atlet yang bisa mempertahankan prestasinya. Selebihnya redup di arena tanding. “Jadi, tidak heran apabila prestasi setiap cabang olahraga prioritas di Aceh, seperti Karate misalnya, mengalami pasang surut,” katanya.
Menurutnya, prestasi Karate Aceh cenderung stagnan. Setiap PON Cabor Karate Aceh hanya mendapat perunggu. Sama halnya dengan Taekwondo, tidak pernah mendapat emas di PON. Demikian pula Cabor Anggar kehilangan regenerasi. Cabor Atletik, juga mengalami stagnan dalam raihan prestasi. Prestasi sedikit menggembirakan terjadi pada Cabor Kempo, Tinju dan Tarung Derajat. “Buktinya di PON 2012 di Riau Tarung Derajat bisa meraih emas,” ujarnya.
Seperti mengurai benang kusut. Persoalan demi persoalan juga melilit tubuh organisasi induknya, KONI. Mulai dari pola pembinaan atlet sampai ketidakjelasan pengurus provinsi (Pengprov). Di beberapa daerah Pengprov seolah seperti mati suri.
Padahal, keberadaan Pengprov menjadi basis pembinaan dan seleksi atlet potensial. “Kenyataannya Pengprov saat ini tidak jelas. Untuk sekretariat kantor saja tidak jelas, belum lagi di kabupaten kota,” kata anggota DPR Aceh Safwan Yusuf.
Mantan anggota Komisi E ini menilai pola pembinaan olahraga Aceh harus diredesain ulang. Di cabang olahraga tertentu, seperti Sepakbola misalnya. Pemeritah dapat menyewa pelatih asing. “Bukan sebaliknya mengirim pemain keluar negeri yang butuh biaya begitu besar,” ujarnya.
Safwan mencontohkan pengalaman pahit ini pernah dialami alumni Sepakbola Paraguay. Setelah berlatih di negeri Guarani itu atas biaya pemerintah, sesampai di Aceh nasib mereka terkatung-katung.
“Paradigma berpikir pengurus juga harus berubah. Jangan tunggu uang cair, baru melakukan pembinaan,” tegasnya.
Bercemin dari kegagalan PON 2012 akankah prestasi olahraga Aceh kembali berjaya di even nasional? Setidaknya, ‘macan sumatera’ tidak harus terlalu lama terlelap dalam tidurnya. Bangkit dan melejitlah! (*)
Komentar
Posting Komentar