Mengungkap Asal Sabu Aceh


NARKOTIKA, khususnya sabu-sabu (SS) digunakan oleh warga Aceh dengan beragam usia. Sabu bahkan sudah memasuki dunia kampus dan pesantren. Saat ini, tidak kurang 10.000 warga Aceh yang mengonsumsi narkoba. Di sisi lain, tempat-tempat rehabilitasi pecandu narkoba ini masih sangat terbatas jumlahnya. Jika tidak ada kebijakan khusus, akan terjadi ledakan pecandu narkoba di Aceh dalam beberapa tahun ke depan. Serambi menuliskan tren penggunaan sabu di Aceh, dalam laporan eksklusif edisi ini.
  

SAFRI Kasim (54) tidak berkutik ketika petugas keamanan penerbangan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) Blangbintang, Aceh Besar, membekuknya, Selasa 8 Juli 2014. Lelaki asal Jakarta ini berusaha menyelundupkan satu kilogram SS melalui Bandara SIM dalam sebuah tas jinjing. Dengan sikapnya yang tenang berharap petugas aviation security (Avsec) mengizinkan ia masuk membawa tas kecil tersebut melalui pintu depan yang hanya mendapat pemeriksaan badan lewat metal detector. Tapi petugas tak mengizinkannya dan meminta dia menaruh tas itu agar melewati X-Ray. Nahas, saat melalui jalur pemindai, aksi pelaku terbongkar. Dalam tas itu ditemukan 10 bungkus SS seberat 1 kilogram senilai Rp 1 miliar.

Pelaku asal Cilincing, Jakarta, ini mengaku barang itu ia peroleh dari seorang bernama Azis, yang mengantarnya ke Bandara SIM dari Bireuen. Kepada petugas, Safri mengaku hanya sebagai kurir. Ia dibayar Rp 10 juta untuk menyelundupkan sabu itu ke Jakarta menggunakan pesawat Garuda.

Kasus penyelundupan SS melalui Bandara SIM ini bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 19 Mei 2014 petugas keamanan penerbangan Bandara juga menangkap dua tersangka, Feriansyah Akbar dan Muhammad Syarif dengan barang bukti 381,5 gram SS.

                      ***
Sejak dua tahun terakhir Aceh menjadi provinsi target para sindikat narkoba. Tidak hanya lewat jalur udara, kini para sindikat narkoba semakin lihai beroperasi lewat jalur darat dan laut. Terlebih Aceh yang terletak di kawasan perairan Selat Malaka kerap digunakan sindikat narkoba Malaysia-Aceh sebagai jalur paling strategis menyelundupkan narkoba jenis SS.

“Sebagian besar SS yang masuk Aceh berasal dari luar. Letak Aceh di wilayah perairan Selat Malaka menjadi pintu masuk paling strategis yang digunakan para sindikat menyelundup sabu,” kata Direktur Ditnarkoba Polda Aceh, Kombes Pol Trapsilo kepada Serambi, Jumat 18 Juli 2014.

Tidak dipungkiri, SS yang masuk ke Aceh, terutama dari Malaysia tergolong SS berkualitas baik. “Hampir rata-rata yang kita tangkap, sabunya berkualitas nomor satu, barangnya juga bersih yang menandakan itu produk luar,” katanya.

Dari beberapa kasus penyelundupan SS yang ditangani polisi, para pelaku mengakui jika sabu tersebut diperoleh dari luar Aceh, meskipun dalam kasus penangkapan tersangka terjadi di Aceh saat barang haram itu hendak dibawa ke Jakarta. Atas pengakuan para tersangka, Trapsilo belum dapat menyimpulkan SS yang ditangkap aparat merupakan produk pabrik lokal.

“Sejauh ini kita melihat pabrik dan lab sabu belum ada di Aceh. Semua yang kita tangkap berasal dari luar Aceh,” tegasnya.

 Rute penyelundupan
Menurut Trapsilo, pihaknya telah memetakan sejumlah daerah rawan penyelundupan SS ke Aceh. Umumnya jalur atau pintu masuk SS tersebut dipasok melalui jalur tikus melewati kawasan perairan Selat Malaka wilayah timur Aceh; Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Akses yang mudah dan kelengahan aparat melakukan patroli membuat para sindikat merajalela beroperasi. Kondisi ini seolah membuat Aceh semakin dikepung dari berbagai lini darat, laut dan udara oleh para sindikat plus bandar dan pengedar.

Trapsilo menegaskan, peredaran narkoba sejenis SS dan ganja di Aceh sudah dalam tahap paling mengkhawatirkan. Tidak hanya melibatkan pemain lokal, namun juga terorganisir rapi melibatkan sindikat internasional.

“Dilihat dari jumlah kasus yang terungkap sudah sangat mengkhawatirkan. Rata-rata setiap bulan ada 90 sampai 100 kasus di seluruh Aceh. Kalau satu kasus, ada satu tersangka, maka satu tahun sudah seribu lebih, dan itu baru yang terungkap,” ujarnya.

Berdasarkan data Polda Aceh tahun 2013, pengguna narkoba berbagai jenis di Aceh mencapai 10 ribu orang, dengan kasus yang terungkap 1.075 perkara, dan barang bukti yang diamankan jenis sabu-sabu 10 kilogram lebih.

Lintas usia

Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh menyebutkan, 90 persen pecandu di Aceh menggunakan narkoba jenis sabu. Hal ini mengindikasikan adanya tren pengguna ganja beralih ke sabu.

“Pengguna sabu dan ganja paling dominan di Aceh. Rata-rata penggunanya usia produktif dengan berbagai latar belakang mulai dari anak sekolah, ibu rumah tangga sampai pekerja swasta dan PNS,” kata Kabid Pencegahan BNNP Aceh Majidah kepada Serambi, Kamis 17 Juli 2014.

Hasil tes urine yang dilakukan BNNP Aceh terhadap mahasiswa di 10 kampus di Banda Aceh pada 2012, sembilan kampus di antaranya positif memakai narkoba. Fakta ini membuktikan narkoba sudah merambah sampai ke institusi pendidikan.

“Bahkan sekarang anak-anak di pelosok kampung juga sudah diracuni oleh narkoba. Sebuah kondisi yang memiriskan. Jika ini terus dibiarkan, maka Aceh akan mengalami lost generation (generasi yang hilang-red),” ujarnya.

Yang lebih menyedihkan, sabu juga mulai banyak diedarkan di dunia pesantren.  Seorang pimpinan dayah di kabupaten Bireuen  mengaku barang haram itu sempat masuk ke dayah yang dipimpinnya. Diakui, tidak mudah memang mengontrol ribuan santri, meskipun kini sudah berhasil dihentikannya.  

Berdasarkan data BNNP Aceh, kasus penggunaan sabu dari tahun ke tahun terjadi peningkatan. Dalam kurun tahun 2007-2011 tercatat 1.112 kasus sabu terjadi di Aceh dengan 1.570 tersangka. Dikatakan Majidah, narkoba dapat menjerumuskan pemakainya dalam pergaulan bebas, kerusakan saraf otak yang menyebabkan kegilaan, sampai terjangkit virus HIV/AIDS akibat penggunaan jarum suntik di kalangan pemakai.

“Kita sudah berusaha maksimal untuk mencegah. Termasuk mendatangi sekolah untuk melakukan sosialisasi dan membentuk kader di lingkungan institusi pendidikan,” ujarnya. Namun, kata Majidah, diperlukan keterlibatan semua pihak untuk mencegahnya. Atas keprihatinan itu pula pemerintah menetapkan tahun 2014 sebagai tahun Penyelamatan Penyalahgunaan Narkoba di Aceh.

Seorang psikiater dari RSJ Banda Aceh, dr Syahrial Sp.KJ mengatakan, orang-orang yang kecanduan narkotika jarang yang mau dirawat di rumah sakit jiwa. Syahrial mengaku tidak tahu berapa persen pasien yang harus dirawat di RSJ ini karena pengaruh kecanduan narkoba. “Mereka umumnya tak mau dirawat karena ingin tetap bebas, agar bisa fun (bersenang-senang), forget (melupakan masalah), dan function (merasa fisik lebih kuat),” kata Syahrial kepada Serambi. Sementara RSJ Banda Aceh sendiri punya unit rehabilitasi pecantu narkoba, meskipun sangat terbatas kapasitas tampungnya.(ansari)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan