WH Mulai Bertaring

Inilah lokasi sel tahanan untuk para pelanggar Qanun Syariat Islam di Kantor Satpol PP dan Wilayatul Hisbah Provinsi Aceh, Selasa (1/4/2014). Pascadisahkan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, para pelanggar Qanun Syariat Islam. SERAMBI/M ANSHAR
Add caption
SYARIAT Islam di Aceh mulai berlaku pada 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, meliputi agama, adat istiadat, dan pendidikan. Sejalan dengan itu Pemerintah bersama DPR RI mengesahkan pula Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memberi peluang dibentuknya Mahkamah Syar’iyah (MS).

Sejak memberlakukan syariat Islam, Aceh telah menerapkan empat qanun. Yakni Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).

Namun, pemberlakukan keempat qanun ini kenyatannya tidak berjalan efektif. Banyak pelanggar, khususnya Qanun Maisir, Qanun Khalwat. Qanun Khamar yang mangkir dari proses hukum. Beberapa kasus  tercatat yang ternyata pelakunya tak dapat diadili karena kabur, ke luar dari Aceh atau tidak mengikuti proses persidangan. “Kalau mereka ditahan ketika itu WH bisa dipraperadilankan. Akhirnya WH hanya bisa membina saja, lalu pelaku dilepaskan, meskipun proses hukumnya tetap berjalan,” kata Kepala Bidang Bina Hukum Dinas Syariat Islam Aceh, Dr Munawar A Jalil MA kepada Serambi, Selasa (1/4).

Munawar menjelaskan ada beberapa kemajuan yang paling monumental dalam penegakan hukum syariat Islam setelah disahkannya Qanun Hukum Acara Jinayat. Umpama, adanya pasal koneksitas. Pasal ini mengatur tentang dua orang yang melakukan pelanggaran atau lebih, satu di antaranya muslim atau kedua-duanya bukan muslim, maka si pelanggar muslim tetap mengikuti hukum syariah. Sementara yang nonmuslim boleh memilih untuk secara sukarela mengikuti hukum syariah dengan diadili di Mahkamah Syariah, atau tunduk pada hukum sipil yang ada (KUHAP).

“Kalau perbuatan nonmuslim itu tidak ada dalam hukum sipil (pidana), mereka akan tunduk kembali ke hukum syariah. Pada tahap awal mereka boleh memilih,” jelas Munawar.

Selain pasal koneksitas, ada juga beberapa pasal lainnya yang lebih bertaring. Seperti pasal penangkapan, penahanan, pengeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan, dan pemeriksaan surat dan pasal tentang wewenang Pegawai Penyidik Negeri Sipil (PPNS).

“Dulunya kebanyakan yang dicambuk itu adalah masyarakat awam. Sementara orang yang pintar dan melek hukum, mereka siasati kasusnya. Mereka tidak hadir ketika dieksekusi. Beberapa kasus yang melibatkan anggota dewan juga tidak bisa diproses, karena mereka tak hadir ketika eksekusi,” ujar Munawar.

Di sisi lain, lahirnya Qanun Hukum Acara Jinayat memungkinkan para pelaku yang kabur dari vonis majelis hakim Mahkamah Syar’iyah dapat dipanggil untuk menjalani sidang kembali. “Bagi mereka yang telah divonis tapi tidak hadir atau sudah lari, maka mereka bisa diproses dan diadili kembali,” tegasnya.

Pemerintah mengaku Qanun Hukum Acara Jinayat sebagai jawaban atas anggapan pemberlakuan hukum syariat Islam di Aceh, cenderung dianggap tebang pilih. “Sekarang tidak ada lagi istilahnya tebang pilih. Secara legal formal sudah bisa diterapkan. Semua kasus yang terjadi sudah bisa diproses menggunakan mekanisme qanun ini,” jelas Munawar.

Sejauh ini, kata dia, pemerintah juga terus melakukan sosialisasi terhadap pemberlakuan Qanun Hukum Acara Jinayat. Ada enam kabupaten kota yang menjadi prioritas, yaitu Nagan Raya, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Singkil, Aceh Barat Daya, dan Aceh Tengah. Waktulah yang akan menjawab bagaimana hasilnya kelak. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan

Gie, Dona Dona dan Aku