Rapor ‘Merah’ Pendidikan Aceh


Dalam sejumlah parameter, kualitas pendidikan di Aceh masih tertinggal dibanding dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Namun, di sisi lain, belanja di sektor pendidikan justru semakin meningkat tiap tahun. Lalu, apa masalah yang dihadapi dunia pendidikan Aceh hari ini? Serambi merangkumnya dalam laporan eksklusif berikut ini.

TIDAK biasanya spanduk berlatar putih dengan tulisan “Posko Pengaduan Siswa yang tak Lulus UN Tahun 2014” itu terpampang di pagar depan Kantor Dinas Pendidikan Aceh. Sementara, sejumlah lelaki muda tampak duduk lesehan di bawahnya dengan alas seadanya.

Sesekali para aktivis mahasiswa yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan (AMPP) itu, berorasi. Sayup-sayup terdengar suara “Copot Kadisdik Aceh, copot Kadisdik Aceh!” Teriakan itu kentara menyedot perhatian masyarakat yang melintasi Jalan Tgk Daud Beureueh, di bilangan Simpang Lima, Banda Aceh.

Aksi mahasiswa pada Selasa, 24 Juni itu, mendadak muncul di halaman depan Kantor Disdik Aceh tak lama setelah pemerintah mengumumkan hasil Ujian Nasional (UN) akhir Mei lalu yang menempatkan Aceh di urutan 27 nasional, bahkan di bawah Papua, dalam hal persentase jumlah siswa SMA/MA yang tidak lulus.

***

Prestasi buram di sektor pendidikan itu terjadi justru di tengah kucuran anggaran pendidikan yang melimpah. Serambi menelusuri komposisi anggaran tingkat provinsi maupun daerah dan ternyata Pemerintah Aceh maupun kabupaten/kota setiap tahun menggelontorkan lebih dari Rp 2 triliun anggaran untuk sektor pendidikan. Anggaran ini berasal dari dana otonomi khusus (Otsus), dana bagi hasil migas, dana tambahan bagi hasil migas, dan dari sumber lainnya. Meski disokong dana melimpah, namun pendidikan Aceh masih berpredikat rapor ‘merah’. Tercatat, dari 56.981 peserta, sebanyak 785 siswa (1,38 persen) SMA/sederajat dinyatakan gagal pada UN 2013/2014.

Para aktivis melabelkan Aceh sedang berada dalam kondisi darurat pendidikan. “Hal yang memilukan ini justru terjadi di tengah sekian banyak dana yang digelontorkan, tapi pendidikan Aceh jatuh di peringkat terbelakang,” kata aktivis AMPP, Irwansyah kepada Serambi, Senin lalu.

Anggota Komisi E DPR Aceh, Mahyaruddin tidak menampik hasil UN dalam beberapa tahun terakhir mengecewakan. Menurut politisi Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS) ini, kondisi tersebut dilatarbelakangi banyak faktor, mulai dari kualitas guru yang rendah, pejabat yeng mengurusi pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota yang tidak profesional, gonta-ganti kepala dinas, sampai penempatan skala prioritas yang keliru.

“Selama ini banyak anggaran dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur,” kata dia.  Mahyaruddin menyebutkan, ada guru yang sudah 20 tahun mengajar tapi belum pernah ikut pelatihan. “Kemampuan mengajarnya tidak di-up grade. Sementara siswa sudah melek teknologi informasi, guru masih tradisional,” sindirnya.

Namun, dalam emailnya kepada Serambi, Minggu sore, Kadisdik Aceh, Drs Anas M Adam MPd memastikan bahwa anggaran untuk peningkatan mutu pendidikan kini meningkat drastis. “Untuk pembangunan fisik hanya 9,40 persen dan itu pun sebagian besar terkait dengan sarana peningkatan mutu, seperti membangun laboratorium dan perpustakaan,” kata Anas.

Sebagian kabupaten memang masih memprioritaskan pembangunan fisik. Lihat saja Kota Lhokseumawe. Pada tahun 2013, anggaran di sektor pendidikan mereka mencapai Rp 224 miliar. Pada tahun 2014 dinaikkan jumlahnya menjadi Rp 234 miliar. Namun, alokasi terbesarnya atau sebesar 50% lebih masih dialokasikan untuk pembangunan fisik.

Sedangkan Kabupaten Pidie hanya menganggarkan Rp 50 miliar. Anggaran sebesar itu bersumber dari APBK, APBA, dan APBN. “Dana tersebut sudah termasuk dana BOS dan anggaran untuk pembangunan fisik,” kata Kadisdik Pidie, Drs Laisani, kepada Serambi, Sabtu (5/7). Dengan jumlah guru di Pidie mencapai 4.375 orang, tentu dana Rp 51 miliar itu tak signifikan jika pun digunakan langsung untuk program yang berkaitan dengan peningkatan kualitas guru.

Kabupaten lain yang memberi porsi sangat besar justru Aceh Utara, di mana anggaran sektor pendidikan untuk tahun 2014 mencapai Rp 535 miliar lebih. Namun, tak jelas untuk apa saja digunakan dana sebesar itu.

Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah menampik jika kualitas pendidikan Aceh dikatakan melorot dan Aceh berada dalam kondisi darurat pendidikan. “Tidak benar seratus persen begitu. Sampai saat ini pemerintah terus melakukan evaluasi untuk peningkatan mutu,” ujarnya menjawab Serambi, Sabtu (5/7) malam di Pendapa Gubernur Aceh. Bantahan serupa juga disuarakan aktivis Koalisi Guru Bersatu (Kobar-GB) Aceh, Dra Husniati Bantasyam. “Pernyataan yang menyebutkan Aceh darurat pendidikan sesuatu yang berlebihan,” ujarnya dalam aksi demo 12 organisasi guru di Kantor Gubernur, 25 Juni lalu.

Demo tersebut, menurutnya, dilancarkan untuk memberi dukungan moril kepada Kadisdik Aceh. Dia menduga, desakan sejumlah pihak agar Kadisdik Aceh dicopot, sarat kepentingan dan unsur politis. “Kalau mau mengkritik, pelajari dulu semuanya dengan teliti sehingga menguasai permasalahan. Bukan memanfaatkan massa untuk kepentingan tertentu,” katanya. (ansari)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan