Resolusi Konflik Gajah-Manusia


BADAN Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menyebutkan konflik antara manusia dan gajah sulit dibendung lantaran perilaku manusia yang merambah hutan. Kebanyakan lokasi perambahan hutan justru berada di luar area konservasi di mana 80 persen gajah mendiami kawasan itu.

Akibatnya, habitat gajah yang berada di luar area konservasi merasa terganggu dan ke luar memasuki kawasan perkebunan masyarakat.

“Hutan yang merupakan tempat habitat gajah sekarang sudah banyak yang berubah menjadi perkebunan dan permukiman,” ungkap Kepala BKSDA Aceh, Genman S Hasibuan kepada Serambi di Banda Aceh, Selasa (13/5).

Diakuinya, gajah memiliki perilaku unik, yakni sulit sekali pindah dari wilayah yang sudah didiaminya. Selain itu, gajah juga memiliki daerah jelajah (home range) yang luas dan memungkinkan gajah berpapasan dengan manusia di tengah perjalanan.

Genman menyebutkan, pihaknya telah menyurati Gubernur Aceh untuk membentuk areal conservation response unit (CRU) di beberapa kabupaten/kota yang kerap terjadi konflik manusia dengan gajah. “Pemerintah kabupaten menyediakan dananya dan di situ juga ada gajah jinak dan mahotnya (pelatih), sehingga bila ada gajah liar masuk bisa digiring oleh gajah jinak ke hutan,” ujarnya.

Menurut Genman, solusi penanganan konflik gajah dengan manusia juga dapat dilakukan dengan membentuk Kawasan Khusus Konservasi Gajah (Elephant Sanctuary) dengan menyediakan lahan sesuai yang disepakati kabupaten/kota. “Nanti jika ada gajah liar yang di luar habitat bisa digiring masuk ke wilayah sanctuary,” ujarnya.

Menurut Genman, penanganan konflik manusia dan gajah ini juga bisa dilakukan dengan membuat koridor hutan sebagai lintasan gajah. Koridor dapat dibuat dengan panjang ribuan kilometer. Koridor adalah hutan yang berfungsi sebagai penghubung antara hutan yang satu dengan hutan lainnya. “Sehingga antara kantong gajah yang satu bisa terhubung ke kantong yang lain,” jelasnya.

Communication Officer World Wildlife Fund (WWF-Indonesia) Perwakilan Aceh, Chik Rini menyebutkan, pemerintah harus memastikan habitat gajah dan daerah jelajah (home range) masuk dalam kawasan konservasi untuk menghindari terjadinya konflik dengan manusia semakin meruncing.

Menurutnya, ada kecederungan hutan habitat gajah di luar area konservasi telah beralih fungsi menjadi area perkebun masyarakat. Chik Rini mengatakan, konflik gajah-manusia semakin meruncing juga karena pekebun menanam komoditi yang disukai gajah. “Seharusnya yang ditanam itu bukan seperti sawit dan karet. Dulu pada masa kesultanan Aceh punya ribuan gajah, tapi tidak ada yang berkonflik dengan manusia karena pada masa itu orang Aceh menanam rempah-rempah yang tidak disukai gajah,” ujarnya.

Selain itu, kata Chik Rini, pemerintah juga perlu membangun sistem mitigasi konflik gajah-manusia dengan tetap mengedepankan konsep pembangunan dengan mempertimbangkan keseimbangan alam. “Pemerintah perlu melatih masyarakat untuk mandiri dalam menangani gangguan gajah, sehingga mereka tidak harus menunggu petugas BKSDA datang ketika ada konflik,” ujarnya. (ansari)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WH Dicerca

Selingkuh, Pejabat dan Istri Simpanan